KOMPAS.com — Program MasterChef Indonesia saat ini sedang menayangkan edisi Ramadhan. Ketiga chef yang menjadi mentor, Vindex Tengker, Juna Rorimpandey, dan Rinrin Marinka, juga masih hadir membimbing para kontestan mengolah hidangan Ramadhan. Namun, Juna sendiri saat ini sedang tidak berada di Indonesia. Setelah mengundurkan diri dari posisi executive chef di Jackrabbit Cuisine & Libations, Jakarta, akhir Juli 2011 lalu, pertengahan Agustus ini Juna memutuskan untuk terbang ke Amerika Serikat selama sekitar sebulan.
"Saya mau liburan dulu, sekaligus menimba ilmu lagi," katanya pada Kompas Female saat berkunjung ke Redaksi Kompas.com, seminggu sebelum bertolak ke Amerika. Tidak, ia tidak berencana mengikuti sekolah chef atau semacamnya, tetapi mengunjungi teman-temannya sesama chef. "Chef di sana sangat open minded. Jadi, kalau lagi libur, saya sering main dan mencuri-curi ilmu," selorohnya.
Datang ditemani kekasihnya, Aline Adita, Juna muncul dengan dandanan kasual: kemeja lengan pendek, jins, dan sneakers. Pria bernama lengkap Junior John Rorimpandey ini terlihat harmless, tidak seperti penampilannya di televisi. Awalnya, ia memang terkesan masih menjaga jarak. Setelah mulai berbincang-bincang, terlihat ia cukup hangat dan menyukai obrolan yang intens.
Namun, jangan mengira kesan galak yang ditampilkannya dalam MasterChef Indonesia itu dibuat-buat atau sekadar memenuhi tuntutan skenario. Karakternya yang keras merupakan pembawaannya yang asli, ditambah dengan pengalaman hidup yang membentuknya menjadi seperti sekarang.
Juna tak pernah bermimpi menjadi chef seperti sekarang. Ia bahkan bukan chef lulusan sekolah kuliner atau sekolah chef seperti yang banyak dilakukan chef muda saat ini. Aktivitasnya dulu pun jauh dari urusan masak-memasak. Passion-nya saat itu (bahkan hingga sekarang) adalah motor Harley Davidson-nya.
Lulus dari SMA 3 Denpasar, Juna sempat kuliah di Jurusan Teknik Perminyakan Universitas Trisakti, Jakarta. Tak sampai lulus, ia menjual motor Harley Davidson kesayangannya untuk menjalani sekolah pilot di Amerika. Waktu pendidikan yang mundur membuat biaya hidupnya di sana tak terbayar lagi dari hasil menjual motor. Ditambah lagi, pasca-kerusuhan Mei 1998 itu, orangtuanya tak sanggup lagi membiayai pendidikannya di Amerika. Juna diminta membiayai hidupnya sendiri di Amerika.
"Enam bulan berikutnya kami harus mencari tempat tinggal karena ternyata saya sudah tinggal lebih dari enam bulan. Kami tinggal satu apartemen kecil berdelapan. Pernah mau makan saja saya nyari koin-koinan. Beli burger sandwich yang harganya 99 sen. Gembel parah, deh, pokoknya!" seru laki-laki kelahiran Jakarta, 20 Juli 1975, ini.
Juna akhirnya bertahan dengan bekerja di sebuah restoran Jepang. Mulanya, ia bekerja sebagai waiter, tetapi setelah dua minggu, chef di restoran tersebut menawarinya belajar memasak. Juna dididik dengan sangat keras. Selama berbulan-bulan ia hanya diberi tugas memasak nasi, mengupas udang, dan pekerjaan sejenisnya.
"Dulu motivasi saya terdorong oleh rasa takut. Soalnya, hanya restoran kecil yang berani membayar orang-orang ilegal. Saya takut kehilangan pekerjaan itu karena saya membutuhkannya. Saya takut mendapat punishment. Saya khawatir bahu saya ditepuk dari belakang karena ditepuk berarti ada pekerjaan yang salah," kenangnya.
Lama-kelamaan, kepercayaan dirinya mulai muncul. Juna yang awalnya merasa tak punya keahlian apa pun ternyata mampu belajar lebih cepat daripada teman-temannya. Ketika pundaknya ditepuk, hal itu bukan karena ia melakukan kesalahan, melainkan karena hasil kerjanya memuaskan. Kemampuannya untuk cepat belajar dan determinasinya ternyata membuat chef tersebut terkesan. Dalam waktu kurang lebih dua tahun, posisinya yang semula di tim cooks (juru masak) kemudian dipercaya sebagai chef. Dari sinilah namanya mulai dikenal di Amerika.
Keras dan disiplin
Sekarang, memasak tentu sudah menjadi passion-nya. Seorang chef baginya seperti seorang seniman. Dapur bagaikan sebuah laboratorium, di mana chef bereksperimen di sana. Ada eksperimen yang berhasil dan ditampilkan di menu, tetapi tak sedikit yang gagal. Namun, ada kepuasan tersendiri saat menumpuk dan mencampur bahan makanan. Selain itu, ketika melayani dan membuat orang lain bahagia, lalu mereka memuji sajian dan layanan chef, hal itu menimbulkan kepuasan tersendiri.
"Saya suka dentang wajan dan panci di atas kompor, seperti musik di telinga saya. Seperti orkestra, saya berkomunikasi dengan para koki lain untuk membuat pesanan tepat waktu. Adrenalinnya, kesibukannya, tempo cepat, dan tekanan, ketika itu semua selesai, tahu bahwa saya baru saja melewati satu malam yang sibuk untuk melayani orang, menciptakan sebuah kebahagiaan di dalam yang hanya saya yang bisa rasakan. Dan, hal itu memberi senyum di wajah saat saya tertidur pulas di malam hari," demikian pendapat Juna seperti ditulisnya dalam sebuah siaran pers.
Tidak mudah menjalankan restoran yang mampu memberikan layanan yang memuaskan. Juna menerapkan disiplin yang sama kerasnya terhadap para chef baru. Di dapur, semua harus memulai dari tingkat yang paling bawah, seperti mengupas kentang. Juna mengutamakan presisi dalam hal ini. Jika diminta memotong kentang dengan ukuran 2 cm x 2 cm, hasilnya harus tepat seperti itu. Jika ukurannya tidak tepat, ia tak ragu membuangnya.
Semakin profesional dan berkelas sebuah kitchen, tekanan di dalamnya juga semakin tinggi. Chef baru harus belajar dengan cepat. "Kalau sudah diajarin sekali-dua kali enggak bisa, bisa habis mereka. Memang kelihatannya enggak fair, tapi saya juga menghargai mereka yang punya mimpi (untuk menjadi chef). Buat saya, hasil akhir belakangan. Yang penting adalah attitude, menghargai ingredients, dan mereka mau memaksa diri untuk belajar," kata Juna.
Ia berkali-kali mengingatkan bahwa profesi ini sangat membutuhkan dedikasi. Ia sendiri biasa bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 02.00 dini hari. Chef tidak mengenal hari libur karena pada hari-hari libur justru orang-orang bersantap di restoran. Butuh kemauan keras serta fisik dan mental yang kuat untuk mampu menjalani profesi ini. Chef yang lahir dari pendidikan yang luxury dan terbiasa dengan fasilitas dari orangtua, menurut dia, belum tentu bisa tahan dengan ritme kehidupan di sebuah professional kitchen yang keras.
"Saya merasakan, ketika hidup dengan pressure, saya jadi selalu takut gagal sehingga saya tidak berhenti belajar. Di situlah passion dibutuhkan agar orang-orang di professional kitchen, khususnya chef, bisa tahan banting," ungkapnya. (Tenni Purwanti)
(Bersambung ke bagian II: Chef Juna: "Saya Sebenarnya Pemalu")
Baca juga: Juna: Jadi "Chef" Enggak Cukup Cuma Berbekal "Passion"
No comments :
Post a Comment