KOMPAS.com - Bekerja dan mengasuh anak masih menjadi dilema ibu bekerja. Terutama bagi perempuan muda yang memilih untuk berkarier, dengan menyeimbangkan kehidupan personal dan juga keluarganya.
Dilema ibu bekerja ini masih saja dialami lantaran terpeliharanya budaya yang menempatkan perempuan bertanggung jawab dengan berbagai peran di rumah tangga, termasuk mengasuh anak. Peran yang sebenarnya bisa dibagi dengan kaum pria, sebagai suami dan ayah.
Kebutuhan yang tinggi akan jasa pengasuhan anak membuat sejumlah pasangan menikah di perkotaan mau tak mau membayar jasa pengasuh anak. Permintaan yang tinggi kemudian melahirkan ketersediaan jasa pengasuh yang tinggi, dengan anak putus sekolah di pedesaan sebagai sumber tenaga kerjanya.
Namun seringkali, pengasuh anak menimbulkan masalah baru. Seperti pengasuh anak yang tak kembali dari kampung halaman setiap kali berlebaran dengan sejumlah alasan. Berbagai alasan diutarakan, termasuk pengasuh anak yang beralasan tak lagi bisa bekerja karena akan dinikahkan atau melanjutkan sekolah.
Selain memilih sendiri PRT anak, boleh jadi, jasa penyalur menyediakan jasa PRT anak dengan alasan biaya rendah. Orangtua bekerja terbantukan dengan kehadiran PRT atau pengasuh yang menjalankan beberapa peran di rumah tangga ini. Apalagi jika jasa ini didapatkan dengan biaya rendah yang dapat menghemat pengeluaran keluarga.
Memang, sebagian kebutuhan rumah tangga terpenuhi dengan solusi ini, Anda bisa bekerja lebih tenang karena ada pengasuh yang menjaga anak di rumah selama orangtuanya bekerja. Namun, kebutuhan akan kualitas pengasuhan anak Anda belum tentu terpenuhi dengan cara ini.
Pengasuhan tak berkualitas
Memekerjakan PRT anak sebagai pengasuh bukan hanya melanggar hak anak si pekerja tersebut, namun juga tak memberikan kualitas pengasuhan yang baik terhadap anak Anda sendiri. Bayangkan, bagaimana anak Anda bisa tumbuh berkembang secara berkualitas di bawah pengawasan pengasuh anak yang Anda bayar murah?
Di sisi lain, ada hak anak (PRT atau pengasuh anak) yang juga dilanggar. Meskipun masih terdapat perbedaan pandangan dan kebijakan tentang batas usia anak. Konvensi Internasional Hak Anak menyebutkan, batas usia anak adalah 18 tahun.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyebutkan sejumlah pekerjaan yang tak boleh dilakukan anak-anak. Di antaranya, merawat orangtua yang sakit, pekerjaan yang mengancam keselamatannya, kesehatannya, moral dan fisiknya, juga pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia, pekerjaan yang berisiko kecelakaan dan memengaruhi psikososial. Pekerjaan di rumah tangga termasuk dalam kriteria dari ILO tadi.
Banyak hal yang harus diperhatikan dan dipenuhi jika Anda memekerjakan anak. ILO melarang tegas memekerjakan anak, apalagi sebagai PRT atau pengasuh anak.
Abdul Hakim dari Child Labour Programme ILO menjelaskan anak usia 15-17 tidak boleh bekerja di tempat berbahaya dan tidak boleh bekerja yang membahayakan orang lain.
"Anak yang bekerja menjadi PRT atau pengasuh anak jelas bisa membahayakan orang lain," kata Hakim di sela saat pelatihan media tentang gender dan ketenagakerjaan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Namun menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 yang mengatur tentang usia minimum yang diperbolehkan bekerja, anak usia 15-17 bisa bekerja dengan sejumlah syarat.
Di antaranya tempat tinggal layak, makanan yang layak, tempat tidur yang tidak terisolasi juga tidak tidur bersama. Pendidikan dasar (SD-SMP) pekerja anak juga harus dipenuhi. Artinya, jika Anda mempekerjakan anak, pastikan anak tersebut tetap bisa melanjutkan pendidikan dasar sambil bekerja. Selain itu, jam kerja juga harus jelas, delapan jam per hari. Upah PRT juga menjadi kewajiban yang harus dipenuhi sesuai standar dan peraturan upah minimum regional (harus sesuai UMR).
Ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi jika Anda mempekerjakan anak usia 15-17. Bahkan, Anda juga berperan sebagai edukator bagi masyarakat. Tak dapat dipungkiri, banyak orangtua di pedesaan yang sengaja mengirimkan anaknya untuk bekerja di Jakarta, dan mengambil keuntungan darinya. Anak dipaksa menyetor sejumlah uang dari hasil kerjanya kepada orangtua di desa. Atau ada juga ancaman, anak dipaksa bekerja di kota karena jika tidak, ia akan dinikahkan di desa.
Daycare sebagai solusi?
Hakim melihat, kebutuhan orangtua bekerja akan jasa pengasuhan anak sebenarnya bisa dipenuhi dengan fasilitas daycare.
"Belasan perusahaan besar, terutama perusahaan multinasional, sudah memiliki fasilitas daycare untuk karyawannya," jelas Hakim.
Sayangnya, fasilitas daycare yang berkualitas dan dijalankan secara profesional belum ditemui di seluruh perkantoran di kota-kota besar. Fasilitas pengasuhan anak tanpa biaya untuk menunjang orangtua bekerja ini masih terbatas di beberapa perusahaan saja.
Daycare belum menjadi pilihan bagi orangtua bekerja di perkotaan. Boleh jadi karena keterbatasan fasilitas daycare itu sendiri, terutama daycare untuk umum yang terjangkau. Boleh jadi, daycare belum menjadi pilihan orangtua bekerja karena masih terbukanya pilihan mempekerjakan pengasuh atau PRT, termasuk dari kalangan anak-anak, dengan biaya lebih rendah.
Pilihan kembali ke Anda, para orangtua bekerja. Jika perusahaan belum menyediakan daycare, Anda boleh saja mempekerjakan pengasuh atau PRT dengan memenuhi hak dan kewajiban lebih baik.
Memenuhi hak dan kewajiban bukan hanya untuk kepentingan si pekerja rumah tangga, namun juga untuk kepentingan Anda, selaku orangtua yang semestinya memberikan pengasuhan terbaik untuk buah hati.
No comments :
Post a Comment