KOMPAS.com - Di toko buku Aksara, Jakarta, kami bertemu Arini Subianto. Ninin sapaannya. Dialah salah seorang pendiri toko gaya hidup itu. "Buku tidak akan pernah hilang karena itu adalah minat kami," kata Ninin tentang idealismenya.
Ninin baru saja begadang untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum bertemu kami pada Rabu (14/12/2011) siang. Raut wajahnya tak memperlihatkan rasa lelah. Ia justru tampak energik. Karena kegesitannya itu, oleh teman-temannya, Ninin diibaratkan sebagai kelinci dalam iklan produk baterai. "Mereka bilang, saya tidak akan berhenti bekerja kalau baterainya belum habis, ha-ha-ha," kata Ninin di Aksara, Pacific Place, Jakarta.
Toko dengan koleksi buku impor, produk digital, dan sejumlah pernik suvenir itu milik Ninin bersama rekan bisnisnya, Winfred Hutabarat. Malam itu, Aksara menggelar acara rilis Moleskine, buku harian asal Italia yang telah menjadi legenda. Banyak tokoh dunia yang menuangkan catatannya dalam buku ini, seperti pelukis Pablo Picasso dan Vincent van Gogh, serta sastrawan Ernest Hemingway.
Untuk di Indonesia, Ninin memperlihatkan buku harian milik beberapa tokoh dari berbagai profesi, seperti perancang busana Biyan Wanaatmadja, pengusaha Sandiaga Uno, dan sutradara Nia Dinata. Ninin rajin mengisi buku harian dengan jadwal kegiatan sehari-hari. Buku harian mungil miliknya juga "berwarna" dengan coretan tangan anaknya.
"Saya lebih suka membuat agenda di buku dibandingkan dalam media digital seperti banyak dilakukan orang saat ini. Menulis di buku bisa lebih kreatif, bisa memberi warna dan menempel sesuatu yang sulit dilakukan di ponsel atau komputer tablet."
Ninin memang tak pernah meninggalkan buku. Namun, dia juga mengikuti perkembangan teknologi. Ibu dua anak ini percaya bahwa buku adalah alat belajar yang lebih baik untuk anak-anak dibandingkan dengan media digital. Berdasarkan hal inilah, Ninin dan Winfred tetap menyediakan buku anak-anak di Aksara.
"Zaman sekarang, tantangan orangtua dan sekolah untuk membiasakan anak membaca buku lebih besar. Untuk itu, saya sangat menghargai sekolah yang menugasi murid untuk membaca dan menulis karena, kalau tidak, anak-anak akan terbiasa dengan informasi pendek dari Twitter, status di Facebook, dan bahasa yang dipakai di BlackBerry. Jangan sampai kultur ini menjadi absolut," tuturnya.
Meski demikian, Ninin tetap mengimbangi gaya hidup konsumen toko bukunya yang diterpa gaya hidup digital. Dari konsep toko buku murni ketika didirikan, Aksara kini telah menjadi "toko gaya hidup". Persentase buku yang tadinya mencapai 60-65 persen, saat ini tinggal 40-45 persen. Keberadaannya digantikan oleh berbagai produk digital, seperti buku digital, iPod, dan komputer tablet. "Akan tetapi, buku tidak akan pernah hilang karena itu adalah minat kami," kata Ninin.
Bandung-New York Selain membaca, Ninin juga gemar menggambar sejak kecil. Ia pun menyukai desain. Meski cintanya lebih besar pada desain interior, Ninin sebenarnya tak pernah menekuni bidang ini secara formal. Setelah sempat kuliah arsitektur di Universitas Parahyangan, Bandung, selama setahun, Ninin memilih bidang mode busana. Ayahnya yang pengusaha ketika itu menawari Ninin untuk kuliah di Amerika Serikat.
"Alasannya, New York adalah kota mode. Di sana ada sekolah yang telah meluluskan perancang-perancang terkenal di Amerika Serikat. Setelah bekerja, pengalaman kerja pun mudah dicari," ujar Ninin.
Anak sulung dari tiga bersaudara perempuan ini kemudian memilih kuliah di Parsons The New School for Design, sekolah yang telah melahirkan beberapa nama besar di bidang mode busana, seperti Donna Karan dan Marc Jacobs. Ketika kuliah, Ninin pun mendapat bimbingan dari perancang, yaitu Michael Kors dan Isaac Mizrahi. Ninin juga tak kesulitan mendapat pekerjaan. Sebelum studinya selesai, dia bekerja di Donna Morgan, produsen baju-baju perempuan.
Akan tetapi, ketika kembali ke Jakarta, Ninin justru memilih berbisnis di bidang furnitur. Dia membuka toko furnitur, termasuk memproduksi sendiri barang yang dijual di tokonya. Ilmu mendesain busana yang dia peroleh dipergunakan untuk mendesain interior Aksara. Mengapa tidak memilih berbisnis di bidang mode busana?
"Wah, kalau itu, saya serahkan kepada yang lebih ahli saja, ha-ha-ha," kata Ninin.
Masa kecil Kegemaran Ninin membaca buku diawali sejak kecil, ketika dia "melahap" habis buku cerita seperti Tintin, Lima Sekawan, dan buku-buku karya Enid Blyton. Setelah itu, seiring dengan tumbuhnya minat dan cita-cita, Ninin mulai membaca buku desain interior, bisnis kreatif, hingga perilaku konsumen. Minat itulah yang akhirnya menjadi modal bagi dia untuk mengelola Aksara.
Modal lain adalah prinsip hidup yang diajarkan orangtua, Benny dan Meaty Subianto. Ninin dididik untuk selalu bekerja keras, seperti yang selalu dilakukan ayahnya.
"Suatu ketika, bapak saya harus menjaga stan di Jakarta Fair agar bisa membeli lampu TL. Orang mungkin tahu bapak setelah beliau sukses, tetapi tidak banyak yang tahu bagaimana perjuangannya. Dari sikapnya, bapak adalah orang yang paling saya kagumi," kata Ninin.
Ninin kemudian bercerita tentang kalimat bijak dari sang ayah yang selalu dia ingat, "Uang memang tidak akan dibawa mati. Namun, kita harus punya uang untuk melakukan sesuatu, termasuk untuk beramal."
(Yulia Sapthiani/Nur Hidayati)
Sumber: Kompas Cetak
No comments :
Post a Comment