KOMPAS.com – Berpikir kritis, berargumentasi, berdebat merupakan salah satu ciri khas anak usia sekolah (6-12 tahun). Adu pendapat itu tak hanya dilakukan dengan teman sebaya, tetapi juga orang-orang yang lebih tua, termasuk ayah ibunya.
Jean Piaget, pakar perkembangan anak, mengatakan anak-anak SD berada dalam tahapan operasional konkret. Mereka berpikir berdasarkan logika, meski masih terbatas pada hal-hal konkret dan belum dapat memecahkan persoalan yang abstrak.
Namun memang, bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya, keterampilan berdebat atau berargumentasi anak-anak zaman sekarang semakin jempolan. Fakta-fakta yang mereka ajukan mendukung argumentasi dan mereka pun berani memaparkan semua hal yang ada dalam pikiran mereka dengan gamblang. Menurut Dewi Puspa Hardiawan, MPsi, Psikolog dari Sekolah Bakti Mulya 400, Jakarta ada lima hal yang membuat anak-anak sekarang memiliki keterampilan lebih dalam adu pendapat, yakni:
1. Perkembangan teknologi media dan informasi. Perkembangan teknologi media yang sangat pesat saat ini membawa pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak. Informasi begitu bebas diakses melalui internet dan berbagai bahan bacaan mereka miliki. Menurut sebuah riset, anak-anak yang gemar membaca akan menggunakan gaya komunikasi lebih aktif karena memiliki koleksi kosakata. Yang tetap harus diingat adalah pendampingan orangtua sehingga dapat mendorong anak untuk menggunakan media informasi tersebut dengan bijak.
2. Pola asuh dan lingkungan rumah. Pola asuh yang demokratis membuat anak memiliki keberanian mengungkapkan pendapatnya. Orangtua zaman sekarang pun kerap mengajak para buah hatinya mendiskusikan hal-hal yang menuntut penalaran. Ini membuat anak memiliki wawasan luas dalam berpikir dan punya argumentasi yang jauh lebih baik sudut pandangnya.
3. Lingkungan sekolah. Apabila anak berada dalam lingkungan sekolah yang kondusif dan kompetitif, ia akan dirangsang untuk bersaing, termasuk beradu pendapat, secara sehat dengan temannya.
4. Pola makan. Gizi juga menyumbang optimalisasi perkembangan struktur saraf (termasuk otak). Hal ini akan berpengaruh terhadap cara berpikir anak yang semakin kritis.
5. Budaya. Setiap generasi memiliki “budayanya” sendiri dalam mengajukan argumentasi. Yang perlu diperhatikan adalah nilai moral. Nilai moral tidak akan pernah berubah dari zaman ke zaman, yang berubah adalah budayanya.
Butuh arahan Kondisi zaman yang sedemikian rupa dan memungkinkan anak untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya, membuat anak semakin berpikir kritis, kreatif, dan analitis. Sayang, keadaan ini belum didukung usia psikologis (mental age) yang matang. Karena itulah mereka kerap berdebat dengan “cara mereka”. Hal ini yang sering membuat orangtua menjadi kurang nyaman karena seolah-olah merasa digurui dan kurang dihargai.
Perlu digarisbawahi, tujuan utama anak beradu argumentasi atau berdebat adalah berkomunikasi. Sebenarnya hal ini tidak salah karena merupakan suatu bentuk ekspresi dalam menyatakan pikiran, gagasan dan perasaannya. Yang mereka butuhkan adalah bimbingan dan pengarahan agar dapat menyampaikan pikiran, pendapat, perasaan dengan bahasa yang baik, tepat, logis, dan efektif.
Tanpa pengarahan, cara berdebat sesuka hati akan membuat anak sulit diberikan pengertian, menerima masukan, saran atau pendapat dari orang lain. Dampak negatif lainnya, keterampilan sosial yang kurang baik dan terhambatnya hubungan yang sehat dengan orang lain. Dikhawatirkan anak akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan persahabatan dengan teman. Belum lagi adanya labelling sebagai anak yang penentang, bawel, dan tukang protes.
(Hilman Hilmansyah)
No comments :
Post a Comment