TEMPO Interaktif, Jakarta - Venue D'Desainers, Pasaraya, Blok M, Jakarta Selatan, disulap jadi ruang pamer batik. Bukan sembarang batik, tapi batik berusia puluhan dan ratusan tahun koleksi para pesohor Indonesia. Maklum, kemarin, 2 Oktober adalah Hari Batik Nasional. Pada tanggal yang sama dua tahun lalu si batik Indonesia mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Tak kurang dari 39 lembar dan 21 baju milik kolektor pecinta batik dipamerkan dalam acara Tribute to Batik. Koleksi batik ini berasal dari Solo, Jogja, Lasem, Cirebon, Pekalongan dengan berbagai motif. "Ini komitmen kami menghargai karya seni yang tinggi nilainya," kata Presiden Direktur Pasaraya, Medina Latief Harjani.
Salah satu, kain batik, yang dianggap sangat istimewa pada pameran itu adalah koleksi milik Etty Setiawan Djody. Kain panjang hampir empat meter dan lebar dua meter milik. isteri pengusaha minyak itu dibuat pada 1800-1900 saat pada pemerintahan Pakubuwono X. Kain bermotif ukel lar ini biasanya dipakai para putri keraton yang belum menikah saat sungkem pada acara gerebek seperti Maulud atau Syawal.
Dipamerkan juga batik koleksi pesohor lainnya, seperti ; Sukmawati Soekarno, Nina Akbar Tanjung, Ghea Panggabean, Wulan Goeritno, Dian Sastro, Anisa Pohan, Andien, Dwiki Darmawan, Jajang C Noer, Happy Salma, Sutiyoso, Miranda Swaray Gpeltom sampai pengusaha Sandiaga Uno. Disainer Roland Adam memamerkan dua koleksi baju batiknya, motif liris dan mega mendung. "Saya menawarkan baju batik untuk anak muda laki-laki, dan sangat diterima masyarakat," ujarnya.
Sebagai orang muda, Roland, 30 lebih memainkan model, warna dan harga. "Supaya lebih pas untuk anak-anak muda, tidak formal,casual dan sesuai acara apapun," kata pecinta yang memiliki lebih dari 100 koleksi kain panjang dan 50 baju batik. Selain kain, dipamerkan pula Mercedes Benz bermotif batik milik Piyu, gitaris grup band Padi.
Presenter Iwet Ramadhan termasuk salah seorang pecinta batik. Dia menganggap batik adalah darah dagingnya. Penyiar radio ini bela-belain mengeluarkan hingga puluhan juta untuk batik yang diinginkannya. "Saya memang harus disiplin untuk menyisihkan bujet jika sewaktu-waktu ingin beli,"katanya. Bagi Iwet membeli batik tulis berarti investasi.
Iwet membeli batik karya Obin atau Josephine Komara. Selembar batik tulis diatas bahan Cashmere dengan motif klasik yang direka ulang. Lewat Obin pula dia berguru tentang aneka batik dan motifnya. Saat berburu batik ke Jogja, Solo, Cirebon atau Pekalongan, dia pun sering mendapat informasi dari para kolektor atau pembuat batik. Jika suka, ditebusnya.
Pecinta batik kuno lainnya, Hartono Sumarsono. Pemilik dan pendiri Batik Kencono Ungu memiliki ratusan koleksi batik kuno. Berawal dari keprihatinan melayangnya batik-batik kuno ke tangan kolektor luar negeri, Hartono pun berusaha untuk mencegahnya. Tentu tak murah menebus dan merawat ratusan batik-batik kuno ini. Kecintaannya terhadap batik kuno, membuatnya rajin berburu batik-batik kuno. Dia mulai berburu batik sejak 1980-an hingga sekarang. Baru-baru ini dia memamerkan beberapa batik pesisir Kudus. Batik motif Kudusan miliknya rata-rata berumur puluhan tahun. Bahkan ada yang berumur 90-an tahun. Tak mau kalah dengan Pasaraya, di Jakarta Convention Center, berlangsung World Batik Summit 2011 selama lima hari. Juga beberapa hotel berbintang dan pusat perbelanjaan di Jakarta menggelar acara bertajuk batik dan kain Indonesia. Dirgahayu batikku.
DIAN YULIASTUTI
No comments :
Post a Comment