KOMPAS.com - Ketika mendengar nama "Coffee Toffee", banyak orang mengira ini adalah gerai kopi asal luar negeri. Wajar jika dugaan itu muncul. Dari segi penampilan, Coffee Toffee menyerupai gerai-gerai kopi lainnya yang berasal dari luar negeri. Hidangan-hidangannya pun tidak kalah dengan yang disajikan di gerai-gerai kopi asing tersebut. Tetapi, jangan salah, Coffee Toffee murni buatan dalam negeri. Kopi yang dijual juga kopi lokal, lho.
Sejak pendiriannya pada 2006 hingga sekarang, gerai Coffee Toffee sudah tersebar di mana-mana. "Saya ingin kopi Indonesia menempati posisi istimewa di hati para pecinta kopi tanah air. Indonesia adalah salah satu produsen kopi unggulan di dunia. Jadi wajar jika kita yang seharusnya lebih dulu menikmatinya," ujar Rakhma Sinseria, pemilik Coffee Toffee.
Awalnya coba-coba
Coffee Toffee merupakan wujud kecintaan Ria -nama panggilannya- terhadap kopi. Sejarahnya dimulai pada periode 2004 - 2005, ketika ia dan sang suami sedang gemar-gemarnya mengunjungi kafe di Surabaya, kota di mana mereka tinggal.
"Kami berdua memang senang mengonsurnsi kopi. Tetapi pada saat itu, di Surabaya belum ada banyak kafe atau coffee shop lokal yang harganya bersahabat. Mayoritas yang ada adalah kafe asal luar negeri," kenang Ria (31). "Sempat terpikir dalam benak kami, `Kok, kita selalu beli kopi di luar, ya? Kayaknya enak, nih, kalau bikin coffee shop sendiri. Yuk, coba bikin.' Begitu saja awal mulanya," Ria melanjutkan.
Ia mengaku, pada waktu itu mereka berdua masih naif dan berpikir bahwa mudah saja, kok, membuat kopi. Semua orang pasti bisa. Dengan penuh percaya diri, mereka kemudian mencoba membuat resep minuman kopi mereka sendiri dan membuat menu-menunya. Ini mereka lakukan sebagai sambilan saja.
Namun ternyata membuat kopi tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Ditambah lagi, mereka berdua tidak memiliki latar beakang memadai soal kopi. "Kami benar-benar buta tentang bisnis kopi, tidak tahu apa yang semestinya dilakukan. Kami juga tidak tahu cara menyewa tempat di mal," kata Ria.
Usaha kopi ini mereka jalankan sambil tetap bekerja di perusahaan lama. Bagi mereka, kalau untung, ya syukur. Kalau tidak, ya tidak apa-apa juga karena dianggap proses belajar.
Lama-kelamaan, muncul keinginan untuk menyeriusi usaha ini, karena Ria dan suami merasa terusik. Penyebabnya adalah karena mereka tak kunjung bisa menghasilkan sesuatu yang baik dari eksperimen tersebut.
"Kami merasa harus memilih, yang mana yang akan jadi fokus perhatian kami? Karier atau bisnis? Apabila usaha kami hanya setengah-setengah, baik di karier maupun bisnis, hasilnya tidak akan maksimal," ujar Ria.
Pada 2006, mereka sepakat memilih bisnis dan meneruskan usaha kopi tersebut. Ria pun berhenti dari posisinya sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan.
Alami jatuh-bangun
Setelah berhenti, Ria bersama suami mulai menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang bisnis kopi. Ia juga secara serius membuat perhitungan usaha. Nama "Coffee Toffee" dipilih karena unik, berirama, dan mudah diingat. "Kami mencari-cari di internet, kata apa sih yang berirama dengan `coffee'? Ternyata yang muncul adalah 'toffee'. Toffee adalah semacam permen cokelat. Jadi selain kopi, kami juga menjual minuman cokelat," Ria menjeiaskan.
Ria ingin memiliki kafe yang desainnya bisa bersaing dengan gerai-gerai kopi asal luar negeri, tapi dibutuhkan modal yang tidak sedikit untuk mewujudkannya. Karena modal mereka sangat terbatas ketika itu, Ria dan suami memilih membuat booth di pinggir jalan. "Saya pikir, kalau pelayanan dan kopinya bagus, pasti orang akan mencari, di manapun tempatnya. Kami lantas mendirikan gerobak di desan tempat kursus milik orang tua," ujar ibu dua anak ini.
Menu minuman kopi yang mereka tawarkan waktu itu hanya satu, dan merupakan campuran jenis kopi arabika dan robusta. Pada saat itu, Ria dan suami masih belum begitu paham mengenai jenis-jenis kopi dan menggunakan jasa penyalur kopi.
Tahun 2006 sampai 2009 diakui Ria sebagai masa-masa perjuangan usahanya. Bisnisnya belum menguntungkan. Ia menuturkan, ia masih sangat awam di dunia ini dan bisa jadi ia salah perhitungan soal keuntungan. Bahkan, menurut Ria, mereka sempat bangkrut. "Pada 2007, kami membuka 10 gerai, namun terpaksa menutup semuanya setahun kemudian. Kami bahkan sampai ditagih-tagih debt collector," kisahnya.
Bercermin pada kejadian itu, Ria pun menyadari bahwa untuk memulai suatu bisnis, nekat saja tidak cukup. Calon pebisnis juga harus membekali diri dengan ilmu yang memadai sebagai bekal.
Meski demikian, Ria sama sekali tidak menyesal berhenti dari pekerjaan lamanya dan menekuni usaha ini. Ia belajar banyak dari kenalan-kenalannya yang juga pebisnis.
"Mereka bilang, 'Ah, jatuh itu biasa dalam bisnis. Yang penting kamu man bangkit atau tidak?'" ujar Ria menirukan kata teman-temannya. Dukungan mereka sangat menginspirasinya untuk bangkit.
Sukses berkat kemitraan
Karena ia yakin bisnis ini memiliki prospek cerah, semangatnya langsung muncul lagi. Ria lalu benar-benar mencari tahu mengapa Coffee Toffee gagal. Ia merasa produk Coffee Toffee secara keseluruhan baik, murah, dan kemasannya menarik. Ria kemudian merombak konsep yang diusungnya selama ini. Ia berhenti menggunakan gerobak atau booth, dan tidak berjualan di pinggir jalan.
"Kelihatannya orang-orang ngopi sambil mengerjakan yang lain, contohnya rapat. Jadi pelanggan ingin tempat duduk. Saya pun kembali ke impian awal, yaitu memiliki kafe dengan ruangannya sendiri," Ria menerangkan.
Untuk mewujudkan impiannya, meski dengan modal terbatas, Ria memasarkan bisnis Coffee Toffee dengan sistem kemitraan. Kalau calon mitra ingin memiliki coffee shop dan mempunyai lokasi bagus, pihak Coffee Toffee yang akan mengatur semua sisanya, mulai dari peralatan, perabot, pencahayaan, sampai bahan-bahan. Semua itu Ria jalankan dengan bekal berupa pengalaman berbisnis kopinya selama ini.
"Alhamdulillah, pada 2009, beberapa orang percaya berbisnis dengan saya. Kami pun mulai bermitra," ujarnya.
Gerai perdana Coffee Toffee dengan sistem baru ini dibuka di kompleks sekolah Bina Nusantara di Serpong. Menurut Ria, ia belajar banyak dari kesalahan yang sudah dibuat. Di samping itu, dalam pemilihan mitra, ia mencari yang juga memiliki visi yang sama dengannya. Jumlah total gerai Coffee Toffee saat ini adalah 101 buah. Mayoritas berada di Jabodetabek dan tidak selalu di mal. Bisa di kampus, sekolah, perkantoran, atau lainnya.
Dalam anggapan Ria, ada banyak hal yang membedakan Coffee Toffee dari gerai-gerai kopi sejenis. Misalnya bahan. Mayoritas bahan yang digunakan adalah bahan lokal dari lima wilayah, yaitu Gayo dan Lintong di Sumatra, Toraja di Sulawesi, Bali, dan Jawa. Kopi-kopi ini biasa diekspor ke Jepang dan Eropa Jadi, kualitasnya memang bersaing. Harga minumannya pun terjangkau, mulai dari Rp 9.000-18.500 per gelas.
Kini setelah usahanya menuai sukses, optimisme Ria semakin bertumbuh. Ia yakin kopi telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia. "Ada semakin banyak orang yang tahu bahwa Indonesia memproduksi kopi berkualitas tinggi. Coffee Toffee menyajikannya untuk mereka," tuturnya.
Sumber: Majalah Sekar
No comments :
Post a Comment