Tak seorang pun umat manusia bermimpi bakal terjangkit penyakit. Semua berusaha mengelak. Ragam upaya dipasang agar terhindar dari bibit perusak organ tubuh. Namun, realita memperlihatkan, selagi hidup serangan itu tak pernah berhenti.
Cobaan silih-berganti hingga mengganggu aktivitas. Itu dapat dimaklumi mengingat sejak janin di rahim ibu, kita sudah terkontaminasi oleh pestisida serta lingkungan yang tak pernah bersih dari sumber berbahaya tadi.
Sengaja atau tidak, campuran bahan kimia sudah terlebih dulu mengotori darah. Bahkan mungkin, sesama kuman juga berlaga menjadi jagoan di dalam jaringan. Inmunitas pun melemah. Alhasil, dokter hingga professor sekalipun rupanya tetap saja menderita suatu penyakit. Jadi, wajar saja, jika hasrat hidup sehat menjadi obsesi peringkat pertama setelah keinginan masuk surga. Faktanya, bahwa uang segudang belum tentu sanggup membeli kesehatan.
Hanya saja, masing-masing punya level resiko. Penyakit keturunan tidak dapat dipungkiri amat dan teramat susah dikendalikan. Sementara itu, penyakit HIV AIDS hingga kini adalah kategori mematikan. Itu makanya, penderita terbeban mental, berusaha menjauh dan dijauhi masyarakat sebab ajal pasti lebih dekat setelah merontokkan sel-sel darah. Di sisi lain, TB Paru atau beberapa tahun silam dinamai TBC (tuberculosis) hingga kini dianggap susah sembuh dan sangat berbahaya. Tidak mengherankan, satu per satu teman bicara bergeser hingga termenung sendiri sebab yang lain khawatir terinfeksi.
Dan, itulah tantangan bagi tenaga medis yang sebelumnya secara lantang pengucap sumpah akan memberi pelayanan terbaik tanpa memandang kasta. Mereka dituntut mendengar sekaligus menjawab isak tangis warga dimaksud. Korban umumnya berasal dari warga kelas ekonomi miskin senantiasa menanti, kapan disentuh?
Lalu, benarkah mereka berseragam putih bersih tadi peduli kaum marginal? Adakah senyum resep kesembuhan ditawarkan kala menengok pasien? Adakah rasa kasihan dan iba? Atau, justru diabaikan? Jangan-jangan, sumpah tinggal sumpah, uang masuk dinomorsatukan….
Tanpa bermaksud memberi apresiasi berlebih, barangkali, dr Nitawaty Sitohang Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi adalah pelopor gerakan perubahan dimaksud. Kabupaten Dairi di tengah usia daerah otonom beranjak dewasa, belakangan terkesan minim figur berempati.
Sebaliknya, ini adalah momen pertama dimana seorang dokter berani tampil beda mengumandangkan para medis turun ke desa mencari tahu tentang siapa sesungguhnya warga yang berpotensi terjangkit. Ketika yang lain merasa jijik hingga muntah atas joroknya lendir dahak, Nitawaty justru mengepalkan tangan berkumandang "dahakmu adalah rezekimu, dahakmu adalah rezekiku"
Sebuah slogan atau statemen bernada kontradiktif. Bila disikapi, sesungguhnya kalimat itu penuh makna dimana keterlambatan pemeriksaan dahak, apalagi sudah memasuki stadium akut, tentunya peluang tularan amat tinggi. Bukan hanya menyebar kepada satu orang saja tetapi bisa mencapai ratusan hingga ribuan dalam tempo tertentu sebagai ekses interaksi. Keterlambatan penanganan secara perlahan berdampak pada pemiskinan dan pembodohan. Selanjutnya, bila segera didiagnosa dini, maka ratusan orang terlindungi.
Melalui penggalangan dana sesama medis serta organisasi atau swadaya, pengecekan ke pelosok dusun membuahkan hasil. Terdata, ada 278 penderita dari suspect 4495 orang tahun 2009. Angka itu naik dibanding tahun sebelumnya akibat kesulitan penanggulangan dan penjaringan. Tahun 2010 triwulan I dan II tercatat 162 orang terkena dari 4448 suspect nasional. Sebagai awam, andai dijejerkan warga pengidap tersebut, masih sanggupkah anda makan bersama? Masih sudilah bersanding di acara pesta atau agenda lainnya? Tetapi, bagi Nita, panggilan akrab dokter, ia dan rekan lainnya menjadikan time itu buat mencoba berbuat terbaik melalui "Pencanangan Aksi Sayang Dahak" di Desa Sulumboyah Kecamatan Siempat nempu hulu, Senin (6/9). Ia konsisten meneruskan perjuangan.
Sarang Gizi Buruk
Bupati Dairi, KRA Johnny Sitohang Adinegoro didampingi Wakil Bupati, Irwansyah Pasi pun tak sungkan mengungkap bahwa wilayah binaannya adalah sarang gizi buruk. Warga di pedesaan jamak didera busung lapar dan TB paru. Ini realitas yang tak dapat dipungkiri. Mungkin, dulu petugas enggan melaporkan kondisi sesungguhnya sebab kalau saja terdeteksi, bakal terkena sanksi sebab dianggap kurang produktif. Sebenarnya, kepahitan itu mesti ditransparansikan. Buka saja dan terangkan apa adanya.
Buat apa berkata bohong jika akhirnya mencederai masyarakat. Sekarang, carilah penderita sebanyak-banyaknya sebab pencapaian itu adalah bagian dari wujud kerja nyata. Pencacahan juga bukti pembangunan. Ketika terdata, tentu solusi penyembuhan mudah diterapkan. Jadi, anda-anda jangan lagi lebih banyak di belakang meja menghitung ini-itu. Tiada waktu berleha sebab pengentasan kemiskinan sudah mendesak.
Johny pun memberi applaus atas langkah pro aktif Dinas Kesehatan di tangan dr Abner Silalahi. Ia berharap, terobosan sedemikian diikuti unit kerja lain. Akhir tahun 2011, daerah ini diproyeksikan bebas TBC. Berkreasilah, motivasi diri bahwa kita bekerja untuk rakyat. Kepala daerah ini pun memberi sinyal, bakal memberi promosi kepada mereka yang bijak.
Kepada warga ditegaskan, jangan takut memeriksakan diri. Jangan terpengaruh issu bahwa TB paru adalah penyakit akibat guna-guna. Itu murni gangguan kesehatan yang dapat disembuhkan. Apalagi, tiada beban berat dimana pengobatan tanpa pengenaan biaya. Kalau patuh, enam bulan pasti pulih.
Guna memberi spirit kepada penderita seratusan lebih, Ketua Tim penggerak PKK Nyonya Sitohang Dumasi Sianturi menyumbangkan sejumlah susu bubuk guna dinikmati keluarga.
St TB Sitorus mantan pengidap penyakit tersebut asal Desa Lae Ambat Kecamatan Silima Pungga-pungga memaparkan metode penyembuhan kala ia mengikuti petunjuk perawatan di Puskesmas Bakal Gajah. Ketakutannya akibat muntah darah membuatnya cemas pada kelangsungan hidup. Setelah menuruti nasehat bidan desa Boru Butar, kini ia leluasa beraktivitas sebagai petani ulet. Menjaga kesehatan, disebut sebagai syarat utama. Seterusnya harus teratur minum obat dan cukup istirahat.
Jam delapan wajib masuk kamar, ketusnya disambut gelak tawa hadirin. Sekarang, ia beralih menggantikan beban istri yang selama tiga tahun terpaksa banting stir buat memenuhi biaya hidup.
Sumber: http://www.analisadaily.com/
No comments :
Post a Comment