TEMPO Interaktif, Jakarta -Perancang kondang dunia, Jean Paul Gaultier, meyakini idealisme merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan seseorang dalam berkarya. "Idealisme itu menjadi pemompa semangat yang jujur, dan berani menyatakan sikap siap mengambil kesempatan dan peluang pada sebuah karya atau kegiatan yang dilakukan," kata Gaultier dalam sebuah kesempatan sebagai pembicara di depan para perancang muda di Paris, medio Juni lalu.
Gaultier, yang di dunia mode Prancis mendapat julukan "anak nakal", memang memiliki tafsir idealisme sendiri dengan meluncurkan beragam koleksinya. Dia terkenal karena rancangan pakaiannya imajinatif dan unik untuk berbagai kalangan, mulai anak-anak, mahasiswa, wanita karier, hingga kaum homoseksual. Gaultier meyakini, karakter seseorang yang idealis sangat kuat dan mempengaruhi karyanya.
Dari dalam negeri, perancang Eddy Betty, tanpa bermaksud meniru semangat perancang dunia sekelas Gaultier, dalam acara peluncuran butiknya di kawasan Gunawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, belum lama ini berkolaborasi dengan Rinaldy A. Yurnardi, perancang aksesori, mengusung konsep idealisme second line.
Eddy, yang sudah belasan tahun berkarya di kelas adibusana, mencoba keluar dari zona nyaman dengan produk lini sekunder busana yang tetap mengutamakan kekuatan rancangan personal dan tidak ambisius mengejar pasar. "Saya memiliki semangat idealisme pada produk lini sekunder. Tentunya menjadi tantangan tersendiri bagaimana mempertahankan konsep idealisme dan mendekatkan karya ini kepada konsumen," ujarnya.
Maka, melalui label "edbe" (dibaca e-di-bi), perancang berkacamata ini menawarkan koleksi terbarunya busana siap pakai berciri Asia yang unik dan kental dengan unsur batik. "Untuk mendapatkan konsep seperti ini bukan hal mudah. Hampir 15 tahun dia mencari dan mematangkan proses konsepnya. "Saya ingin menyajikan sesuatu yang berbeda, unik, etnik, dan tentunya sisi gemerlap pun masih ada," kata Eddy.
Memakai bahan batik dan endorse batik--pada saatnya kelak dia akan menggunakan tenun, ikat, dan songket--dalam gemerlap aneka koleksinya, Eddy meyakini konsep ready-to-wear bukan semata bicara keuntungan atau sebatas pakaian yang akan mudah terjual. Pengalamannya pada adibusana kebaya dan gaun pesta menantangnya untuk menyajikan sesuatu yang disukai dan bisa langsung dikenakan para konsumennya.
Karena itulah, tidak tanggung-tanggung Eddy mengatakan, untuk rancangan lini sekunder ia tetap memberi perhatian khusus pada potongan supaya busananya tetap punya gaya. Dia mencontohkan, b panjang b"
K
dress Jepang, k
Menurut Sonny Muchlison, mantan wartawan yang kini menjadi pengamat mode dan gaya hidup, idealisme yang diusung Eddy Betty bukan asal atau sembarang. "Dia melewati proses panjang melalui pengalaman selama belasan tahun. Saya yakin second line
--
Source: http://www.tempointeraktif.com/hg/hobi/2011/07/17/brk,20110717-346982,id.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com
No comments :
Post a Comment