Senin, 05 Desember 2011 | 04:24 WIB
TEMPO.CO, : "Usus halus mengalami peradangan. Lambung juga ada luka." Farida Kusuma bicara blak-blakan ihwal hasil pemeriksaan dokter penyakit dalam yang merawat dirinya di Paviliun Kencana Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Kamis lalu. "Aku kena maag sejak mahasiswa," alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang kini bekerja di Jaya Ancol, Jakarta Utara, ini menegaskan.
Rawat inap sehari harus dijalani warga Pondok Bambu, Jakarta Timur, itu, setelah nyeri di ulu hatinya tak kunjung hilang, meski sudah "dihantam" dengan obat maag yang dijual bebas di pasar. Tak hanya nyeri, badannya juga demam dan lemas, serta ia merasa pusing. Pokoknya, kata ibu dua orang anak ini, "Enggak enak banget!"
Setelah penyebabnya diketahui, Jumat siang, Farida sudah boleh pulang dan menjalani rawat jalan. Sepekan kemudian, ia harus kontrol untuk mengetahui perbaikan luka di lambung dan peradangan di usus halusnya. Pola makan yang kurang teratur dan stres akibat kerja dituding berada di balik penyakit yang membuatnya terkapar di ranjang rumah sakit tersebut.
Maag atau dispepsia adalah rasa nyeri di sekitar ulu hati disertai mual, rasa cepat kenyang, penuh di lambung, kembung, bahkan muntah. Di Ibu Kota, derita warga yang mengalami maag sudah jamak terjadi. Survei yang dilakukan oleh PT Kalbe Farma pada 2007, yang melibatkan 1.645 responden, menyebutkan 60 persen responden mengalami penyakit ini.
"Ketidakteraturan makan adalah penyebab utama," kata Ari Fahrial Syam, dokter spesialis penyakit dalam, konsultan masalah pencernaan dan lambung dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM. Di luar itu, maag juga bisa dipicu oleh makanan yang menyebabkan pengosongan lambung menjadi lambat, atau menyebabkan klep di antara lambung dan kerongkongan menjadi lemah.
Makanan jenis ini, antara lain, cokelat, keju, dan lemak-lemakan. "Makanan yang terlalu merangsang, seperti asam, pedas, dan makanan yang mengandung banyak gas serta minuman bersoda, juga potensial menyebabkan maag," kata Ari.
Beban kerja yang tinggi sehingga memicu stres, ditambah kurang istirahat, adalah faktor risiko lain terjadinya maag. Maklum, kondisi seperti itu akan memicu produksi asam lambung meningkat. Lantaran potret seperti ini lekat sekali dengan kehidupan warga Ibu Kota, kata Ari, "Bisa diterima jika angka kejadian maag cenderung meningkat. Urusan tidur, sesibuk apa pun, usahakan minimal enam jam sehari."
Menurut Ari, penderita maag boleh mengkonsumsi obat bebas. Cuma, jika sudah tiga-lima hari, kok, tidak ada perubahan, pergi ke dokter sangat dianjurkan. Pemeriksaan medis yang lebih teliti juga harus dilakukan jika maag terjadi berulang, misalnya saban pekan dengan keluhan hilang-timbul setelah mendapat obat bebas, dan sudah berlangsung lebih dari tiga bulan.
Salah satu pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah endoskopi, yakni meneropong saluran pencernaan atas, seperti yang dijalani Farida. Dengan alat ini, dokter akan mengetahui apakah maag yang dialami pasien tersebut adalah organik atau fungsional.
Pada maag fungsional, kelainan anatomi organ pencernaan tak ditemukan, sedangkan maag organik sebaliknya, yakni ada kelainan anatomi, seperti luka di lambung atau usus. Untuk mengatasi gangguan maag fungsional, yang salah satu pemicunya adalah stres, pengelolaan stres menjadi penting. Adapun pada maag organik, pemberian obat tak bisa dielakkan.
Agar maag tak mampir lagi, keteraturan makan harus diperhatikan, komitmen yang kini kian dipegang Farida. Di luar itu, ia juga selalu menyiapkan makanan kecil atau camilan, baik di mobil maupun di kantor, agar perutnya tak kosong. Small and frequent, makan sedikit-sedikit tapi sering. "Asal perut enggak kosong, tak terlalu mengganggu," katanya.
l DWI WIYANA
No comments :
Post a Comment