Ida Jean Orlando

Ida Jean Orlando
A. Latar Belakang Ida Jean Orlando
Ida Jean Orlando dilahirkan pada 12 Agustus 1926, lulusan Diploma pada Medical College New York tahun 1947, memperoleh Gelar B.S pada Perawatan Kesehatan Publik, di Universitas St. John;s Brooklyn tahun 1951, dan kemudian memperoleh gelas M.A bidang konseling kesehatan mental pada Universitas Columbia New York tahun 1954. Setelah menyelesaikan pendidikan terakhirnya, Orlando kemudian bekerja di Sekoilah Keperawatan New Haven Conneticut, selama 8 tahuan, pada tahun 1958, ia menjadi asosiasi peneliti dan investigator untuk proyek negara mengenai Konsep kesehatan Mental pada Kurikulum Dasar. Proyek ini memfokuskan pada mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi integritas prinsip kesehatan mental untuk kurikulum dasar pendidikan keperawatan. Setelah 3 tahun ia melakukan pencatatan hasil penelitian dan ia menghabiskan waktu selama 4 tahun untuk menganalisa data yang diperolehnya pada penelitian tersebut, kemudian ia melaporkan penemuannya tersebut pada buku pertamanya yang diluncurkan pada tahun 1958 berjudul “The Dynamic nurse-patient relationship: Function, process and principle of Professional Nursing Practice”. Namun buku ini baru dipublikasikan pada tahun 1961. buku inilah yang memformulasikan Teori Dasar Keperawatan Orlando., dan dicetak kedalam lima bahasa yaitu : Bahasa Jepang, Hebrew, Prancis, Portugis dan Belanda. Pada tahun 1962 sampai dengan tahun 1972 Orlando bekerja sebagai Konsultan bidang Keprawatan Klinik di Rumah sakit Mc Lean Belmont. Dan ia memberikan laporan hasil kerjanya selama 10 tahun dirumah sakit tersebut melalui buku keduanya yang berjudul : “ The Discipline anda Teaching of Nursing Process : An Evaluative Study”. Orlando memberikan beberapa kontribusi penting dalam teori dan [raktek keperawatan. Konsep mengenai proses keperawatan yang ia berikan meliputi beberapa kriteria antara lain:
§ Memberikan konsep hubungan yang digambarkan secara sistematik mengenai fenomena bidang keperawatan.
§ Mengspesifikasi hubungan antar konsep keperawatan
§ Menjelaskan apa yang terjadi selama proses keperawatan dan mengapa hal itu terjadi.
§ Mengdeskipsikan bagaimana fenomena keperawatan dapat dikontrol.
§ Menjelaskan bagaimana mengontrol guna memprediksikan hasil dari proses keperawatan.

B. Konsep Utama dan Definisi
Teori Orlando Orlando mendeskripsikan model keperawatannya sebagai pengembangan dari lima faktor konsep yang berhubungan yaitu:
1. Fungsi dari keperawatan yang professional
2. Tingkah laku yang ditunjukkan oleh pasien selama proses keperawatan.
3. Respon langsung atau respon Internal yang diberikan oleh perawat
4. Disiplin dari proses keperawatan
5. Improfisasi dalam melakukan proses keperawatan

Tanggungjawab Perawat Tanggungjawab dari seorang perawat meliputi “bagaimana menolong seorang pasien dengan memenuhi kebutuhannya (misal; kenyamanan fisik dan mental yang harus diupayakan sedapat mungkin selama proses keperawatan berlangsung). Hal ini merupakan tanggungjawab seorang perawat dalam memenuhi kebutuhan psien baik melalui usahanya sendiri maupun menggunakan bantuan tenaga lain. Kebutuhan Kebutuhan merupakan “keadaan dimana seorang pasien membutuhkan, nutrisi, menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit, dan menumbuhkan perasaan yang adekuat untuk sembuh. Tingkah Laku yang Timbul dari Pasien Tingkah laku yang timbul ini berupa tingkah laku verbal maupun nonverbal yang dapat dilihat oleh seorang perawat. Reaksi Langsung Reaksi spontan termasuk didalamnya persepsi dari keduanya yaitu perawat dan pasien, pemikiran dan perasaan dari keduanya. Disiplin Proses Keperawatan Disiplin Proses Keperawatan termasuk di dalamnya komunikasi antara perawat dan pasien. Disiplin Proses Keperawatan atau disebut juga Delebrasi Proses Keperawatan inilah yang digambarkan pada buku pertama Orlando. Improvisasi Improvisasi di sini berarti bagaimana berkembang lebih baik, untuk memberikan hasil, atau untuk menggunakan beberapa manfaat dari suatu hal. Manfaat dari Perawat Kegunaan dari seorang perawt adalah untuk memberikan bantuan apa saja dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien untuk sembuh. Tindakan Spontan Perawat Tindakan spontan dari seorang perawat adalah “segala tindakan perawat yang dilakukan berdasarkan suatu alasan untuk memenuhi kebutuhan segera dari seorang pasien. Tindakan Deleberatif Perawat Tindakan dleberatif adalah segala sesuatu yang diputuskan setelah mengetahui kebutuhan yang diperlukan dan kemudian berupaya untuk memenuhinya.

C. Penggunaan Data
Perbandingan Orlando merupakan perawat pertama yang mengembangkan teorinya berdasarkan keadaan nyata dari hubungan antara perawat dan pasien. Orlando mencatat bahwa lebih dari 2000 kontak antara perawat dan pasien dalam mengembangkan teorinya yang didasarkan atas data dari hubungan tersebut. Orlando menggunakan metode kualitatif untuk menganalisa data yang diperolehnya atau metodologi riset lapangan dalam pengumpulan data penelitiannya.

D. Asumsi Pokok Teori Orlando
Hampir keseluruhan dari teori Orlando digambarkan secara implicit. Schmieding (1993) memberikan beberapa asumsi dari hasil tulisan Orlando mengenai empat bidang dan elebotasi mengenai pandangan Orlando mengenai:
1. Asusmsi mengenai Keperawatan
§ Keperawatan merupakan profesi yang berbeda dengan disiplin ilmu lain.
§ Keperawatan professional mempunyai fungsi dan dan menghasilkan produk yang berbeda (hasil).
§ Terdapat perbedaan antara sekadar membaringkan dengan tindakan keperawatan yang professional.

2. Asumsi mengenai Pasien
§ Kebutuhan pasien akan pertolongan merupakan suatu hal yang unik.
§ Pasien memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhannya akan pertolongan
§ Ketika pasien tidak memperoleh kebutuhannya maka ia akan mengalami kemunduran.
§ Tingkah laku dari seorang pasien merupakan suatu hal yang memberikan makna.
§ Pasien mampu dan bersedia berkomunikasi secara verbal (atau tidak verbal)

3. Asumsi mengenai Perawat
§ Reaksi seorang perawat terhadap pasiennya merupakan suatu hal yang unik.
§ Perawat seharusnya tidak menambah tekanan pada seorang pasien
§ Pemikiran dari seorang perawat merupakan alat utama dalam menolong seorang pasien.
§ Perawat menggunakan respon yang spontan dalam menjalankan tanggungjawab keperawatannya
§ Praktek keperawatan seorang perawat dikembangkan berdasarkan gambaran dari diri mereka masing-masing.

4. Asumsi mengenai situasi yang terjadi antara Pasien dan Perawat
§ Situasi hubungan antar perawat dan pasien merupakan suatu hal yang dinamis
§ Hal-hal yang terjadi dalam interaksi antara asien dan perawat merupakan bahan utama dalam mengembangkan pengetahuan seorang perawat.

E. Pokok Utama dari Teori Orlando
Teori Orlando menggambarkan mengenai fungsi dari keperawatan secara professional sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan pasien akan pertolongan. Fungsi ini akan terpenuhi ketika seorang perawat dapat mencari tahu dan menemukan apa saja kebutuhan yang diperlukan dari seorang pasien. Teori Orlando difokuskan pada bagaimana menciptakan kemajuan pada tindakan dari seorang pasien. Kemajuan dari seorang pasien dapat dilihat dari tingkah laku dan tindakan yang dapat diamati oleh seorang perawat. Persepsi seorang perawat terhadap tingkah laku dari pasiennya dapat menghasilkan suatu pemikiran yang dapat mempengaruhi perawat untuk mengembangkan kjemampuannya. Orlando mengidentifikasi dan mendefiniskan beberapa elemen dari reaksi langsung seorang perawat sebagai berikut:
§ Persepsi, simulasi fisik dari tiap orang berdasarkan hasil dari panca inderanya.
§ Pemikiran spontan mengenai persepsi yang berasal dari pemikiran seorang individu
§ Stimulasi perasaan dari hasil pemikiran dimana dapat mengerakkan seseorang dari hasil persepsi, pemikiran dan perasaanya.

F. Penerapan dalam Dunia Keperawatan
Praktek Kesehatan Teori Orlando telah berhasil digunakan di rumah sakit umum dan rumah sakit jiwa. Seperti pengakuan yang gambarkan pada Pusat Kesehatan Mental dan bagian klinik psikiatrik di Rumah Sakit umum di beberapa negara. Teori Orlando juga diterapkan di praktek keperawatan milik pribadi Dunia Pendidikan Teori proses keperawatan Orlando merupakan kerangka konseptual yang dapat dikembangkan dan dipraktekkan secara langsung. Pelatihan dari penerapan teori Orlando sangat berguna bagi perawat untuk mengontrol proses keperawatanya dan meningkatkan perkembangan dari reaksi seorang pasien. Penelitian Teori Orlando secara terus menerus menjadi dasar dari beberapa penelitian dibidang keperawatan dan diaplikasikan pada beberapa pengaturan prtoses penelitian. Beberapa peneliti yang mengembang teori Orlando diantaranya : Dracup dan Breu (1978), Pienschke (1973), Thibau dabn Reidy (1977) Schmiedhing (1988), Sheafor (1991), Ronte Reid (1992) dan banyak lagi peneliti lain. G. Pengembang Teori Orlando Disiplin Ilmu Proses keperawatan membutuhkan bagian yang integral pada murid dari sekolah keperawatan sehingga dapat diimplementasikan pada beberapa keadaan kondisi pada saat praktek keperawatan. Banyak dari pengguna Teori Keperawatan Orlando mengembangkannya dengan beberapa riset diantaranya Beuer dan McBride’s (2002) yang mengembangkanya pada proses perawatan dalam aspek penyakit bipolar.
"
Baca selengkapnya - Ida Jean Orlando

Tuberkulosis (TBC)


Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi kronis yang menyerang hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Program Penanggulangan TBC, khususnya TBC Paru di Indonesia telah dimulai sejak diadakan Simposium Pemberantasan TBC Paru di Ciloto pada tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada tahun 2003, World Health Organitation (WHO) dalam Annual Report on TB Control menyatakan bahwa Indonesia merupakan penyumbang kasus TBC terbesar ketiga setelah Cina dan India (Depkes RI, 2005: ix dan WHO, 2005: 1)
Menurut data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan Survey Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN) tahun 2001, TBC merupakan penyebab kematian ketiga terbesar (9,4% total kematian) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. SKRTN (2001) mengungkapkan angka prevalensi TBC diperkirakan 800 per 100.000 penduduk yang didasarkan atas adanya gejala-gejala TBC tanpa dilakukan pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2005: ix dan WHO, 2005: 1)

Pada dekade 2000-an, TBC dinyatakan WHO sebagai reemerging disease. Hal ini disebabkan karena angka TBC yang pada dekade 90-an dinyatakan menurun, kembali meningkat. Khususnya di Indonesia, angka TBC tidak pernah turun, bahkan cenderung meningkat (Muttaqin, 2007: 79)
Menyusul digelarnya Kongres I TBC pada tanggal 18-19 November 2006 di Jakarta, dikemukakan fakta-fakta tentang TBC, antara lain:
1. Sekitar 10% pasien TBC di dunia adalah orang Indonesia (Data WHO, 2000).
2. Setiap 2,5 menit akan muncul satu penderita TBC baru di Indonesia (insiden TBC 110/100.000 penduduk pertahun, data survey nasional 2004).
3. Setiap 4 menit satu orang Indonesia akan meninggal karena TBC (Publikasi WHO, 2000).
4. Berdasarkan data terbaru (2004) maka jumlah pasien TBC menular di Jawa/Bali adalah 67/100.000 penduduk, di Sumatera 203/100.000 dan Kawasan Timur Indonesia 246/100.000.
5. Secara nasional, pada setiap 100.000 penduduk Indonesia ada 125 pasien TBC menular (Survey TBC Nasional, 2004).
6. Setiap detik ada satu orang terinfeksi TBC di dunia (WHO, 2005).
7. Jumlah seluruh pasien TBC di dunia adalah 8.810.000 orang setahunnya, di mana 3.897.000 diantaranya adalah TBC yang menular.
8. Setiap tahun di dunia ada 1.747.000 orang yang meninggal karena TBC.
9. Sedikitnya sepertiga penduduk dunia saat ini telah terinfeksi kuman TBC.
Sejarah pengobatan TBC pada manusia diawali pada tahun 1944 dengan ditemukannya Streptomisin sebagai Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pertama, sampai kemudian pada tahun 1949 ditemukan Asam Para Amino Salisilat (PAS) yang dapat mencegah terjadinya resistensi terhadap Streptomisin. Sejak itu pengobatan TBC selalu menggunakan dua jenis obat atau lebih. Kemudian pada tahun 1952 ditemukan Isoniazid (INH) yang menjadi komponen penting dalam pengobatan TBC karena sangat efektif, toksisitasnya rendah dan harganya murah. Pada tahun 1972 mulai digunakan Rifampisin sebagai paduan obat jangka pendek yang pemberiannya dikombinasi dengan Ethambutol agar waktu pengobatan dipersingkat menjadi 6 bulan atau separuh dari waktu pengobatan dengan Streptomisin yang masa pengobatannya 12 bulan, dengan efek terapi yang tidak berkurang (Girsang, 2002: 5).
Tahun 1993/1994 OAT untuk program penanggulangan TBC dikemas dalam bentuk blister kemasan harian yang disebut kombipak (paket kombinasi). Obat yang digunakan terdiri atas: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E) serta Streptomisin (S) yang sediannnya dalam bentuk injeksi. Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai strategi komprehensif yang digunakan dalam pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TBC, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat (Girsang, 2002: 5-6).
Salah satu permasalahan dalam Program Penanggulangan TBC adalah lamanya jangka waktu pengobatan yang harus dijalani penderita selama 6 sampai 8 bulan. OAT yang digunakan dalam Program Penanggulangan TBC saat ini dan disediakan secara gratis oleh pemerintah adalah paduan OAT yang disebut FDC (Fixed Dose Combination). FDC tersedia dalam beberapa kategori yaitu FDC Kategori 1 untuk penderita TBC baru, FDC Kategori 2 untuk penderita TBC kambuh atau gagal, FDC sisipan dan FDC anak. FDC Kategori 1 merupakan OAT yang paling banyak digunakan karena penderita TBC yang ditemukan dan diobati sebagian besar adalah tipe baru.
Penggunaan FDC di Indonesia diawali dengan uji coba di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1999 dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang diobati dengan FDC di 16 Puskesmas, tidak ada penderita yang menolak pengobatan dengan tablet FDC, hanya sekitar 10% yang mengeluh efek samping minor tetapi FDC tidak harus dihentikan dan hanya 1 penderita (0,6%) yang mendapat efek samping mayor di mana obat harus dihentikan. Hasil pengobatannya sama dengan kelompok kontrol yang diobati dengan kombipak yaitu 96% penderita dinyatakan sembuh (Depkes RI, 2004: 2)

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Pengertian
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah obat yang merupakan kombinasi beberapa jenis antibotik untuk pengobatan Tuberkulosis (TBC) atau disebut juga dengan istilah Tuberkulostatika (Tjay dan Rahardja, 2003: 148).
b. Paduan OAT di Indonesia
Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination (2004: 1) menjelaskan bahwa paduan OAT yang disediakan dan digunakan saat ini dalam bentuk paket disebut dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang merupakan tablet berisi kombinasi beberapa jenis OAT dengan dosis tetap. Kemajuan bidang farmakologi memungkinkan untuk membuat tablet kombinasi yang terdiri atas beberapa macam OAT tanpa mengganggu bio-availability obat tersebut.
Paduan OAT FDC di Indonesia terdiri atas: Kategori 1 (2HRZE/4HR3), Kategori 2 (2HRZES/1HRZE/5HR3E3), Sisipan (HRZE) dan paduan OAT FDC anak (2HRZ/4HR).
Penggunaan FDC dalam pengobatan TBC memberikan beberapa keuntungan seperti lebih aman, mudah pemberiannya, lebih nyaman untuk penderita karena menelan tablet yang lebih sedikit sehingga meningkatkan penerimaan dan kepatuhan berobat, dosis lebih sesuai dengan berat badan penderita serta pengelolaannya lebih mudah.
c. Prinsip pengobatan
Tujuan pengobatan Tuberkulosis sebagaimana disebutkan dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 37) adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan dan mencegah resistensi.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 38) menjelaskan bahwa OAT ditelan sebagai dosis tunggal dalam jumlah cukup dan tepat selama 6 sampai 8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.
Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita menelan obat setiap hari dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
Pengobatan tahap intensif berlangsung selama 2 sampai 3 bulan (8 sampai 12 minggu) di mana penderita menelan OAT setiap hari.
2) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama, berlangsung selama 4 sampai 5 bulan (16 sampai 20 minggu). Pada tahap lanjutan ini penderita menelan obat secara intermitten tiga kali seminggu.

d. Jenis dan dosis OAT
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 37-38) jenis dan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan saat ini terdiri atas:

1) Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid , dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.
2) Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu.
3) Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB.
4) Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kgBB.
5) Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk yang berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
Sediaan OAT INH, Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol dalam bentuk tablet dan diberikan per oral, sedangkan Streptomisin diberikan melalui injeksi intramuskuler.

Jenis-jenis tablet FDC untuk dewasa terdiri atas:
1) Tablet yang mengandung 4 macam obat dikenal sebagai tablet 4FDC. Setiap tablet mengandung: 75mg Isoniasid (INH), 150mg Rifampisin, 400mg Pirasinamid dan 275mg Etambutol.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
2) Tablet yang mengandung 2 macam obat dikenal sebagai tablet 2FDC. Setiap tablet mengandung: 150mg Isoniasid (INH) dan 150mg Rifampisin.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
Disamping itu, tersedia obat lain untuk melengkapi paduan obat kategori 2, yaitu:
1) Tablet etambutol @ 400mg
2) Streptomisin injeksi vial @ 750mg atau vial @ 1gr
3) Aquabidest.
Dasar Perhitungan Pemberian OAT FDC:
1) Kategori I
Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.
• Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.
Diberikan kepada: penderita baru TBC Paru BTA positif, penderita baru TBC Paru BTA negatif rontgen positif (ringan atau berat) dan penderita TBC Ekstra Paru (ringan atau berat).

Tabel 2.1 Dosis untuk Kategori I (2HRZE/4HR3)
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan 3 x Seminggu
Selama 56 Hari Selama 16 Minggu
30-37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38-54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55-70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC

2) Kategori II
Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif untuk tablet 4FDC: 3 bulan x 4 minggu x 7 hari = 84 dosis, untuk Streptomisin injeksi: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis
• Tahap lanjutan: 5 bulan x 4 minggu x 3 kali = 60 dosis
Diberikan kepada: penderita TBC BTA positif kambuh, gagal, dan yang berobat kembali setelah lalai (default) dengan BTA positif.

Tabel 2.2 Dosis untuk Kategori II (2HRZES/1HRZE/5HR3E3)
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan
Selama Selama 3 x Seminggu
56 Hari 28 Hari Selama 20 Minggu
30-37 kg 2 tab 4FDC + 2 tab 4FDC 2 tab 2 FDC +
500 mg Streptomisin inj 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4FDC + 3 tab 4FDC 3 tab 2 FDC +
750 mg Streptomisin inj 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4FDC + 4 tab 4FDC 4 tab 2 FDC +
1000 mg Streptomisin inj 4 tab Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4FDC + 5 tab 4FDC 5 tab 2 FDC +
1000 mg Streptomisin inj 5 tab Etambutol

3) OAT Sisipan
OAT sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada penderita BTA positif tidak terjadi konversi, maka diberikan obat sisipan 4FDC (HRZE) setiap hari selama 28 hari dengan jumlah tablet setiap kali menelan sama dengan sebelumnya.

4) Kategori Anak
Diberikan pada penderita TBC anak, yaitu yang berusia 0 sampai 14 tahun. Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis
Obat yang digunakan adalah tablet 3FDC yang mengandung 30 mg Isoniasid (INH), 60 mg Rifampisin, 150 mg Pirasinamid.
• Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 7 hari = 112 dosis
Obat yang digunakan adalah tablet 2FDC yang mengandung 30 mg Isoniasid (INH), 600 mg Rifampisin.

Tabel 2.3 Dosis untuk Kategori Anak (2HRZ/4HR)
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan Tiap Hari Tiap Hari
Selama 2 Bulan Selama 4 Bulan
≤ 7 kg 1 tablet 3 FDC 1 tablet 2 FDC
8-9 kg 1,5 tablet 3 FDC 1,5 tablet 2 FDC
10-14 kg 2 tablet 3 FDC 2 tablet 2 FDC
15-19 kg 3 tablet 3 FDC 3 tablet 2 FDC
20-24 kg 4 tablet 3 FDC 4 tablet 2 FDC
25-29 kg 5 tablet 3 FDC 5 tablet 2 FDC


e. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 42-43), pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada penderita TBC dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada:
1) Akhir tahap intensif.
2) Sebulan sebelum akhir pengobatan.
3) Akhir pengobatan
Hasil pengobatan seorang penderita TBC seperti dijelaskan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2005: 45-47) dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (tansfer out), defaulter (lalai)/DO dan gagal.
f. Pengawas menelan obat
Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat atau PMO seperti seseorang yang dikenal, dipercaya, disetujui, tinggal dekat penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela, bisa dari petugas kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, guru atau anggota keluarga terdekat (Depkes RI, 2005: 48-49).
Tugas seorang PMO adalah :
1) Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

2. Efek samping obat
a. Pengertian
Efek samping biasanya dianggap sebagai gejala-gejala yang muncul akibat pemberian obat dan tidak berhubungan dengan kerja obat yang dimaksud atau diinginkan. Meskipun tidak diharapkan dan mengganggu, efek samping cukup sering terjadi pada dosis biasa sehingga pasien harus waspada mengenai kemungkinan terjadinya dan bagaimana menghadapinya (Deglin dan Vallerand, 2005: xxv).
Menurut Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (2007: 2) efek samping obat adalah setiap efek dari suatu pengobatan yang tidak dikehendaki, merugikan atau membahayakan pasien. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar dapat diketahui.
Dampak negatif masalah efek samping obat dalam klinik antara lain dapat menimbulkan keluhan atau penyakit baru karena obat, meningkatkan biaya pengobatan, mengurangi kepatuhan berobat serta meningkatkan potensi kegagalan pengobatan (Bagian Farmakologi Klinik FK UGM, 2007: 2).
b. Klasifikasi
Efek samping obat dapat dikelompokkan atau diklasifikasikan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi klinis dan sebagainya.
Bagian Farmakologi FK UGM (2007: 3) membagi jenis efek samping obat sebagai berikut:
1) Efek samping yang dapat diperkirakan:
- Aksi farmakologik yang berlebihan.
- Respon karena penghentian obat.
- Efek samping yang tidak berupa efek farmakologi utama.
2) Efek samping yang tidak dapat diperkirakan:
- Reaksi alergi.
- Reaksi karena faktor genetik.
- Reaksi idiosinkratik.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek samping obat
Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang penulis dapatkan maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap munculnya efek samping obat terbagi atas tiga faktor, yaitu: faktor karakteristik obat, faktor karakteristik pasien/klien dan faktor cara pemberian obat (Siregar, 2005: 242-244 serta Potter dan Perry, 2005: 1000-1020).
1) Faktor karakteristik obat yang mempengaruhi timbulnya efek samping obat terdiri atas: dosis, jumlah, efek farmakologi dan toksisitas.
Dosis dan jumlah obat yang diberikan, untuk sebagian besar menentukan apakah seorang pasien akan mengalami efek samping atau tidak. Dosis yang berlebihan pada umumnya akan menimbulkan berbagai efek samping pemakaian obat. Besarnya dosis dan jumlah obat juga akan menentukan bagaimana obat tersebut akan diabsorpsi, didistribusi, dimetabolisme, dan diekskresikan oleh tubuh.
Obat-obat dengan multi efek farmakologi juga akan lebih cenderung menyebabkan reaksi merugikan dari suatu obat (Siregar, 2005: 242-243 serta Potter dan Perry, 2005: 999).
2) Faktor karakteristik pasien yang mempengaruhi timbulnya efek samping obat meliputi: umur, jenis kelamin, genetik, kepatuhan dengan regimen obat, penyakit, status nutrisi, stress fisik dan emosional.
Umur adalah suatu faktor penentu yang penting dan berdampak langsung terhadap kerja obat, oleh karena itu dapat mempengaruhi timbulnya efek samping. Bayi tidak memiliki banyak enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat normal. Perkembangan sistem enzim hati yang belum sempurna, konsentrasi darah lebih tinggi dan waktu paruh dari obat lebih lama pada bayi dari pada orang dewasa. Sejumlah perubahan fisiologis yang menyertai penuaan mempengaruhi respon terhadap terapi obat. Orang tua diketahui sering menderita efek samping yang lebih tinggi daripada kelompok umur yang lebih muda (Siregar, 2005: 243 serta Potter dan Perry, 2005: 1000).
Sedangkan perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita dapat mempengaruhi timbulnya efek samping dikaitkan dengan perbedaan hormonal yang mengubah metabolisme obat tertentu. Hormon dan obat saling bersaing dalam biotransformasi karena kedua senyawa tersebut terurai dalam proses metabolik yang sama (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Susunan genetik juga dapat mempengaruhi biotransformasi obat. Pola metabolik dalam keluarga seringkali sama. Faktor genetik menentukan apakah enzim yang terbentuk secara alami ada untuk membantu penguraian obat. Akibatnya anggota keluarga sensitif terhadap suatu obat (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Kepatuhan dengan regimen obat berkaitan dengan ketidakmampuan atau ketidakmauan pasien menggunakan obat dengan tepat juga merupakan suatu faktor utama terhadap timbulnya efek samping obat. Kepatuhan pasien yang buruk terhadap regimen terapi obat dapat mengakibatkan penggunaan suatu dosis obat yang berlebihan atau kurang, atau penggunaan obat di luar waktu yang sewajarnya yang akhirnya menimbulkan efek obat yang tidak diinginkan (Siregar, 2005: 243).
Penyakit dapat mengubah fungsi normal tubuh, dan sebagai akibatnya farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang dikonsumsi juga akan berubah. Setiap penyakit yang merusak fungsi organ yang bertanggung jawab terhadap farmakokinetik normal (seperti: perubahan integritas kulit, penurunan absorpsi dan motilitas saluran cerna, kerusakan fungsi hati dan ginjal) juga akan merusak kerja obat, mengurangi efektifitas obat dan atau membuat pasien berisiko mengalami efek obat yang merugikan (Siregar, 2005: 243-244 serta Potter dan Perry, 2005: 1000).
Status nutrisi yang buruk mempengaruhi sel sehingga tidak dapat berfungsi dengan normal yang kemudian mengakibatkan biotranformasi tidak berlangsung. Seperti semua fungsi tubuh, metabolisme obat bergantung pada nutrisi yang adekuat untuk membentuk enzim dan protein. Kebanyakan obat berikatan dengan protein sebelum didistribusikan ke tempat kerja obat (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Stress fisik dan emosional yang berat akan memicu respon hormonal yang pada akhirnya mengganggu metabolisme obat pada klien. Radiasi ion, pajanan panas dan dingin adalah contoh stressor fisik yang dapat mempengaruhi respon terhadap obat. Demikian juga dengan sejumlah faktor psikologis dan emosional seseorang akan mempengaruhi penggunaan obat dan respon terhadap obat. Sebagai contoh sikap seseorang terhadap obat dapat berakar dari pengalaman sebelumnya, motivasi untuk sembuh atau pengaruh keluarga (Potter dan Perry, 2005: 1000).
3) Faktor cara pemberian obat yang dapat mempengaruhi timbulnya efek samping obat yaitu: rute, waktu, dan durasi.
Rute pemberian obat peroral, injeksi, topikal, inhalasi dan lain-lain dapat memberikan perbedaan efek obat yang ditimbulkan. Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi dari suatu obat pada masing-masing rute pemberian (Potter dan Perry, 2005: 1019).
Sedangkan waktu dan durasi pemberian obat berkaitan dengan siklus sirkadian yang dihubungkan dengan kronobiologi, kronofarmakologi dan kronofarmakokinetika dari suatu obat (Potter dan Perry, 2005: 1019, http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008). Siklus sirkadian yang terdiri dari siklus siang (diurnal) dan siklus malam (nokturnal) adalah irama yang mempengaruhi perubahan fisik dan mental yang terjadi secara teratur setiap hari. Irama tersebut dikontrol oleh body,s biological clock yang terletak dan merupakan bagian dari otak yang disebut supra chiasmastic nucleus (SCN), yaitu bundle saraf (mengandung sepuluh ribuan sel saraf) yang berada di persilangan dua jaras saraf mata. Irama siklus sirkadian tersebut sampai saat ini diketahui berbeda-beda baik untuk keadaan tidur, terjaga, lapar, kepekaan terhadap obat dan seks (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008).
Syekh Yusuf al-Hajj Ahmad dalam buku Al Qur’an Kitab Sains dan Medis (2006: 125-127) menyebutkan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk merenungi hikmah pergantian siang dan malam seperti dalam surah Al Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat 190, Yunus ayat 67, Ar Ra’d ayat 3, Al Isra ayat 12, Al Mu’minun ayat 80, Al Furqan ayat 47, An Naml ayat 86, Ar Rum ayat 23, Al Mu’min ayat 61, Al Jatsiyah ayat 5, Al Muzammil ayat 7 dan 20, serta An Naba ayat 10 dan 11.
Berikut kutipan dari Surah Al Baqarah ayat 164 yang artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang , bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Lembaga Percetakan Al Qur’an Raja Fahd, 2002: 40).

d. Efek samping OAT
Penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping dan sebagian mengalami efek samping. Bagian Farmakologi FK UGM (2007: 4) menjelaskan bahwa efek samping OAT pada umumnya diklasifikasikan sebagai efek samping obat yang tidak berupa efek farmakologi utama.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 53-57) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan sifatnya efek samping OAT dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Efek samping minor yaitu efek samping yang hanya menyebabkan sedikit perasaan tidak enak. Gejala-gejalanya sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik, obat sederhana, dan atau pengaturan pola waktu menelan OAT. Dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan (lihat tabel 2.6)

Tabel 2.4 Efek Samping Minor OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Anoreksia, mual,
sakit perut Rifampisin Obat ditelan malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d
rasa terbakar di kaki Isoniasid (INH) Beri vitamin B6 (piridoksin)
100mg/hari
Warna kemerahan pada urine Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
perlu penjelasan kepadaPenderita


2) Efek samping mayor yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (lihat tabel 2.7)

Tabel 2.5 Efek Samping Mayor OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Beri antihistamin, OAT
diteruskan dengan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT pengawasan ketat.
Bila bertambah berat,
Hentikan pemberian OAT, rujuk ke UPK
perawatan.
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OATHentikan semua OAT sampai ikterus
hilang
Bingung dan muntah-muntah
(permulaan ikterus karena obat)Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan
tes fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin

Pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan dengan menjelaskan tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT di unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005: 53).
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis pada standar 11 menyebutkan bahwa rekaman tertulis tentang pengobatan, termasuk respon efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien (WHO, 2006: 3).
Efek samping yang dapat timbul maupun prinsif penatalaksanaan dari OAT FDC sama dengan OAT kombipak. Identifikasi efek samping OAT FDC meskipun telah diketahui komponen obat penyebabnya, dianggap sebagai efek samping dari kesatuan OAT FDC tersebut secara keseluruhan karena sediaannya sebagai obat kombinasi dalam satu tablet.
Pada kasus efek samping mayor, bila tidak dapat ditangani dengan pemberian obat simptomatis maka pemberian OAT FDC harus dihentikan. Penatalaksanaan menggunakan cara ”drug challenging” untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab efek samping, tidak dapat dilakukan seperti pada OAT yang bukan dalam bentuk kombinasi. Bila OAT FDC sebagai penyebab efek samping tidak dapat diberikan kembali, penderita diobati dengan OAT Kombipak (OAT non kombinasi) tanpa menyertakan obat yang menjadi penyebab efek samping tersebut.
Penatalaksanaan terhadap efek samping minor OAT adalah dengan pemberian obat simptomatis sesuai manifestasi klinis gejala efek samping yang timbul, namun hal tersebut harus dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif dengan dokter. Sebagai contoh, gejala efek samping minor OAT yang timbul berupa nyeri sendi dapat diberikan obat analgetik seperti aspirin atau parasetamol. Sedangkan keluhan gejala efek samping berupa kesemutan sampai rasa terbakar di kaki dapat diberikan pengobatan dengan piridoksin/vitamin B6 (Depkes RI, 2005: 55)
Penatalaksanaan keperawatan mandiri terhadap kasus efek samping minor OAT yang timbul dapat dilakukan dengan memodifikasi waktu menelan OAT pada malam hari sebelum tidur, sesuai dengan peran yang dapat dilakukan perawat pengelola program TBC seperti yang dipaparkan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2005: lampiran).
Jika memungkinkan OAT dianjurkan ditelan pada waktu setengah jam sebelum makan pagi. Efek samping utama jika obat diberikan setiap hari seperti OAT fase intensif adalah efek yang mengenai saluran gastro-intestinal seperti mual, hilang selera makan dan sakit perut ringan atau kadang-kadang timbul diare. Seringkali masalah tersebut dapat diatasi jika OAT diminum sebelum tidur malam (Crofton dan kawan-kawan, 2002: 186-187).
Metabolisme tubuh akan semakin meningkat secara signifikan pada siang hari seiring dengan aktifitas dan kegiatan yang dilakukan. Peningkatan metabolisme tubuh tersebut diikuti dengan peningkatan kerja saraf otonom yang membuat tubuh lebih peka terhadap stressor, sehingga stressor yang walaupun sifatnya ringan akan lebih dirasakan berat. Demikian pula halnya dengan keluhan efek samping obat, walaupun efek samping yang timbul hanya bersifat ringan atau keluhan efek samping yang seharusnya tidak muncul akan dapat dirasakan lebih berat atau dirasakan timbul dan mengganggu perasaan klien secara umum (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008).
Pada malam hari tubuh dalam keadaan istirahat yang merupakan kondisi kebalikan dari siang hari di mana metabolismenya juga akan mengalami penurunan. Metabolisme tubuh yang menurun akan mengurangi kepekaannya terhadap stressor, termasuk sensitivitas perasaan terhadap keluhan efek samping obat yang timbul (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008).
e. Penatalaksanaan keperawatan terhadap efek samping OAT
Intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif dalam pemberian terapi OAT salah satunya adalah memberikan tindakan penanganan terhadap efek samping yang timbul. Uraian tugas pengelola program TBC di Unit Pelayanan Kesehatan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: lampiran) menyebutkan bahwa perawat diberikan kewenangan untuk memberikan intervensi keperawatan dalam penatalaksaanaan efek samping OAT sesuai protap yang telah ditentukan.
Masalah keperawatan pada penderita TBC yang berkaitan dengan efek samping OAT di antaranya adalah: Kurang pengetahuan tentang pengobatan berhubungan dengan: interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif (http//iwansain.files.wordpress.com, diakses 12 April 2008).
Intervensi terhadap masalah keperawatan: Kurang pengetahuan tentang efek samping OAT adalah:
• Memberikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan.
Rasionalisasi: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
• Menjelaskan efek samping obat dan penatalaksanaannya.
Rasionalisasi: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi, mencegah keraguan terhadap pengobatan, mencegah mangkir berobat dan meningkatkan keberhasilan pengobatan.
• Mengubah waktu menelan OAT.
Rasionalisasi: Meminimalisir timbulnya efek samping yang mungkin dipengaruhi oleh waktu minum OAT.
(http//iwansain.files.wordpress.com, diakses 12 April 2008 dan Depkes RI, 2005: 55).

Sumber :
H.Nor Efendi. 2008. Hubungan Waktu Menelan Obat Antituberkulosis Fixed Dose Combination (OAT FDC) Kategori 1 dengan Timbulnya Efek Samping Mino (Studi di Kabupaten Hulu Sungai Utara). Skripsi, Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin.
Baca selengkapnya - Tuberkulosis (TBC)

Konsep Dasar Hipertensi



a. Pengertian
Hipertensi didefinisikan suatu peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik yang abnormal (Price and Wilson, 1994). Hipertensi adalah darah
sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekan an darah diastolik 90 mmHg atau lebih
atau sedang dalam pengobatan anti hipertensi (Soeparman, 1999). Menurut
WHO, hipertensi atau tekanan darah tinggi yaitu tekanan darah sistole sama
dengan atau diatas 160 mmHg, diastole di atas 90 mmHg (Mansjoer,1999).
Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan
diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda (dilakukan 4 jam
sekali). Dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi
dari 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg dia stolik (Corwin, 2001).
Klasifikasi tekanan darah menurut WHO (Mansjoer,1999) adalah:
1) Normotensi
Tekanan sistolik kurang dari 140 mmHg dan tekanan diastolik kurang dari
90 mmHg.
2) Hipertensi ringan
Tekanan sistolik 140-180 mmHg dan tekanan diastolik 90 -105 mmHg.
3) Hipertensi perbatasan
Tekanan sistolik 140-160 mmHg dan diastolik 90-95 mmHg.
4) Hipertensi berat dan sedang
Tekanan sistolik lebih dari 180 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 150
mmHg.
5) Hipertensi sistolik terisolasi
Tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik kurang dari 90
mmHg.
6) Hipertensi sistolik perbatasan
Tekanan sistolik 140-160 mmHg dan tekanan diastolik kurang dari 90
mmHg.
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi menurut Joint Comitte on Detection Evaluation and
Treatment of High Blood Presure
Katagori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130 - 139 85 - 89
Hipertensi
Derajat 1 140 – 159 90 – 99
Derajat 2 160 – 179 100 – 109
Derajat 3 > 180 110

b. Etiologi
Menurut Corwin (2001), penyeba b hipertensi dibagi menjadi dua golongan
yaitu:
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Penyebab hipertensi esensial tidak diketahui secara pasti, disebut
juga hipertensi idiopatik. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti
genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin,
angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca
intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko seperti obesitas,
alkohol, merokok, serta polisitemia (Soeparman, 1999).
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal
Penyebab spesifiknya diketahui seperti penggunaan estrogen,
penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal, hiperaldosteronisme primer, dan
sindrom chusing, feokromositoma, hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan.(Mansjoer, 2000).
c. Patofisiologi
Menurut Corwin (2001), tekanan darah bergantung pada kecepatan
denyut jantung, volume sekuncup/curah jantung dan tekanan perifer (TPR),
maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel tersebut dapat
menyebabkan hipertensi.
1) Peningkatan kecepatan denyut jantung
Terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus
SA. Peningkatan denyut jantung kronik sering menyertai keadaan
hipertiroidisme, biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup
atau TPR.
2) Peningkatan volume sekuncup/cura h jantung yang berlangsung lama.
Terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang
berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal
atau konsumsi yang berlebihan yang dapat meningkatkan volume diastolik
akhir, biasa disebut preload jantung. Peningkatan preload biasanya
berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik.
3) Peningkatan tekanan perifer (TPR) yang berlangsung lama
Terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada
arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arte iol terhadap
rangsangan normal. Kedua hal tersebut menyebabkan penyempitan
pembuluh. Pada peningkatan tekanan perifer, jantung harus memompa
lebih kuat supaya menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk
mendorong darah melintasi pembuluh -pembuluh yang menyempit. Hal ini
disebut afterload jantung biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan
diastolik. Apabila afterload berlangsung lama, ventrikel kiri mungkin mulai
mengalami hipertrofi (membesar). Dengan hipertrofi kebutuhan ventrikel
akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus memompa
darah lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, serat -serat
otot jantung juga mulai teregang melebihi panjang normalnya yang
akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume
sekuncup/curah jantung.
Menurut Guyton ( 1995 ) hipertensi dibedakan atas 2 golongan besar :
1) Hipertensi beban volume
Terjadi akibat kenaikan volume cairan ekstra seluler yang berlebihan
dalam tubuh. Hal ini menyebabkan kenaikan volume darah diikuti dengan
peningkatan curah jantung. Kenaikan curah jantung inilah yang
menyebabkan hipertensi.
2) Hipertensi vasokonstriksi
Terjadi akibat peningkatan bahan -bahan yang secara khusus
cenderung meningkatkan hipertensi yaitu angiotensin II, norefenefrin dan
efinefrin. Bahan ini menyebabkan kenaikan tekanan perifer total yang
menyebabkan penyempitan diameter arterioral dan terjadilah Hipertensi.
d. Manifestasi Klinis
Menurut Corwin (2001), sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun, dan berupa :
1) Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan intrakranium.
2) Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi
3) Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf
pusat
4) Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
5) Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
Peningkatan tekanan darah kadang -kadang merupakan satu-satunya
gejala pada hipertensi esensial, gejala seperti sakit kepala, epistaktis,
pusing, migran. Gejala-gejala yang lain seperti sukar tidur, sesak nafas, rasa
berat ditengkuk (Mansjoer, 1999).
e. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada kasus hipertensi menurut
Mansjoer (1999) :
1) Stroke dapat timbul akibat perdar ahan tekanan tinggi otak atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non -otak yang terpajan tekanan
tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri -arteri yang
memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal.
2) Dapat terjadi infark miokardium apabila arteri koroner yang aterosklerotik
tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk trumbus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh
tersebut.
3) Gagal ginjal kronik terjadi karena kerusakan progresif akibat tek anan tinggi
pada kapiler-kapiler ginjal glomerulus.
4) Ensefalopati (kerusakan otak) terjadi akibat tekanan yang sangat tinggi.
Pada kelainan ini menyebabkan peningkatan kapiler mendorong cairan ke
dalam ruang interstisium di seluruh susunan saraf pusat.
5) Wanita dengan PIH dapat mengalami kejang.
f. Penatalaksanaan
1.Medis
Menurut Mansjoer (1999), penatalaksanaan nonfarmakologis :
a) Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indeks masa tubuh
>27)
b) Membatasi alkohol
c) Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30 -40 menit/hari)
d) Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na/2,4 g Na/6 g NaCl/hari)
e) Mempertahankan asupan kalsium dan magnesium adekuat.
f) Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol
dalam makanan.
Menurut Corwin (2001), penatalaksanaan nonfarmakol ogis :
a).Mengurangi berat badan agar mengurangi beban kerja jantung
sehingga kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup juga
berkurang.
b).Olahraga, terutama bila disertai penurunan berat. Olah raga
meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi hipertensi yan g
terkait aterosklerosis.
c).Teknik relaksasi mengurangi denyut jantung dan tekanan perifer
dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis.
d).Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang
hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan ali ran darah ke
berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja jantung.
Menurut Soeparman dan Sarwono (1994), penatalaksanaan
farmakologis :
a) Diuretik
Menurunkan volume plasma dan curah jantung. Untuk terapi jangka
panjang pengaruh utama adalah mengurangi resist ensi perifer.
Efek samping : hipotensi dan hipokalemia.
b) Golongan penghambat simpatetik
Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara
menyebabkan vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks
takikardi yang kurang nyata dan retensi cairan daripa da vasodilator
lainnya. Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin,
felodipin, amilodipin, verapamil dan diltiazem
c) Betabloker
Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, juga
menurunkan sekresi renin. Kontraindikasi bagi pas ien gagal jantung
kongestif. Preparat yang biasa digunakan adalah propanolol,
asebutolol, atenolol, bisoprolol, labetolol dll
d) Vasodilator
Yang termasuk golongan ini adalah doksazosin, prazosin, hidralazin,
minoksidil, diaksozid dan sodium nitroprusid. Golongan ini bekerja
langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos yang
akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah .
e) Penghambat enzim konver

http://askep-askeb.cz.cc/
Baca selengkapnya - Konsep Dasar Hipertensi

Nyeri

KONSEP DASAR Nyeri


Pengertian

Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, rasa nyeri timbul bila ada jaringan tubuh yang rusak, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri.
Nyeri merupakan suatu fenomena yang kompleks.
Nyeri merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh manusia yang dapat mengindikasikan bahwa seseorang mengalami masalah.
Nyeri adalah suatu antithesis dari rasa senang atau suatu keadaan yang tidak menyenangkan (Aristoteles).
Nyeri adalah sesuatu yang abstrak yang ditimbulkan oleh adanya perasaan terluka pada diri seseorang misalnya, adanya stimulus yang merusak jaringan tubuh dan nyeri merupakan pola respon yang dilakukan seseorang untuk melindungi organisme dari kerusakan (Richard Sternback).
Nyeri bersifat subjektif. Nyeri adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat dari adanya rangsangan baik fisik maupun psikologis.

Fisiologi perjalanan nyeri :
Reseptor nyeri yang jumlahnya jutaan di tubuh, menerima sensasi yang kemudian dibawa ke spinal cord yaitu pada daerah kelabu dilanjutkan ke traktus spinothalamikus selanjutnya ke korteks serebral. Mekanismenya sebagai berikut ;

  • Alur nyeri dari tangan yang terbakar mengeluarkan zat kimia bradykinin, prostaglandin kemudian merangsang ujung reseptor saraf yang kemudian membantu transmisi nyeri dari tangan yang terbakar ke otak.
  • Impuls disampaikan ke otak melalui nervus ke kornu dorsalis pada spinal cord.
  • Pesan diterima oleh thalamus sebagai pusat sensori pada otak.
  • Impuls dikirim ke corteks dimana intensitas dan lokasi nyeri dirasakan.
  • Penurunan nyeri dimulai sebagai signal dari otak, turun melalui spinal cord.
  • Pada kornu dorsalis zat kimia seperti endorfin dikeluarkan untuk menurunkan nyeri.

Teori “Gate Control” nyeri
Teori ini menyatakan bahwa : saraf berdiameter kecil menghantarkan stimulus nyeri ke otak, sedangkan saraf berdiameter besar berusaha menghambat transmisi impuls nyeri dari spinal cord ke otak. Mekanisme ini terjadi pada sel-sel substancia gelatinosa pada kornu dorsalis di spinal cord.

Sumber nyeri
Nyeri berdasarkan asalnya ada 2 yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik berasal dari lapisan dinding tubug dan nyeri viseral berasal dari organ-organ internal yang berada dalam rongga thorak, abdomen dan kranium.
Nyeri dapat berasal dari fisik atau psikologik dan dapat terjadi secara “concomitants”. Nyeri memiliki suatu ambang / “treshold” dan ambang ini dicapai secara berbeda. Ambang dicapai oleh karena adanya hambatan transmisi impuls nyeri dari spinal cord ke otak. Mekanisme ini terjadi pada sel-sel substansia gelatinosa pada kornu dorsalis di spinal cord.

Klasifikasi nyeri dapat dibagi menurut :
a. dua rasa nyeri utama yaitu :
nyeri cepat: bila diberikan stimulus nyeri maka rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik.
Rasa nyeri cepat juga digambarkan dengan banyak nama pengganti seperti : rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut, dan rasa nyeri elektrik
nyeri lambat: timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara perlahan bertambah selama beberapa detik dan kadang kala bahkan beberapa menit.
Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan seperti rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut, nyeri mual dan nyeri kronik.
b. Waktu nyeri
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi tiba-tiba, intensitasnya bervariasi dari sedang sampai dengan berat dan berakhir dalam periode singkat sampai dengan kurang dari 6 bulan.
Nyeri kronis adalah : nyeri yang intermitten atau persisiten dan berakhir lebih dari 6 bulan misalnya nyeri pada penyakit kanker.

Respon Terhadap Nyeri :

  • Respon perilaku

Menghindar dari stimulus
Meringis atau menangis
Diam menahan
Melindungi area yang nyeri

  • Respon Fisiologik

Respon simpatetik (Pada nyeri akut atau superficial) dan merupakan respon homeostatis

  1. Peningkatan tekanan darah
  2. Peningkatan denyut nadi dan pernafasan
  3. Dilatasi pupil
  4. Ketegangan otot dan kaku
  5. Dingin pada perifer
  6. Sering buang air kecil
  7. Kadar gula darah meningkat

Respon Parasimpatetik (pada nyeri berat) dan menunjukkan bahwa tidak mampu lagi melakukan homeostatis.

  1. Mual dan muntah
  2. Penurunan kesadaran
  3. Penurunan tekanan darah
  4. Penurunan nadi
  5. tekanan darah
  6. Penurunan nadi
  7. Pernafasan cepat dan tidak teratur
  8. Lemah
  • Respon Afektif
  1. Diam tidak berdaya
  2. “withdrawl” (menolak)
  3. Depresi
  4. Marah
  5. Takut
  6. Tidak punya harapan
  7. Tidak punya kekuatan

Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri :

  1. Budaya (etnis, keluarga, jenis kelamin, usia)
  2. Agama
  3. Strategi menyelesaikan masalah (“coping strategy”)
  4. Dukungan dari lingkungan
  5. Kecemasan atau stressor lain
  6. Pengalaman sakit yang lalu

Pengukuran skala nyeri
Persepsi nyeri mencakup proses sensasi ketika stimulus nyeri terjadi dan berhubungan dengan interpretasi nyeri oleh seseorang. Ambang nyeri adalah intensitas terendah dari stimulus nyeri yang dapat menyebabkan seseorang mengenal nyeri. Sebenarnya ambang nyeri itu jika tanpa adaptasi, sama pada setiap orang, akan tetapi proses adaptasi setiap orang tidaklah sama sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan ambang nyeri pada setiap orang karena adanya perubahan sesuai dengan adaptasi yang dialami setiap orang. Nyeri pada dasarnya adalah “personal experience” / pengalaman seseorang individu. Jadi dengan demikian persepsi nyeri itu sangat individual dan unik pada setiap orang. Durasi, Berat/Intensitas, Kualitas, Periode dari Nyeri. Nyeri itu suatu perasaan campuran dan terjadi pada berbagai tingkatan.


http://askep-askeb.cz.cc/

Baca selengkapnya - Nyeri

TRAKEOSTOMI

Pengertian
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakhea untuk benafas
Traheostomi adalah tindakan membuat stoma agar udara dapat masuk ke paru-paru dengan memintas jalan nafas bagian atas (adams, 1997)
Menurut letah stoma trakheostomi dibedakan letak tinggi dan letak rendah. Dan batas letak ini adalah cincin trakhea ketiga.
Indikasi
Indikasi dari trakeostomi antara lain:

  1. Mengatasi obstruksi laring
  2. Mengurangi ruang rugi (dead air spase) di saluran nafas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen yang hirupnya akan masuk ke dalam paru tidak ada yang tertinggal di ruang rugi itu. Hal ini berguna pada penderita dengan kerusakan paru yang kapasitas vitalnya berkurang.
  3. Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus dari penderita yang tidak dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik misalnya pada penderita dalam keadaan koma.
  4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernafasan)
  5. Untuk mengambil benda asing dari subgiotik apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.

Fungsi
Fungsi dari trakheostomi antaralain:

  1. Mengurangi jumlah ruang hampa dalam traktus trakheobronkial 70 sampai 100 ml. Penurunan ruang hampa dapat berubah ubah dari 10 sampai 50% tergantung pada ruang hampa fisiologik tiap individu
  2. Mengurangi tahanan aliran udara pernafasan yang selanjutnya mengurangi kekuatan yang diperlukan untuk memindahkan udara sehingga mengakibatkan peningkatan regangan total dan ventilasi alveolus yang lebih efektif. Asal lubang trakheostomi cukup besar (paling sedikit pipa 7)
  3. Proteksi terhadap aspirasi
  4. memungkinkan pasien menelan tanpa reflek apnea, yang sangat penting pada pasien dengan gangguan pernafasan
  5. memungkinkan jalan masuk langsung ke trachea untuk pembersihan
  6. memungkinkan pemberian obat-obatan dan humidifikasi ke traktus
  7. mengurangi kekuatan batuk sehingga mencegah pemindahan secret ke perifer oleh tekanan negative intra toraks yang tinggi pada fase inspirasi batuk yang normal

http://askep-askeb.cz.cc/
Baca selengkapnya - TRAKEOSTOMI

Sulit Makan Pada Anak Ditinjau Secara Psikologis

Sulit Makan Pada Anak Ditinjau Secara Psikologis: "
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
Sepanjang masa kanak-kanak terutama saat usia balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang amat peat. Pertumbuhan terjadi berkenaan dengan adanya perubahan kuantitatif pada suatu aspek seperti bertambah tinggi dan berat badan anak, sedangkan perkembangan menunjukan pada adanya perubahan kualitatif, seperti perubahan cara berpikir, perubahan kepribadian anak, misalnya anak yang pemalu menjadi luwes bergaul dsb.
Pertumbuhan tubuh, otak, kemampuan penginderaan dan keterampilan motorik adalah bagian dari perkembangan fisik. Perkembangan fisik tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan maupun perkembangan kepribadian anak. Sementara itu pertumbuhan dan perkembangan individu selain dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal juga dipengaruhi oleh faktor kematengan dan proses belajar atau latihan. Faktor internal mencakup segala sesuatu yang ada dalam diri anak itu sendiri, baik merupakan faktor bawaan maupun yang diturunkan oleh orangtuanya. Sedangakan faktor eksternal mencakup perlakuan, pengasuhan ataupun pengalaman seseorang selama hidupnya.
Kesiapan seseorang untuk melakukan kegiatan atau aktivitas fisik tidak hanya dipengaruhi oleh kematangan sel-sel otak, tetapi juga kematangan otot dan sistem tulang. Bila kematangan belum tercapai, latihan tidak ada gunanya. Sebaiknya bila kesiapan telah tercapai, latihan atau proses belajar akan mempercepat peningkatan keterampilan fisik seseorang. Misalnya anak usia 18 bulan sudah dapat memegang sendok untuk makan sendiri walaupun masih belum sempurna.
Sepanjang masa usia bayi.perkembangan anak amat erat kaitannya dengan perkembangan fisiknya. Dengan demikian perwatan kesehatan anak danpemberian nutrisi yang baik amat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik anak. Perkembangan kecerdasan dan informasi selama masa bayi terutama terjadi melalui panca inderanya, karena itu faktor pemberian perangsangan yang tepat amat menentukan agar aspek-aspek fisik motorik, sosial-emosi, kepribadian dan kecerdasan dapat berkembang. Perangsangan untuk mengembangkan kemampuan bayi terjadi selama orangtua atau pengasuhnya berinteraksi dengan bayi dalam kegiatan merawat, memandikan, menidurkan, dalam aktivitas bermain, ataupun saat memberi makan.


POLA MAKAN
Pola makan dan kebiasaan makan antara satu keluarga dengan keluarga lain atau antaraseseorang dengan orang lain tidak selalu sama. Perbedaan ini antara lain disebabkan karena adanya perbedaan tempat tinggal, ketersediaannya makanan, keadaan kesehatan anak, selera makan, kemampuan daya beli, kebiasaan hidup danmakan keluarga.
Perbedaan pola makan yang terjadi sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh orangtua yang meneruskan nilai-nilai keluarga dan masyarakat dimana mereka tinggal. Dalam hal ini memang tokoh ibu yang lebih sering memegang peranan. Ibu akan menyajikan makanan yang diyakininya baik bagi anaknya berdasarkan pengalman sejak ia masih kecil dan pengetahuan yang didapatnya mengenai pemberian makanan yang baik bagi anak. Perubahan pola makan pada keluarga jarang terjadi jika tidak terjadi perubahan pandangan sikap dan kepercayaan terhadap makanan tertentu. Perubahan sikap ini baru akan terjadi bila pengetahuan seseorang akan nilai suatu makanan cukup baik dan ia berkehendak untuk mengubah pola makannya. Akan tetapi perubahan sikap itu sendiri sering mengalami hambatan karena orang malas untuk berubah, atau tidak melihat adanya manfaat dari perubahan yang dilakukan ataupun telalu berpegang pada tradisi.
Sesungguhnya banyak orangtua terutama ibu-ibu yang telah mengetahui tentang nilai gizi dari suatu makanan, akan tetapi karena keengganan untuk berubah. Bahkan dapat terjadi sebaliknya, makanan dan pola makan yang diberikan sudah memadai, namun pengetahuan ibu ini menjadi tidak berarti karena anak mengalami kesulitan makan.


MASALAH SULIT MAKAN
Pentingnya energy yang tepat dan pemasukan nutrisi di dalam situasi “mencintai dan mendukung” selama masa bayi tidak dapat dibantah. Sejak lahir sampai usia 1 tahun, berat bayi 3 kali lebih berat dari saat lahir dan panjangnya bertambah 50%.
Sampai usia 6 bulan ASI atau susu formula tetap menjadi sumber utama nutrisi. Perubahan terbesar di dalam kebiasaan makan adalah memberi makanan padat. Dalam pemberian makan, bayi tidak langsung diperkenalkan makanan padat, namun secara bertahap dimulai dari makanan semi-padat hingga makanan padat.
Sejak anak memasuki usia prasekolah, orangtua sering mengeluh bahwa anaknya sulit makan atau sedikit sekali mengkonsumsikan makanan atau hanya makan makanan tertentu saja . Nafsu makan seorang anak memang berfluktuasi selama masa pertumbuhannya, demikian juga kebutuhan kalorinya. Pada usia ini tampak bahwa pertumbuhan fisiknya mulai lambat dibandingkan pada usia sebelumnya. oleh karena itu dapat dimengerti bahwa kebutuhan nutrisi dan nafsu makan menjadi berkurang. Selain itu dalam perkembangan kepribadiannya anak mulai ingin menunjukan dirinya dan indepensinya, sehingga ia mempunyai keinginan untuk menentukan sendiri apa yang hendak dimakan. Seringkali sulit makan ini hanya sebagai bentuk ungkapan ekspresi diri, anak ingin menunjukan kemandiriannya atau juga kemarahan pada orangtuanya.
Menurut teori psikoanalisis, pengalaman makan pada anak terkait erat dengan pemuasan di daerah oral (mulut). Tercapainya pemuasan di daerah oral ini ikut berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak kelak. dengan demikian gangguan dalam hal makan dapat mengganggu pemuasan oral dan diperkirakan kelak akan dapat mengganggu perkembangan kepribadian anak.
Sejauh bahwa anak masih memperlihatkan kesehatan yang memadai serta kelincahan bergerak, orangtua tidak mempermasalahkan asupan yang masuk pada anak. Masih dianggap wajar bila anak kadang rewel dan makan sedikit, mungkin anak sedang tidak sehat, bosan atau merasa tidak suka dengan makanan yang disajikan. Masalah sulit makan akanbenar-benar menjadi masalah bila anak makan sedikit sekali, rewel atau suka “ngemut” dalam waktu yang relatif lama ataupun usianya sudah memungkinkan makan makanan padat namun anak menolak. Sulit makan pada anak yang seperti ini sering terjadi sebagai protes atau reaksi emosional terhadap orangtua. Anak bereaksi karena jenuh sebab orangtua sering mengancam atau menghukum anak saat menyuruh atau memberi makan. Selain itu juga pengalaman yang tidak menyenangkan saat anak mulai dikenalkan makanan padat dapat pula menyebabkan anak merasa makan sebagai suatu hukuman, akibatnya anak menjadi menolak untuk makan atau sulit makan.
Orangtua yang sering memaksa makan tanpa memperhatikan kebutuhan anak akan makanan, membuat anak tidak pernah dapat membedakan antara rasa lapar dan keharusannya untuk makan, serta menganggap makanan sebagai hukuman bagi anak. Orangtua atau pengasuh yang sering memaksa anak makan, menyebabkan anak tidak menghargai makanan dan dapat mempermainkan makanan tersebut, sehingga anak tidak pernah belajar makan dengan benar. Demikian pula bila makan diberikan bukan dalam situasi makan tetapi bersama aktivitas lain, misalnya sambil bermain berjalan-jalan atau menonton TV.
Selain itu juga, pemberian makanan yang kurang berfariasi dapat pula menyebabkan anak sulit menyesuaikan dengan makanan baru. anak usia kanak-kanak awal yang masih dibiasakan makan makanan halus karena orangtua demikian takut tidak ada makanan yang masuk padanya dapat menyebabkan anak sulit menerima makanan padat atau keras.


BEBERAPA KESULITAN MAKAN PADA ANAK
Ada beberapa kesulitan makan pada anak, antara lain :

1. Menolak Makan
Kebiasaan menolak makan sudah mulai tampak sejak masa bayi. Biasanya anak yang demikian pola makannya kacau dan kenaikan berat badannya tidak teratur, bahkan ada yang tidak bertambah berat badannya untuk beberapa bulan.
Kesulitan makan dalam hal ini biasanya terjadi karena orangtua terlalu menekankan secara kaku agar anak makan dalam jumlah makanan yang telah ditetapkan tanpa memperhatikan kebutuhan makan dan selera anak. Orangtua biasanya memaksakan dengan berbagai cara agar anaknya mau makan. Penolakan anak terhadap makanan akan menyulutkan kemarahan orangtua, dan tidak jarang orang tua menggunakan ancaman, bahkan kekerasan dan pukulan pada anak. Sebaliknya, bila hal ini berlangsung terus menerus, maka anak justu belajar bahwa dengan menolak makan mereka mendapat perhatian dari orangtuanya atau anak belajar bahwa duduk makan bersama orangtua bukanlah merupakan sesuatu yang menyenangkan.

2. Mengemut Makanan
Ada anak yang suka mengemut makanan, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk makan menjadi berjam-jam. Biasanya anak yang demikian adalah anak yang mempunyai sejarah sering menolak makanan dan umumnya anak-anak yang demikian juga lambat dalam melakukan kegiatan-kegiatan lain, seperti mandi, dan berganti baju.Mengemut makan ini juga merupakan suatu cara untuk menarik perhatian orangtua atau cara menolak melakukan sesuatu kegiatan yang biasanya dilakukan setelah kegiatan makan selesai, misalnya tidur.

3. Memuntahkan Makanan
Muntah biasa terjadi pada bayi. Hal ini disebabkan karena adanya udara yang mendesak keluar yang masuk saat anak menyusu, atau karena kebanyakan makan, alergi ataupun menderita infeksi. Dapat pula anak muntah karena adanya perubahan lingkungan atau stress yang diderita akaibat makan.

PENANGANAN
Menghadapi masalah sulit makan pada anak hendaknya orangtua tidak bersikap panik. Perhatikan apakah yang menjadi penyebab utama keluhan tersebut. Berikut ini ada beberapa langkah yang perlu dilakukan orangtua dalam menghadapi kesulitan makan pada anak :

Pertama, “jangan khawatir”, dengan mengetahui perkembangan dan kebutuhan nutrisi pada masa usia kanak-kanak awal ini adalah wajar bila nafsu makan anda berkurang.
Perhatikan anak, bila mereka bersemangat, tonus otot baik, mata bercahaya, rambut bersinar, maka sesungguhnya nutrisi anak termasuk cukup. Perlu diperhatikan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya masalah sulit makan, misalnya adanya penyakit yang diderita anak, anak yang tidak sehat biasanya menolak makan. Bisa pula karena kelelahan yang dialami anak, misalnya karena pemberian latihan yang berlebihan, atau karena lelah bermain.
Hitunglah semua makanan yang dimakan anak selama satu hari penuh, hitunglah beberapa kalori yang masuk. seringkali orangtua menjadi terkejut bahwa sesungguhnya makanan yang dimakan anak sudah memenuhi persyaratan kebutuhan kalori anak, hanya karena belum makan atau sedikit sekali memakan “makanan utama” maka orangtua menganggap anak makan sedikit.
Jangan memaksa anak untuk makan lebih banyak dari yang mereka inginkan.
Jika mungkin tawarkan pada anak untuk memilih makanan yang disenangi, yang tentu saja dimungkinkan.
Bila diperhatikan makanan yang dimakan anak sepanjang hari, maka mungkin anak terlalu banyak diberikan makanan cemilan (snacks). Walaupun makanan tersebut termasuk makanan yang menyehatkan, akan tetapi karena diberikan terlalu sering sehingga anak tidak merasakan adanya perasaan lapar. tentu saja hal ini menyebabkan kebiasaan makan anak menjadi tidak baik.
Beberapa anak mungkin menjadi cepat bosan dengan pemberian makanan yang sama setiapkali. Berikan makanan yang bervariasi, terutama pada jenis, bentuk dan tekstur makanan.
Selain itu amat penting memperbaiki hubungan antara orangtua dan anak, juga mengubah suasana saat pemberian makan.
Pada anak yang menolak makan, maka mulailah memberikan makanan yang paling disukai anak dengan suasana yang menyenangkan. Kemudian secara bertahap memberikan variasi makanan.
Selain itu beberapa hal yang juga perlu dihindari adalah pemberian makan yang berlarut-larut. Hentikan pemberian makan bila anak sudah mempermainkan makanan yang ada dipiringnya atau anak menjadi rewel. Pada saat menyingkirkan makanan itu, lakukanlah tanpa marah-marah dan hindari perkataan yang menunjukan emosi tidak senang orangtua atau pengasuh. Hendaknya orangtua jangan terlalu menekankan anak dengan keras untuk makan, sehingga suasana makan atau pun pemberian makan diartikan oleh anak sebagai bentuk untuk mendapatkan perhatian dari orangtua.
Jangan memberikan makanan cemilan sampai waktu makan yang berikutnya sebagai pengganti karena anak tidak menghabiskan makanannya tadi, atau memberikan makanan tambahan sebab dapat menghilangkan selera makan anak.

BEBERAPA PETUNJUK UNTUK MENAMBAH SELERA MAKAN ANAK
Sajikan makanan-makanan sederhana, makanan yang mudah dikenali. Anak usia Kanak-kanak awal ini biasanya ingin mengetahui apa yang dimakannya dan menolak makan yang dicampur, sehingga mereka tidak mengenal bentuknya.
Jika mungkin sajikan makanan yang dapat dipegang, misalnya kentang goreng.
Setiap kali hanya mengenalkan satu jenis makanan baru.
Sajikan dalam porsi kecil, terutama makanan yang baru dikenal atau yang tidak disenanginya.
Perhatikan penampilan dan bentuk, tekstur, warna dan rasa dari makanan. Kreatiflah dalam menyajikan makanan, misalnya membuat dadar telur yang dihias sehingga menampilkan wajah yang lucu atau menyenangkan.
Buatlah suasana makan itu menyenangkan dengan pembicaraan yang menarik bagi anak. Kurangi pembicaraan mengenai makan itu sendiri. Suasana yang “mencintai dan mendukung” amat diperlukan. Terimalah bila anak tidak menghendaki suatu jenis makanan tertentu, tetapi jelaskan nutrisi yang terkandung dalam makanan tersebut tanpa terkesan ‘memaksa’.
Bagi anak yang sudah cukup mengerti, ikut sertakan anak untuk menentukan menu makanan yang hendak dimakan. Jika anak merasa menjadi bagian dari aktivitas, maka biasanya mereka menjadi lebih tertarik. Gunakan lembar berisi informasi tentang makanan beserta gambar, misalnya daging, telur, ayam, ikan dan sayur-sayuran. Bantu anak merencanakannya dengan gambar piring yang akan diisi dengan makanan apa yang hendak dimakan hari ini. Namun perlu diingat tidak terlalu banyak macamnya, dan bersikap tegas untuk tidak mengganti saat anak tidak mau memakannya, cukup disingkirkan dan tidak dengan marah-marah.
Berilah contoh makan yang baik bagi anak. Orangtua yang tidak bersemangat untuk makan atau rewel makan akan menjadi contoh yang buruk bagi anak, sebab anak biasa meniru tokoh yang berarti baginya. Demikian pula pada orangtua yang menolak untuk suatu jenis makanan tertentu, misalnya sayuran.
Hindari pemberian permen yang keras, kacang-kacangan dan makanan lain yang akan mengurangi selera makan.
Jangan memaksa anak untuk makan dengan cara yang sempurna seperti orang dewasa, misalnya makan dengan rapih tanpa berserakan.


KEPUSTAKAAN
Garber, S.W, garber, M.D & Spizman, R.F : GOOD BEHAVIOR MADE EASY 1992, Great Pond Publishing Ltd. USA
Miller, K; AGES AND STAGES 2001, Telsher Publishing Co, Inc, Florida
Nurdadi,S: SULIT MAKAN PADA ANAK BALITA DAN PENANGANANNYA
1996, YKAI, hari Anak Nasional. Semarang.
Nurdadi, S: MASALAH MAKAN PADA ANAK BALITA DAN PENANGANANNYA 2000. Temu Muka & Konsultasi di Klinik Anakku Kelapa Gading.
Santrock. J.W : LIFE SPAN DEVELOPMENT, 7TH Ed. 1999. McGraw-Hill, Boston.
Santrock. J.W : CHILDREN, 2nd Ed. 1990. Wm. C. Brown Publisher. Texas.


"
Baca selengkapnya - Sulit Makan Pada Anak Ditinjau Secara Psikologis

Congestive Heart Failure / gagal jantung


1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaring an dan/atau kemampuannya hanya ada
kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001).
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
jaringan akan Oksigen dan nutrisi.
2. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu :
a. Disritmia, seperti: Bradikardi, takikardi, dan kontraksi premature yang sering
dapat menurunkan curah jantung.
b. Malfungsi katup, dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan
beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti
stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban
volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri.
c. Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark
miokard, aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari
aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium,
penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi l uas karena hipertensi
pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik.
d. Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan
kegagalan pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi
selama 8 hari pertama setelah infa rk.
Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung
kongestif, yaitu: kelainan otot jantung, aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik
atau pulmonal (peningkatan afterload) , peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif, penyakit jantung lain, faktor sistemik
3. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2001) berdasarkan bagian jantung yang mengalami
kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal
jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Menurut New York Heart
Association (Mansjoer, 2001) klasifikasi fungsional jantung ada 4 kelas, yaitu:
Kelas 1 : Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas
sehari-hari tidak menyebabkan keluhan.
Kelas 2 : Penderita dengan kelainan jantung yang mempunyai akti vitas fisik
terbatas. Tidak ada keluhan sewaktu istirahat, tetapi aktivitas sehari -
hari akan menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 3 : Penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan
istirahat tidak terdapat keluhan, tetapi ak tivitas fisik ringan saja akan
menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 4 : Penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa
terganggu. Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan telah
terdapat pada keadaan istirahat.
4. Patofisiologi
Menurut Soeparman (2000) beban pengisian (preload) dan beban tahanan
(afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan
adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah
jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan
simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan t erjadi
takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang
berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terj adi
redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena
(Venous return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir
diastolik dan menaikkan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi , dan
redistribusi cairan badan merupakan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan.
Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut diata s sudah
dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga tepenuhi,
maka terjadilah keadaan gagal jantung. Gagal jantung kiri atau gagal jantung
ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel
kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastol
dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat.
Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel
kiri pada waktu diastolik, dengan akib at terjadinya kenaikan tekanan rata - rata
dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dari vena - vena pulmonal. Bila keadaan ini
terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru - paru dengan
akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda - tanda akibat
adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini
merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk
sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah,
maka akan merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban
tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada
akhirnya terjadi gagal jantung kiri - kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi
karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi
sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. De ngan
menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volum akhir diastole
ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam
kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan dalam atr ium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang
meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena
kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan
dan adanya bendungan pada vena -vena sistemik tersebut (bendungan pada
vena jugularis dan bendungan dalam hepar) dengan segala akibatnya (tekanan
vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bika keadaan ini terus
berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat
timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak dan Gallo (1997) tanda dan gejala yang terjadi pada gagal
jantung kiri antara lain kongesti vaskuler pulmonal, dyspnea, ortopnea, dispnea
nokturnal paroksismal, batuk, edema pulmonal akut, penurunan curah jantung,
gallop atrial (S3), gallop ventrikel (S4), crackles paru, disritmia, bunyi nafas
mengi, pulsus alternans, pernafasan chey ne-stokes, bukti - bukti radiologi
tentang kongesti vaskuler pulmonal. Sedangkan untuk gagal j antung kanan
antara lain curah jantung rendah, peningkatan JVP, edema, disritmia, S3 dan S4
ventrikel kanan, hiperesonan pada perkusi.
6. Diagnosis
Menurut Framingham ( Mansjoer, 2001) kriterianya gagal jantung kongestif
ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.
a. Kriteria mayor terdiri dari:
1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan vena jugularis
3) Ronchi basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Irama derap S3
7) Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O
8) Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor terdiri dari:
1) Edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang menjadi ? maksimum
7) Takikardi (>120 x/ menit)
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor harus ada di saat bersama an.
7. Potensial Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002) potensial komplikasi mencakup: syok
kardiogenik, episode tromboemboli, efus i perikardium, dan tamponade
perikardium.
8. Pemeriksaan penunjang
Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat d ilakukan
untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:
a. Elektro kardiogram (EKG)
Hipertropi atrial atau ventrikule r, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia,
takikardi, fibrilasi atrial.
b. Skan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding .
c. Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/
struktur katup, atau area penurunan kontraktili tas ventrikular.
d. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
e. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.
f. Enzim hepar
Meningkat dalam gagal / kongesti hepar.
g. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal, terapi
diuretik.
h. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut
menjadi kronis.
i. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
j. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN
dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
k. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung kongestif.
9. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2001) prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure
adalah:
a. Meningkatkan Oksigenasi dengan pemberian Oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui istirahat / pembatasan aktivitas.
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan reversibel termasuk tirotoksikosis, miksedema dan
aritmia.
2) Digitalisasi, digoksin, condilamid.
c. Menurunkan beban jantung
1) Menurunkan beban awal dengan:
a) Diit rendah garam
b) Diuretik: furosemid ditambah kalium
c) Vasodilator: menghambat Angiotensin-converting enzyme (ACE),
Isosorbid dinitrat (ISDN), nitrogliserin, nitroprusid.
2) Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol.

http://askep-askeb.cz.cc/
Baca selengkapnya - Congestive Heart Failure / gagal jantung

Gambaran Umum Kanker Serviks / leher rahim


Gambaran Umum Kanker Serviks
1. Pengertian
Kanker serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks,
sehingga jaringan disekitarnya tidak dapat melaksanak an fungsi sebagaimana
mestinya. Keadaan tersebut biasanya disertai dengan adanya perdarahan dan
pengeluaran cairan vagina yang abnormal, penyakit ini dapat terjadi berulang -
ulang (Prayetni, 1997).
2. Etiologi
Penyebab kanker serviks tidak diketahui secara pa sti. Faktor-faktor yang
terkait dengan proses timbulnya kanker serviks adalah aktivitas seksual dini,
hubungan seksual tidak stabil, pasangan seksual dua atau lebih / berganti -ganti,
usia pertama kali melahirkan dini, infeksi virus, genetalia buruk, dan pe nggunaan
estrogen lebih dari tiga tahun (Prayetni, 1997).
Beberapa faktor predisposisi kanker serviks menurut Baird (1991) terdiri
dari tiga faktor yaitu :
a. Faktor individu : terdiri dari infeksi HPV dan herpes simpleks 2, merokok,
pasangan seksual lebih dari satu.
b. Faktor resiko : penggunaan oral kontrasepsi, minum -minuman, Kebersihan
post koitus kurang, koitus saat menstruasi, terlalu sering membersihkan
vagina, status ekonomi rendah.
c. Faktor pasangan laki-laki : merokok, pasangan seksual lebih dari satu, koitus
dengan pekerja prostitusi, lingkungan yang terpajan dengan zat karsinogen.
3. Patofisiologi
Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan
intraepitel, perubahan neoplastik, berkembang menjadi kanker serviks setelah
10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang
melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi
karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Meskipun kanker invasif berkembang
melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubaha n ini progres menjadi
invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -
35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi
yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS)
berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma
insitu menjadi invasif 3 – 20 tahun (TIM FKUI, 1992).
Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali
adanya perubahan displasia yang perlahan -lahan menjadi progresif. Displasia ini
dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat
trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan
keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan
tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma
serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat
menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis
serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada ser viks, parametria dan
akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Karsinoma
serviks dapat meluas ke arah segmen bawah uterus dan kavum uterus.
Penyebaran kanker ditentukan oleh stadium dan ukuran tumor, jenis histologik
dan ada tidaknya invasi ke pembuluh darah, anemis hipertensi dan adanya
demam.
Penyebaran dapat pula melalui metastase limpatik dan hematogen. Bila
pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah
bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah beni ng obtupator, iliaka
eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke
kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen, tempat
penyebaran terutama adalah paru -paru, kelenjar getah bening mediastinum dan
supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni, 1997).
4. Manifestasi Klinis
Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah
yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan
nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif.
Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai
perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -80%)
(Wiknjosastro, 1997).
Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks ti dak ada gejala-gejala
khusus. Biasanya timbul gejala berupa ketidakteraturannya siklus haid,
amenorhea, hipermenorhea,dan penyaluran sekret vagina yang sering atau
perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang
khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid.
Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah
lumbal. Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi,
sekret dari vagina berwarna kuning, berbau d an terjadinya iritasi vagina serta
mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin
progresif.
Menurut Baird (1991) tidak ada tanda -tanda khusus yang terjadi pada
klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksa an dalam
(vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah yang
keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai
menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki,
hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan
rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga merupakan gejala
penyakit lanjut.
5. Tahapan Klinis
Penentuan tahapan klinis penting dalam memperkirakan penyebaran
penyakit, membantu prognosi s rencana tindakan, dan memberikan arti
perbandingan dari metode terapi. Tahapan stadium klinis yang dipakai sekarang
ialah pembagian yang ditentukan oleh The International Federation Of
Gynecologi And Obstetric (FIGO) tahun 1976. Pembagian ini didasarkan atas
pemeriksaan klinik, radiologi, suktase endoserviks dan biopsi Tahapan -tahapan
tersebut yaitu :
a. Karsinoma pre invasif
b. Karsinoma in-situ, karsinoma intraepitel
c. Kasinoma invasif
Tingkat 0 : Karsinoma insitu atau karsinoma intraepitel
Tingkat I : Proses terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uteri tidak
dinilai)
Ia :Karsinoma serviks preklinis, hanya dapat didiagnosis secara
mikroskopik, lesi tidak lebih dari 3 mm, atau secara
mikroskopik kedalamannya
> 3 – 5 mm dari epitel basah dan memanjang tidak lebih dari 7
mm
Ib : Lesi invasif > 5 mm, bagian atas lesi <> 4 cm.
Tingkat II : Proses keganasan telah keluar dari serviks dan menjalar ke 2/3
bagian atas vagina dan atau ke parametrium tetapi tidak sampai
dinding panggul.
IIa : Penyebaran hanya ke vagina, parametrium masih bebas dari
infiltrat tumor
IIb : Penyebaran hanya ke parametrium, uni atau bilateral, tetapi
belum sampai dinding.
Tingkat III : Penyebaran sampai 1/3 distal vagina atau ke parametrium
sampai dinding panggul.
IIIa : Penyebaran sampai 1/3 distal vagina atau ke parametrium
sampai dinding panggul
IIIb : Penyebaran sampai dinding panggul, tidak ditemukan daerah
bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul atau proses
pada tingkat I atau II, tetapi sudah ada gangguan faal ginjal /
hidronefrosis.
Tingkat Iv : Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan
mukosa rektum dan atau vesika urinaria (dibuktikan secara
histologi) atau telah bermetastasis keluar panggul atau ke
tempat yang jauh.
IVa : Telah bermetastasis ke organ sekitar
IV b : Telah bermetastasis jauh.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien kanker s erviks yaitu :
a. Papanicalow smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada
pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada
sekret yang diambil dari porsi serviks (Prayetni,1999). Pemeriksaan ini harus
mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan
aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear
setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun (Gale & Charette, 1999).
b. Biopsi
Biopsi ini dilakukan untuk melengka pi hasil pap smear. Teknik yang
biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan
teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk
mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari
daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang
terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997).
c. Kolposkopi
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses
metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan den gan papsmear,
karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis
dalam mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997).
d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui aktivitas
pryvalekinase. Pada pasien konservatif dapat diketahui peningkatan aktivitas
enzim ini terutama pada daerah epitelium serviks. (Prayetni, 1997)
e. Radiologi
1) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada
saluran pelvik atau peroartik limfe.
2) Pemeriksaan intravena urografi, yang dila kukan pada kanker serviks
tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter
terminal (Prayetni, 1997).
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung
kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), en ema
barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan
CT abdomen / pelvis digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor
dan / atau terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999).
f. Tes schiller
Tes ini menggunakan iodine solution yang diusapkan pada permukaan
serviks. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada
sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks
yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah
karena tidak ada glikogen ( Prayetni, 1997).
7. Penatalaksanaan
Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan
secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim
yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim kanker / tim
onkologi) (Wiknjosastro, 1997). Penatalaksanaan yang dilakukan pada klien
kanker serviks, tergantung pada stadiumnya. penatalaksanaan medis terbagi
menjadi tiga cara yaitu: histerektomi, radiasi dan kemoterapi.
a. Histerektomi
Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal).
Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO).
Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bil a keadaan umum baik,
dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga
harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti: penyakit jantung,
ginjal dan hepar.
b. Radiasi
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks se rta
mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium
II B, III, IV diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan
tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif
ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya dan
atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul, dengan tetap
mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar
seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis
kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Bila sel kanker
sudah keluar rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang
diberikan secara selektif pada stadium IV A.
c. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. (Prayetni, 1997). Obat kemoterapi
digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat
perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis
kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker mempunyai
penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan
pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya
diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan
adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol
penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh.
Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan
sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi
kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan
agen-agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan.
(Gale & Charette, 2000). Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker
serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB
(Platamin Veble Bleomycin) dan lain -lain (Prayetni, 1997).
8. Komplikasi
Pada tahap yang lebih lanjut dapat terjadi komplikasi fistula vesika
vagina, gejala lain yang dapat terjadi adalah nausea, muntah, demam dan anemi
(Prayetni, 1997).
9. Pencegahan
Upaya pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan diri dari
faktor resiko seperti :
a. Menghindarkan diri dari hubungan seksual pada usi a muda, pernikahan pada
usia muda dan berganti-ganti pasangan seks.
b. Merencanakan jumlah anak ideal bersama suami, dan memperhatikan
asupan nutrisi selama kehamilan.
c. Menghentikan kebiasaan merokok dan berperilaku hidup sehat

http://askep-askeb.cz.cc/
Baca selengkapnya - Gambaran Umum Kanker Serviks / leher rahim

KOTAK PENCARIAN:

ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN:

=====
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...