Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) adalah suatu tindakan untuk menghindari atau mendapatkan kelahiran, mengatur interval kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. KB merupakan suatu cara yang efektif untuk mencegah mortalitas ibu dan anak karena dapat menolong pasangan suami istri menghindari kehamilan resiko tinggi, dapat menyelamatkan jiwa dan mengurangi angka kesakitan. Dengan KB ibu juga dapat terhindar dari “4” terlalu, too Young (terlalu muda), too old (terlalu tua), too many (terlalu banyak) dan too cloose (terlalu dekat jaraknya) (Hartanto, 2003). Program KB nasional mempunyai arti penting dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kependudukan dan keluarga kecil berkualitas yang dilaksanakan secara berkesinambungan (BKKBN, 2005).
Menurut (Prawirohardjo, 2001) secara umum tujuan KB adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Dengan tidak mengikuti gerakan KB akan menimbulkan masalah pada bidang pendidikan, masalah gizi dan pangan, keamanan, lapangan kerja serta masalah perumahan dan tempat tinggal. Efek samping yang dialami akseptor KB suntik biasanya dikarenakan kurangnya KIE tentang efek samping yang mungkin terjadi.
Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan adalah KB hormonal suntikan (injectables), dan merupakan salah satu alat kontrasepsi yang berdaya kerja panjang (lama), yang tidak membutuhkan pemakaian setiap hari. Kontrasepsi yang baik adalah aman, dapat diandalkan, sederhana, murah, dapat diterima orang banyak, dan pemakaian jangka lama. Namun sampai saat ini belum tersedia 100% metode kontrasepsi yang sempurna dan ideal. Begitu juga dengan akseptor KB suntik yang dapat mengalami efek samping seperti gangguan pola haid, kenaikan berat badan, sakit kepala dan kenaikan tekanan darah (Hartanto, 2003). Nyeri perut bagian bawah, pertumbuhan rambut bahkan sampai penurunan gairan seksual.
Dalam menentukan kapan dan metode kontrasepsi apa yang akan digunakan wanita harus mempertimbangkan pengaruh metode kontrsepsi terhadap fungsi reproduksi, salah satu alasan yang paling banyak disebutkan dalam penghentian kontrasepsi adalah efek samping yang dirasakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh WHO pada 5332 wanita yang telah mempunyai anak di 14 negara berkembang menunjukkan bahwa banyak wanita berhenti menggunakan kontrasepsi IUD, oral dan suntik dikarenakan mereka tidak dapat menerima perubahan pola menstruasi (Klobinsky, 1997).
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan dalam menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita takut siklus normalnya berubah karena mereka takut perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan juga dapat membatasi aktivitas keagamaan maupun budaya. Dinamika seksual dan kekuasaan antara pria dan wanita dapat menyebabkan penggunaan kontrasepsi terasa canggung bagi wanita. Pendapat suami mengenai KB cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode kaluarga berencana oleh istri. Berbagai budaya mendukung kepercayaan bahwa pria mempunyai hak akan fertilitas istri mereka. Di Papua Nugini dan Nigeria, wanita tidak dapat membeli kontrasepsi tanpa persetujuan suami (Klobinsky, 1997).
Berdasarkan data pra survey di Pustu Tegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur tahun 2006 sebanyak 45 akseptor KB yang menggunakan suntikan depo progestin lebih dari satu tahun.
Berdasarkan uraian pada latar belakang penulis memilih judul penelitian tentang “Gambaran Efek samping KB suntik Depo Progestin di Pustu Tegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur tahun 2007”.

Baca selengkapnya - Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu kegunan kita tentang cinta Tuhan kepada umat-Nya dapat kita rasakan ketika ibu mulai menyusui bayinya dengan ASI (Air Susu Ibu). Proses ini merupakan mukjizat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada makanan di dunia ini yang sesempurna ASI. ASI adalah salah satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologis, sosial maupun spiritual (Hubertin, 2003).
Menyusui merupakan suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu diseluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat sehingga pengetahuan lama yang mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan, menyusui adalah suatu pengetahuan yang selama berjuta-juta tahun mempunyai peran yang penting dalam mempertahankan kehidupan manusia (Roesli, 2000).
Semakin disadari bahwa pengeluaran ASI yang tidak efisien akibat dari teknik menyusui yang buruk, merupakan penyebab penting terjadinya mastitis, tetapi dalam benak banyak petugas kesehatan, mastitis masih dianggap sama dengan infeksi payudara. Mereka sering tidak mampu membantu wanita penderita mastitis untuk terus menyusui, dan mereka bahkan mungkin menyarankan wanita tersebut untuk berhenti menyusui, yang sebenarnya tidak perlu. Mastitis dan abses payudara terjadi pada semua populasi, dengan atau tanpa kebiasaan menyusui. Insiden yang dilaporkan bervariasi dan sedikit sampai 33% wanita menyusui, tetapi biasanya dibawah 10% (WHO, 2003).
Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi adalah puting susu lecet/nyeri sekitar 57% dari ibu-ibu yang menyusui dilaporkan pernah menderita kelecetan pada putingnya, payudara bengkak. Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan, karena terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus dan mastitis serta abses payudara yang merupakan kelanjutan/komplikasi dari mastitis yang disebabkan karena meluasnya peradangan payudara.Sehingga dapat menyebabkan tidak terlaksananya ASI ekslusif (Soetjiningsih, 1997).
Berdasarkan pra survey yang diperoleh di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak pada Januari -Mei 2007, diperoleh kunjungan ibu yang mengalami mastitis yang menunjukkan adanya gangguan atau masalah dalam menyusui 11 orang (16,17%) dari total ibu postpartum sebanyak 68 orang.
Dari uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum pada bulan Januari-Mei 2007 di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian yaitu “Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak pada bulan Januari-Mei 2007 ?”.


Baca selengkapnya - Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program keluarga berencana adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insidens kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat, komunikasi, informasi, edukasi, konseling, dan pelayanan meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB (BKKBN 2001).
Salah satu usaha dari program KB adalah penjarangan kehamilan dengan menggunakan alat kontrsepsi yaitu suatu alat yang digunakan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan, pada umumnya metode kontrasepsi terdiri dari metode sedarhana, metode efektif dan metode kontrasepsi mantap. Metode sederhana antara lain terdiri dari senggama terputus, pantang berkala, kondom, diafragma, cream atau jelly, dan cairan berbusa, metode efektif cotohnya yaitu pil KB, Intra Uterine Device (IUD), Suntik dan alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK) sedangkan metode kontrasepsi mantap yaitu dengan cara operasi yang terdiri dari metode operasi pria dan metode operasi pada wanita yaitu tubektomi untuk wanita, vasektomi untuk pria (DepKes, 1996).
Pengembangan program KB yang secara resmi dimulai sejak tahun 1970 telah memberikan dampak terhadap penurunan tingkat fertilitas total (TFR) yang cukup menggembirakan, namun partisipasi pria dalam ber KB masih sangat rendah yaitu sekitar 1,3 persen (SDKI 2002-2003). Angka tersebut bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti pakistan 5,2% pada tahun 1999, Banglades 13,9% pada tahun 1997, Malaysia 16,8% pada tahun1998 adalah yang terendah (BKKBN, 2001). Hal ini selain disebabkan oleh keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi pria, juga oleh keterbatasan pengetahuan suami akan hak-hak dan kesehatan reproduksi serta kesehatan dan keadilan gender.
Rendahnya partisipasi pria dalam KB dapat memberikan dampak negatif bagi kaum wanita karena dalam kesehatan reproduksi tidak hanya kaum wanita saja yang selalu berperan aktif, sehingga emansipasi wanita yang telah dipelopori oleh ibu Kartini yang menuntut kesamaan hak antara wanita dan pria menjadi suatu kenyataan dan wanita tidak hanya dijadikan sebagai alat “Pembuat anak dan budak untuk mengurus anak serta seluruh keluarga”. Karena itu perlu sekali kesetaraan dalam kesehatan Reproduksi, kaum pria tidak hanya menjadi “penonton” dan harus ikut andil, belum lagi wanita yang hamil dan melahirkan akan dihadapkan pada bahaya kehamilan dan persalinan (Entjang, 1982).
Berdasarkan data dari BKKBN propinsi Lampung tahun 2005, di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terdapat 232,113 pasangan usia subur (PUS) dengan jumlah peserta KB aktif yang menggunakan alat kontrasepsi kondom 367 (0,23%) dan vasektami (MOP) 2.369 (1,47%) untuk kecamatan natar dengan jumlah PUS 26.972 yang menggunakan alat kontrasepsi kondom sejumlah 54 (0,29%). Dari hasil prasurvey langsung di dapatkan jumlah PUS yang menggunakan vasektomi hanya 7 (0,03%) PUS sedangkan di Desa Haduyang dengan jumlah akseptor KB 857 PUS di dapatkan yang menggunakan alat kontrasepsi kondom hanya 12 PUS dan tidak ada yang menggunakan alat kontraspesi berupa vasektomi.
Pengembangan metode kontrasepsi pria masih jauh tertinggal karena adanya hambatan-hambatan yang ditemukan antara lain kesulitan dalam memperoleh informasi tentang alat kontrasepsi, hambatan medis yang berupa ketersediaan alat maupun ketersediaan tenaga kesehatan, selain itu juga adanya rumor yang beredar di masyarakat mengenai alat kontrasepsi sehingga hal ini menjadi faktor penghambat dalam pengembangan metode kontrasepsi (BKKBN, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di Desa Haduyang Kecamatan Natar Lampung Selatan pada tahun 2007.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan dalam penelitian ini adalah "faktor-faktor apakah yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana di Desa Haduyang Kecamatan Natar Lampung Selatan?".


Baca selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa

Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya akseptor KB kondom di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dunia Internasional menghadapi masalah pertumbuhan penduduk pada akhir dekade 60-an, selain mempengaruhi strategi dan praktek pembangunan ekonomi kiranya ikut mempengaruhi kebijaksanaan terhadap masalah kependudukan. Problem pertumbuhan penduduk dengan demikian telah menjadi focus persoalan, bahkan mengurangi angka pertumbuhan penduduk dilihat sebagai salah satu kunci dalam menyelesaikan persoalan yang lebih luas,yaitu kemiskinan dan keterbelakangan ialah karena meledaknya penduduk di seluruh dunia telah bertambah lebih dua kali lipat dalam masa satu abad (Juliantoro, 1984 :9)
Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia tidak luput dari masalah kependudukan , Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah kualitas sumberdaya manusia dengan kelahiran 5.000.000 pertahun.Untuk dapat mengangkat derajat kehidupan bangsa telah di laksanankan secara bersamaan pembangunan ekonomi yang merupakan sisi masing-masing mata uang.Bila Gerakan Keluarga Berencana (KB) tidak di lakukan bersamaan dengan pembangunan ekonomi,di khawatirkan hasil pembangunan tidak akan berati (Manuaba,1996 : 437 ). Sejak Pelita V program KB Nasional berubah menjadi Gerakan KB Nasional.Gerakan KB Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya Indonesi (Wiknjosastro, 1999 : 902)
Adapun tujuan gerakan KB Nasional menurut Wiknjosastro (1999:902) adalah mewujudkan keluaga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran Gerakan KB Nasional ialah (1) Pasangan Usia Subur, dengan proritas PUS muda dengan prioritas rendah (2) Generasi muda dan purna PUS (3) Pelaksana dan pengelola KB dan (4) Sasaran wilayah adalah wilayah dengan laju prtumbuhan penduduk tinggi dan wilayah khusus seperti sentra industri, pemukiman padat, daerah kumuh dan daerah pantai serta terpencil.
Pada umumnya pemerintah di Negara-negara sedang berkembang paling banyak menggunakan metode kontrasepsi yang pemakainya perempuan.Distribusinya adalah pemakai pil 17,1 %,injeksi 15,2 %,IUD 10,3 %,nonplant 4,6 %, tubektomi 3,1 %,vasektomi 0,7 %,dan kondom 0,9 % ( Juliantoro ,1999 : 29 ). Dari begitu beragamnya alat-alat kontrasepsi bagi perempuan menyebabkan banyak anggota masyarakat menganggap bahwa pembatasan kelahiran memang menjadi urusan kaum perempuan,padahal semua kita tahu meskipun kehamilan hanya di alami oleh perempuan akan tetapi kehmilan tidak akn terjadi tanpa adanya sperma laki-laki
(www.yakita.or.id/alat kontrasepsi2.htm). Untuk itulah, pada masa kini,kondom yang merupakan metode kontrasepsi pria yang telah lam di kenal, kembali mendapatkan perhatian baru, baik dalam bidang keluarga berencana maupun dalam bidang lain (Hartanto, 2002 :60).Perkembangan partisipasi pria dalam KB, khususnya kondom, selama kurun waktu 12 tahun terakhir belum memperlihatkan kenaikan bahkan tidak mengalami kenaikan sama sekali.Hal ini dapat dilihat dalam angka-angka pencapaian kondom tahun 1991 sebesar 0,8 % (SDKI 1991).tahun 1994 sebesar 0,9 % tahun 1997 sebesar 0,7 % (SDKI 1997) dan tahun 2003 sebesar 0,9 % (SDKI 2002-2003).
Metode kontrasepsi kondom merupakan metode sederhana yang salah satunya menjadi pilihan untuk menjarangkan kehamilan dengan periode usia akseptor 20-30/35 tahun, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran adalah 2-4 tahun (Wiknjosastro, 1999: 903), dengan memilki kelebihan mudah di pakai, dapat mencegah penularan penyakit kelamin,efek samping hampir tidak ada, relative, murah, kontrasepsi yang tidak mengandung hormon,sederhana,ringan,mudah di dapat, disposable, tidak memerlukan pemeriksaan medis,dan saat ini kondom telah di buat modern, sehingga tidak mengurangi kenikmatan seks (Hartanto, 2002:60). Keuntungan-keuntungan kondom tersebut akan di peroleh kalau kondom di pakai secara benar dan konsisten pada setiap senggama, karena umumnya angka kegagalan yang timbul akibat di sebabkan pemakaian yang tidak benar, tidak konsisten, tidak teratur atau tidak hati-hati ( Hartanto , 2002 : 60 ). Sedangkan pembuatan kondom sendiri padea masa sekarang sudah sangat baik karena harus memenuhi standar tertentu sehingga kualitasnya tidak perlu di ragukan lagi (Llewellyn, 2005 : 110).
Dalam hal memanfaatkan kontrasepsi modern pada masyarakat luas, Jepang merupakan kasus yang menarik, sudah sejak lama cara kontrasepsi yang paling banyak di gunakan di Jepang adalah kondom sebanyak 75,8 % PUS, salah satu alasan dari pemerintah Jepang karena akibat samping terhadap kesehatan akseptor memakai alat kontrasepsi lainnya (Juliantoro, 2000 : 26), sedangkan di Indonesia pemakai alat kontrasepsi adalah perempuan, sedangkan laki-laki jarang.Kini presentase konsumen yang menggunakan kondon tidak sampai 5 %. Penggeseran ini menjadi semakin mendesak terutama bila mengingat pandemic AIDS (Juliantoro, 2000 : 150)
Pada tahun 2003, di Indonesia akseptor KB kondom mencapai 0,46 % (BPS,Statistik Kesejahteraan Rakyat,2003), sedangkan pada tahun 2005 di propinsi Lampung, akseptor KB kondom mencapai 3.260 PUS (0,34 %) dari jumlah PUS 1.380.636.Pada Kota Metro sendiri tahun 2006 jumlah akseptor KB kondom mencapai 106 PUS dari jumlah PUS 24.331. Di Kecamatan Metro Utara terdapat 4 akseptor KB kondom dari jumlah PUS 4.756.( BKKBN Propinsi Lampung : 2005/2006). Berdasarkan prasurvey yang di lakukan oleh penulis pada tanggal 20-22 Maret 2007 di Puskesmas Banjar Sari Kelurahan Banjar Sari di peroleh data dari januari sampai desember 2006 berjumlah 1.877 PUS, peserta KB aktif 1.467 orang dan akseptor KB kondom 2 orang.

Baca selengkapnya - Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya akseptor KB kondom di puskesmas

Alasan ibu melakukan penyapihan anak kurang dari 2 tahun di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan dan pertumbuhan anak di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keadan gizi yang tidak baik dan merajalelanya penyakit infeksi. Ditemukan di Indonesia bahwa angka kejadian dan kematian karena diare pada tahun 1995 sebanyak 55 ribu balita pertahun. Hal tersebut sering terjadi akibat tidak diberikannya ASI, terbukti anak yang diberi ASI jarang terserang diare (Media Komunikasi Bidan dan Keluarga Indonesia, 2004).
Makanan berperan penting terhadap pertumbuhan, kesehatan dan daya tahan tubuh balita, khususnya sebagai materi yang mengandung zat-zat khusus untuk menangkal berbagai jenis penyakit. Umumnya anak yang tidak memperoleh makanan yang bergizi dalam jumlah yang memadai sangat rentan terhadap penyakit, terutama diare dan Kekurangan Energi Protein (KEP). Diare dan kekurangan energi protein merupakan masalah kesehatan dan gizi yang umumnya dijumpai pada sebagian besar balita di Indonesia (Krisnatuti & Yenrina, 2000).
Kekurangan energi protein dan infeksi mempunyai pengaruh timbal balik, merupakan masalah utama di Indonesia yang bila tidak ditanggulangi dengan baik akan mengganggu pembangunan sosial ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kedua masalah ini pada anak di bawah umur 2 tahun sangat erat hubungannya dengan menyusukan (Suharyono dkk, 1992).
Beradasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 bahwa ASI adalah makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi yang paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI perlu diberikan secara eksklusif sampai umur 6 bulan dan dapat dilanjutkan samapai anak berumur 2 tahun.
ASI sebagai makanan alamiah adalah makanan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya. Selain komposisi yang sesuai untuk pertumbuhan bayi yang bisa berubah sesuai dengan kebutuhan pada setiap saat, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi (Suharyono dkk, 1992).
Berbagai kepustakaan menginformasikan bahwa pada waktu dilahirkan, jumlah sel otak bayi telah mencapai 66% dan beratnya 25% dari ukuran otak orang dewasa, priode pertumbuhan otak yang paling kritis dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun, jadi apabila pada masa tersebut seorang anak menderita gizi dapat berpengaruh negatif terhadap jumlah dan ukuran sel otaknya, dalam hal ini pemberian ASI hingga 2 tahun sangat dianjurkan (Krisnatuti & Yenrina, 2000).
Melihat unggulnya ASI maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang kita harapkan. Pemberian ASI yang dianjurkan adalah sejak bayi lahir sampai umur 1-6 bulan bayi hanya diberi ASI, kemudian pemberian ASI diteruskan sampai umur 2 tahun bersama makanan tambahan yang kuat. Untuk mencapai hal ini, World Health Organization (WHO) membuat deklarasi yang dikenal dengan deklarasi Innocenti (Innocenti Declaration), deklarasi yang dilahirkan di Innocenti, Italia tahun 1990 ini bertujuan untuk melindungi, mempromosikan dan memberi dukungan pada pemberian ASI deklarasi yang juga ditanda tangani di Indonesia, salah satunya memuat hal-hal berikut, yaitu : “Sebagai tujuan global untuk membantu kesehatan dan mutu makanan bayi secara optimal maka semua ibu dapat memberikan ASI eksklusif pada semua bayi sejak lahir sampai usia 1-6 bulan, setelah berumur 1-6 bulan, bayi diberi makanan pendamping atau padat yang benar dan tepat, sedangkan ASI tetap diberikan sampai 2 tahun atau lebih (Roesli, 2000).
Pemberian ASI merupakan upaya manusia agar dapat perlindungan namun akhir-akhir ini terutama di kota, banyak para ibu yang melupakan senjata terampuh untuk melindungi anak dari ancaman maut, keadaan ini mungkin disebabkan karena banyak para ibu yang terpaksa bekerja selama sehari penuh untuk menutupi keperluan hidupnya sehari-hari, kemajuan teknologi pembuatan susu buatan dan pengaruh iklan-iklan susu buatan (Suharyono dkk, 1992).
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Lampung pada tahun 2002 jumlah bayi 0–4 bulan yang diberi ASI eksklusif yaitu 68.527 orang atau 42,83% dari 159 – 987 orang. Sedangkan tahun 2003 jumlah bayi 0–6 bulan yang diberi ASI eksklusif sebesar 29,54% target tahun 2003 adalah 19,7%, pada tahun 2004 sebesar 34,53% dari 165.656 bayi, (Dinkes Provinsi Lampung, 2004). Sedangkan untuk wilayah Tanjung Karang Pusat jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif sebanyak 69,4% dari 2404 bayi (Dinkes Kota Bandar Lampung, 2004 ).
Kelurahan Kaliawi merupakan bagian dari 11 kelurahan yang berada di Kecamatan Tanjung Karang Pusat, di Kelurahan Kaliawi terdapat 8 Posyandu yang tersebar di 5 lingkungan, jumlah bidan yang ada 2 orang dan jumlah kader 24 orang, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan dilokasi diperoleh data bahwa terdapat 27 ibu yang tidak memberikan ASI nya sampai 2 tahun.


Baca selengkapnya - Alasan ibu melakukan penyapihan anak kurang dari 2 tahun di posyandu

Determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) oleh remaja putri kelas II di MAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kanker payudara merupakan tumor ganas ginekologi menurut Hidayati (2001) yang disadur oleh Ariyanti (2004). Berdasarkan data World Health Organization (WHO), jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar 7 juta. Survey terakhir di dunia menunjukkan tiap 3 menit ditemukan penderita kanker payudara dan setiap 11 menit ditemukan seorang wanita meninggal akibat kanker payudara. Sementara di Indonesia, rata-rata penderita kanker payudara adalah 10 dari 100 ribu wanita (www.suaramerdeka.com,2005).
Sejak 1988 sampai 1992 keganasan tersering di Indonesia tidak banyak berubah, kanker leher rahim dan kanker payudara tetap menduduki tempat teratas. Selain jumlah kasus yang banyak, lebih dari 70% penderita kanker payudara ditemukan pada stadium lanjut. Data dari Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departeman Kesehatan menunjukkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) akibat kanker payudara menurut golongan penyebab sakit menunjukkan peningkatan dari tahun 1992-1993, yaitu dari 3,9 menjadi 7,8 (www.nusaindah tripod.com,2003).
Etiologi kanker payudara belum dapat dijelaskan. Terdapat faktor genetik karena kanker payudara cenderung terjadi pada keluarga (Llewellyn & Jones, 2002). Beberapa hal yang bisa menjadi faktor resiko terjadinya kanker payudara yaitu umur, status negara, status sosial ekonomi, status perkawinan, tempat tinggal, ras, berat badan, umur menarche, umur menopause, umur pertama melahirkan, riwayat keluarga dan oophorectomy ( Bustan, 1997).
Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan dengan jelas oleh penderita sehingga banyak penderita yang berobat dalam keadaan stadium lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian kanker tersebut. Padahal, kematian pada stadium dini akibat kanker masih dapat dicegah. Tjindarbumi (1982) mengatakan bila penyakit kanker payudara ditemukan dalam stadium dini, angka harapan hidupnya (life expectancy) tinggi, berkisar antara 85 - 98%, sedangkan 70-90% penderita datang ke rumah sakit setelah penyakit parah, yaitu setelah masuk dalam stadium lanjut (www.nusaindah tripod.com,2003).
Payudara merupakan estetika kaum wanita dan daya tarik seksual yang utama. Terdapatnya seluruh aktivitas di dalam payudara sehubungan dengan perkembangan dalam kehidupan seorang wanita serta perubahan siklus yang biasa disebabkan oleh periode menstruasi teratur membuat semua wanita sebaiknya bermawas diri terhadap masalah yang mungkin timbul pada payudara mereka. Pemeriksaan dini yang rutin dan teratur untuk mendeteksi secara dini tumor payudara merupakan kebiasaan yang sangat baik. Seorang remaja putri dapat memeriksa payudara sendiri (SADARI) pada saat mandi dengan meggunakan jari-jari tangan sehingga dapat menemukan benjolan pada lekukan halus payudara (Gilbert,1996).
Terdapatnya sebuah benjolan yang sudah nampak dengan jelas pada payudara akan sangat mengejutkan bagi banyak wanita, pada saat ini seorang wanita mungkin telah kehilangan waktu yang berharga untuk memulai pengobatan sedini mungkin. Jadi jalan yang paling bijaksana adalah dengan melakukan SADARI secara teratur pada waktu tertentu. Kelainan yang terkecil sekalipun dapat ditemukan dan langkah-langkah aktif untuk pengobatan dapat dimulai sedini mungkin (Gilbert, 1996).
Program - program untuk mengajak wanita mempelajari dan mempraktekkan pemeriksaan payudara sendiri telah dikembangkan di banyak negara. Di samping itu, yang berwenang di bidang kesehatan telah menganjurkan wanita berusia di atas 35 tahun untuk memeriksakan payudara tahunan kepada dokter. Pemeriksaan ini harus ditambah dengan pemeriksaan mamografi pada usia antara 40-45 tahun, kemudian pemeriksaan setiap tahun mulai usia 50 tahun (Llewellyn & Jones, 2002).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap 10 orang remaja putri kelas II pada bulan Maret 2006, terdapat 9 orang remaja putri tidak pernah melakukan SADARI dengan alasan tidak tahu dan belum pernah mendapat informasi tentang SADARI, 1 orang remaja putri pernah melakukan SADARI karena remaja putri tersebut pernah menjalani operasi tumor payudara sehingga telah mengetahui cara dan tujuan melakukan SADARI. Meskipun kurikulum pendidikan mengenai organ reproduksi sudah diberikan, tetapi untuk masalah payudara tidak diberikan secara mendalam. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui SADARI oleh remaja putri kelas II MAN 2 Metro.


Baca selengkapnya - Determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) oleh remaja putri kelas II di MAN

Faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks di SMP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tumbuh kembang adalah proses berkesinambungan yang terjadi sejak intrauterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Dalam proses mencapai dewasa, anak harus melalui berbagai tahap tumbuh kembang termasuk tahap remaja. Tahap remaja adalah tahap transisi antara masa anak dan dewasa dimana terdapat fase tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, fertilisasi (Soetjiningsih, 2004). Pada tahap ini remaja memerlukan penyesuaian mental untuk membentuk nilai, sikap, dan minat baru terhadap perubahan fisik dan psikis (Hurlock, 1997).
Data demografi menunjukan remaja adalah populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut WHO (1995) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar 900 juta berada di daerah sedang berkembang. Data demografi Amerika Serikat menunjukkan remaja berumur 10-19 tahun sekitar 15% populasi. Di Asia Pasifik dimana penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia seperlimanya adalah penduduk remaja berumur 10-19 tahun (Soetjiningsih, 2004).
Pada masa remaja akan menguasai tugas perkembangan yang penting dalam pembentukan hubungan-hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis, dan dalam memainkan peran yang tepat dalam seksnya (Hurlock, 1997). Remaja memiliki keingintahuan yang tinggi tentang seks, namun orang tua tidak mengenal istilah pendidikan seks, karena seks dianggap tidak biasa, aneh, dan sangat tabu, bahkan mungkin dianggap porno.Oleh karena itu pendidikan seks sangat diperlukan karena dengan seks diusahakan timbulnya sikap emosional yang sehat dan bertanggung jawab tentang seks sehingga seks bagi remaja tidak dianggap sesuatu yang kabur, rahasia, mencemaskan bahkan menakutkan (Gunarsa, 2001).
Pada zaman modern sekarang muncul pula sekelompok remaja yang menyebarluaskan kebebasan ekstrim dalam seks. Ide kebebasan seks dicetuskan karena remaja beranggapan bahwa masalah seks sepenuhnya adalah masalah prive, dan masyarakat sama sekali tidak berhak mencampuri masalah tersebut. Mereka menuntut adanya tingkah laku seks murni individual yang kokoh berdasarkan dokrin kebebasan seks sepenuhnya (Kartono, 1992).
Kenyataan menunjukan bahwa, seks bebas dapat mengakibatkan banyaknya destruksi dikalangan kaum remaja, baik remaja pria maupun wanita (Kartono, 1992). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Boyke Dian Nugraha, pada tahun 2000 terdapat remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah mencapai 29,9%. Kelompok remaja yang masuk penelitian tersebut rata-rata berusia 17-21 tahun, dan umumnya masih bersekolah di tingkat SLTP dan SLTA (seksremaja.online, 2007).
Harapan sosial berkembang dalam bentuk tugas bagi orang tua dan guru untuk memberikan pendidikan tentang seks kepada putra putrinya. Remaja juga seharusnya sadar bahwa mulai memasuki tahap baru dalam kehidupan, yaitu tahap dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Hurlock, 1997).
Berdasarkan uraian diatas, didapat bahwa rendahnya pengetahuan remaja awal tentang seks dipengaruhi oleh faktor keluarga dan faktor lingkungan social, karena kedua faktor ini menganggap seks sebagai hal yang tidak pantas untuk dibicarakan. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hal tersebut agar remaja awal dapat lebih mengenal tentang seks yang terdiri dari perubahan organ reproduksi, hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, serta kelainan-kelainan seksual.
Peneliti mengambil lokasi penelitian di SLTP Negeri 3 Metro karena setelah dilakukan studi pendahuluan ternyata di SLTP Negeri 3 Metro belum pernah dilakukan penyuluhan dan siswa belum mengetahui faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks.


Baca selengkapnya - Faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks di SMP

Determinan pemberian konsumsi buah segar pada balita di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia telah memasuki pembangunan jangka panjang kedua yang menitik beratkan pada bidang perekonomian, seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan melalui berbagai / cara. Salah satunya adalah melalui perbaikan pangan dan gizi. Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi akan membentuk manusia yang mandiri, berkualitas dan akan lebih mampu berperan serta dalam pembangunan Repelita VI (GBHN, 1994).
Latief dkk (1999) dalam analisis data konsumsi makanan rumah tangga hasil pemantauan konsumsi gizi tahun 1995, 1996, 1997 dan 1998 menunjukkan adanya perubahan pada konsumsi pada sebelum dan selama krisis ekonomi. Pada saat krisis konsumsi sumber protein hewani terutama telur, daging dan konsumsi buah – buahan menurun, sementara itu konsumsi konsumsi bahan makanan sumber utama energi meningkat.
Kualitas konsumsi jenis pangan masyarakat Indonesia di tentukan oleh komposisi jenis bahan pangan. Komposisi jenis pangan yang beraneka ragam untuk menghasilkan Pola Pangan Harapan (PPH). Didalam PPH tersebut terdapat kelompok pangan dan salah satunya adalah kelompok buah dan sayuran. Di dalam petunjuk gizi pedoman pengembangan program penganekaragaman menyempurnakan penyediaan konsumsi pangan pada tingkat nasional untuk konsumsi buah adalah 250 gram / kapita / hari dimana untuk balita hanya 60% dari kebutuhan dewasa + 150 gr/kapita/hari.
Buah adalah komoditas pangan yang dibutuhkan oleh tubuh. Fungsi buah adalah sebagai sumber zat pengatur, karena di dalam buah terdapat zat gizi yang sangat diperlukan tubuh seperti vitamin, mineral dan serat. Konsumsi buah dan sayuran diperkotaan dan pedesaan 50% dari kecukupan sehari untuk jenis sayur – sayuran dan buah – buahan. Pada umumnya konsumsi sayuran yang dikonsumsi tidak mengalami perubahan dari tahun 1995 sampai tahun 1998 (pedesaan) dan dari 60 gram menjadi 40 gram perkapita perhari (pedesaan). Dan ini masih berada di bawah anjuran Departemen Kesehatan RI yakni sebesar 200 gram / orang / hari untuk orang dewasa. Sedangkan untuk anak balita sebesar + 120g/orang/hari dengan cara menghitung 60% dari kebutuhan dewasa.
Pada survey pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 13 Mei 2004 di Posyandu kantil konsumsi buah pada balita masih kurang yaitu dalam 1 hari balita mengkonsumsi 100 gram / kapita / hari dan buah yang dikonsumsi cukup beraneka ragam. Sedangkan anjuran menurut Pola Pangan Harapan (PPH) jumlah buah yang harus dikonsumsi balita adalah 150 gram / kapita / hari Posyandu Kantil merupakan Posyandu yang pesertanya paling banyak dibandingkan Posyandu lain di wilayah Kelurahan Margodadi Metro Selatan. Posyandu kantil berada di Wilayah Kota Metro namun sosial budayanya masih seperti di pedesaan.


Baca selengkapnya - Determinan pemberian konsumsi buah segar pada balita di posyandu

Determinan pemanfaatan tenaga bidan desa dalam pertolongan persalinan di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu (AKI), dan angka harapan hidup merupakan indikator yang menggambarkan derajat kesehatan masyarakat. Diantara negara – negara ASEAN dan Jepang pada tahun 1999, Kamboja merupakan negara dengan AKB tertinggi yaitu 104 per 1000 kelahiran hidup (KH), sedangkan Indonesia merupakan peringkat ke 4 yaitu 46 per 1000 KH (Depkes RI, 2000). Menurut laporan UNICEF pada periode 1990 – 1998 Indonesia, Bangladesh dan India merupakan negara – negara dengan AKI yang cukup tinggi, yaitu masing – masing 450, 450 dan 410 per 100.000 KH (Depkes RI, 2000). Menurut Saifuddin (2002) sampai dengan saat ini angka kematian Maternal dan Neonatal di Indonesia adalah 334 per 100.000 KH dan 21,8 per 1.000 KH, sedangkan AKB tahun 2000 menurut Depkes RI (2002) sebesar 44 per 1.000 KH.
Tidak semua kehamilan berakhir dengan persalinan yang berlangsung normal, 30,7 % persalinan disertai dengan komplikasi, dimana bila tidak ditangani dengan cepat dan baik dapat meningkatkan kematian ibu (Depkes RI, 2000). Yang menjadi penyebab kematian ibu di negara berkembang yang berhubungan dengan kehamilan adalah : 1) perdarahan 40 – 60 %, 2), Toksemia Gravidarum 20 – 30 % dan 3) Infeksi 20 – 30 % (Hartanto, 2002).
Menurut Hartanto (2002) problem – problem di negara berkembang adalah :
1. Sebagian besar ibu – ibu melahirkan dirumah.
2. Kurang dari 50 % kelahiran ditolong oleh petugas kesehatan yang terlatih.
3. Sejumlah substansial kematian ibu terjadi pada tingkat masyarakat.
4. Fasilitas kesehatan di daerah pedesaan terisolasi karena kurangnya infrastruktur dan komunikasi.
5. Keterbatasan jumlah dokter dan penyebaran yang tidak merata dari sumber – sumber kesehatan terutama di daerah pedesaan.
Kejadian tingginya angka kematian dan orientasi masyarakat menuju pertolongan dukun disebabkan 2 hal penting yaitu kemiskinan dan kurangnya pengetahuan khususnya dalam bidang reproduksi wanita (Manuaba, 1998). Dominannya pertolongan pada dukun beranak terutama didaerah pedesaan sekitar 65 – 75 % (Manuaba, 1998). Hal inilah yang menyebabkan tingginya AKI dan AKB di negara – negara yang sedang berkembang.
Pada tahun 1990 WHO meluncurkan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) oleh badan – badan Internasional seperti UNFPA, UNICEF, dan World Bank. Pada dasarnya MPS meminta perhatian pemerintah dan masyarakat disetiap negara untuk :
a. Menempatkan Safe Motherhood sebagai prioritas utama dalam rencana pembangunan Nasional dan Internasional.
b. Menyusun acuan nasional dan standar pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
c. Mengembangkan sistem yang menjamin pelaksanaan standar yang telah disusun.
d. Memperbaiki akses pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, keluarga berencana, aborsi legal, baik publik maupun swasta.
e. Meingkatkan upaya kesehatan promotif dalam kesehatan maternal dan neonatal serta pengembalian fertilitas pada tingkat keluarga dan lingkungannya.
f. Memperbaiki sistem monitoring pelayanan kesehatan maternal dan neonatal (Saifuddin, 2001)
Didalam rencana strategi nasional MPS di Indonesia 2001 – 2010 disebutkan bahwa dalam konteks Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, visi MPS adalah “kehamilan dan persalinan di Indoneisa berlangsung aman, serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat” (Saifuddin, 2002). Salah satu sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2010 adalah menurunkan AKI menjadi 125 per 100.000 KH dan angka kematian neonatal menjadi 16 per 1000 KH (Saifuddin, 2002). Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian tersebut yaitu penyediaan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dekat dengan masyarakat (Saifuddin, 2002).
Sembilan puluh persen kematian ibu terjadi di saat sekitar persalinan dan kira – kira 95 % penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetri yang sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya, maka kebijakan Departemen Kesehatan RI untuk mempercepat penurunan AKI adalah mengupayakan agar : 1) setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan dan 2) pelayanan obstetri sedekat mungkin kepada semua ibu hamil. Salah satu upaya terobosan yang cukup mencolok untuk mencapai keadaan tersebut adalah pendidikan sejumlah 54.120 bidan yang ditempatkan di desa selama 1989/1990 sampai 1996/1997 (Saifuddin, 2001).


Baca selengkapnya - Determinan pemanfaatan tenaga bidan desa dalam pertolongan persalinan di wilayah kerja puskesmas

Determinan ibu hamil tidak melakukan imunisasi tetanus toksoid (TT) lengkap di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Angka kematian bayi (AKB) merupakan semua kejadian yang terjadi selama tahun pertama setelah melahirkan hidup per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2003). Angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain, berdasarkan survei demografi dan kesehatan indonesia (SDKI) 2002/2003 angka kematian bayi (AKB) berada pada kisaran 20 per 1000 kelahiran hidup. Sekitar 9,8 persen dari 184 ribu bayi lahir, meninggal akibat tetanus. Pertengahan tahun 1980, tetanus menjadi penyebab utama kematian bayi dibawah usia satu bulan (www.google.com). Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, antara lain : (1) Pemberian kekebalan pada bayi baru lahir terhadap tetanus melalui imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil, calon pengantin wanita dan wanita usia subur (2) Upaya pertolongan persalinan yang bersih dan aman melalui pelatihan/pembinaan dukun bayi dan pemanfaatan tenaga bidan di desa (3) Memasyarakatkan perilaku kehidupan keluarga sehat melalui dasawisma, posyandu dan kelompok peminat KIA, dan (4) Pelacakan tetanus neonatorum menurut indeks kasus yang diperoleh dari rumah sakit (DepKes RI, 1996).
Sejak tahun 1989, WHO memang mentargetkan eliminasi tetanus neonatorum. Sebanyak 104 dari 161 negara berkembang telah mencapai keberhasilan tersebut. Tetapi, karena tetanus neonatorum masih merupakan persoalan signifikan di 57 negara berkembang lain, maka UNICEF, WHO dan UNFPA pada Desember 1999 setuju mengulur eliminasi hingga tahun 2005. Target eliminasi tetanus neonatorum adalah satu kasus per 1000 kelahiran di masing-masing wilayah dari setiap negara. Target yang diharapkan dapat dicapai oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2010 adalah menurunkan angka kematian bayi (AKB) menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup (www.google.com). Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan imunisasi TT yang diberikan sejak bayi, difteri pertusis tetanus (DPT) 3 x murid sekolah dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada calon pengantin, ibu hamil dan wanita usia subur (WUS), surveilans tetanus neonatorum dan persalinan bersih. (www.google.com).
Cakupan imunisasi TT1 dan TT2 pada ibu hamil di Propinsi Lampung pada tahun 2002-2004 berfluktuatif naik turun. Sasaran imunisasi TT1 dan TT2 dari tahun 2002 yaitu 182.983 ibu hamil, cakupan TT1 ibu hamil di propinsi Lampung tahun 2002 adalah 84,10% (153.834 ibu hamil) dan cakupan TT2 80,70% (147.665 ibu hamil) kemudian pada tahun 2003 mengalami penurunan. Sasaran ibu hamil 186.228, cakupan TT1 75,26% (140.146 ibu hamil) dan TT2 70,69%(131.650 ibu hamil) dan TT2 pada tahun 2003 belum mencapai target yaitu 73,29%. Kemudian pada tahun 2004 meningkat kembali, cakupan TT1 90,41% dan TT2 87,21% (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2004). Sasaran imunisasi TT di Kota Metro pada tahun 2005 adalah 3045 ibu hamil, cakupan TT1 76,61% (2016 ibu hamil) dan cakupan TT2 adalah 86,62% (2730 ibu hamil). Pada tahun 2005 sasaran ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Yosomulyo berjumlah 620 ibu hamil, cakupan TT1 91,13% (514 ibu hamil) dan cakupan TT2 31,29% (194 ibu hamil) (DinKes Kota Metro, 2005). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis pada bulan April 2006 jumlah ibu hamil yang memasuki trimester III berjumlah 57 orang dan yang tidak melakukan imunisasi TT lengkap berjumlah 22 ibu hamil (38,59%) (Puskesmas Yosomulyo, 2006).
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka penulis memilih judul penelitian determinan ibu hamil tidak melakukan imunisasi tetanus toksoid lengkap di Wilayah Kerja Puskesmas Yosomulyo.


Baca selengkapnya - Determinan ibu hamil tidak melakukan imunisasi tetanus toksoid (TT) lengkap di wilayah kerja puskesmas

Gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa adalah tingginya angka harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangannya yang cukup baik, makin tinggi usia harapan hidup pada waktu lahir orang Indonesia akan mencapai 70 tahun atau lebih pada tahun 2015-2020 (FKUI, 1999 : iv). Usia harapan hidup untuk pria 76 tahun dan wanita 82 tahun (WHO, 1995:15). Di Lampung usia harapan hidup penduduknya pada tahun 2004 mencapai 67,6 tahun, sedangkan Lampung Timur adalah 69,3 tahun (Dinkes Propinsi, 2004).
Meningkatnya usia harapan hidup bagi masyarakat mempunyai beberapa konsekuensi yaitu antara lain akan timbulnya berbagai masalah kesehatan. Khususnya bagi wanita didalam daur hidupnya akan mengalami berbagai masalah kesehatan terutama pada masa menopause dan pasca menopause (Baziad, 2000:35). Salah satu masalah kesehatan yang bisa terjadi pada masa menopause adalah osteoporosis.
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang paling banyak menyerang wanita yang telah menopause (Irawati, 2002:47).Akibat yang biasa terjadi dari osteoporosis adalah ketika tulang punggung menjadi lemah, maka akan mudah jatuh dan retak, apalagi jika disertai dengan patah tulang (fraktur).
Waktu menopause produksi estrogen dalam tubuh wanita mengalami penurunan yang drastis. Diantara banyak fungsinya estrogen memainkan peranan utama dalam melestarikan kekuatan tulang melalui kalsifikasi atau pemberian kalsium yang terus menerus. Dengan turunnya kadar estrogen, hormon yang berperan dalam proses ini yaitu vitamin D dan PTH (Parathyroid Hormone) menurun sehingga proses pematangan sel tulang (osteoblast) terhambat. Apabila ini berlanjut terus, maka penyerapan tulang dalam tubuh akan lebih cepat daripada pembentukan dalam tulang sehingga tulang menjadi lebih lunak, lebih lemah dan lebih mudah patah (Rachman, 2000:13).
Osteoporosis dapat terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, mengkonsumsi alkohol dan kurangnya aktifitas yang dilakukan sehari-hari mulai anak-anak sampai dewasa, serta minimnya pengetahuan masyarakat mengenai cara pencegahan osteoporosis terbukti dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata di Indonesia yang hanya 254 mg perhari dari 1000-1200 mg perhari menurut standar internasional. Hal ini ditambah kenyataan bahwa gejala osteoporosis sering kali tidak menimbulkan gejala (silent desease), namun seringkali menunjukkan gejala klasik berupa nyeri punggung akibat fraktur kompresi dari satu atau lebih vertebrata (www.@promokes.go.id, 2006).
Berdasarkan data terbaru dari IOF (International Osteoporosis Foundation) menyebutkan sampai tahun 2000 ini diperkirakan 200 juta wanita mengalami osteoporosis (Hartono, 2000:2). Wanita 2-3 kali lebih banyak menderita osteoporosis dibandingkan laki-laki dengan prevalensi lebih kurang 35% wanita pasca menopause menderita osteoporosis dan 50% ostopenia (Baziad, 2003:75). Berdasarkan analisa data Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada 14 propinsi menunjukkan masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7 %. (www.Depkes.go.id, 2005).
Menurut laporan SP2TP tahun 2004 di Propinsi Lampung osteoporosis yang merupakan salah satu penyakit tulang dan jaringan pengikat menempati urutan ke-5 dari 10 (sepuluh) besar penyakit pada tahun 2004 dengan jumlah kasus 126.304 (9,32%) (Dinkes Propinsi, 2004). Dari beberapa Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung, kasus penyakit osteoporosis lama dan baru yang ada di daerah Lampung Timur pada triwulan IV tahun 2005 menempati urutan ke-3 dari jumlah penyakit terbanyak yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur sebanyak 4059 kasus (8,25%) (LB1 Dinkes Lampung Timur). Untuk wilayah Puskesmas Purbolinggo, penyakit tulang menempati urutan ke-2 sebanyak 143 kasus (8,1%) dari penyakit terbanyak pada bulan Januari 2006. Sedangkan pada bulan Februari 2006 menempati urutan ke-3 sebanyak 109 kasus (7,1%) (Seksi Puskesmas Lampung Timur).
Berdasarkan studi pendahuluan di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur terdapat jumlah wanita berdasarkan golongan umur 46-50 tahun yaitu 151 orang (7,6%) (data desa Taman Bogo tahun 2005). Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 10 orang wanita pramenopause, ternyata ada 6 orang (60%) tidak tahu tentang osteoporosis yang mungkin akan terjadi pada masa menopause. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis yang terjadi pada masa menopause di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur tahun 2006?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat tahu.
b) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat paham.
c) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat aplikasi.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Studi Deskriptif
2. Obyek Penelitian : Tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis.
3. Subyek penelitian : Wanita yang berusia 46-50 tahun di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
4. Lokasi penelitian : Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
5. Waktu Penelitian : Bulan April – Mei 2006.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Petugas Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penyuluhan kepada wanita pramenopause tentang osteoporosis pada masa menopause.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan informasi untuk penelitian berikutnya.

Baca selengkapnya - Gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di desa

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak Pelita V program Keluarga Berencana (KB) adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudidayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dalam rangka meningkatkan mutu dan sumber daya manusia Indonesia. Hasil sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukan keluarga kecil dalam rangka pelembagaan dan pembudidayaan NKKB (Wiknjosastro, 2002).
Program Keluarga Berencana nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil yang sejahtera bahagia melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk, melalui usaha untuk penurunan tingkat kelahiran penduduk dengan peningkatan jumlah dan kelestarian akseptor dan usaha untuk membantu peningkatan kesejahteraan ibu dan anak, perpanjangan harapan hidup, menurunnya tingkat kematian bayi dan balita, serta menurunnya tingkat kematian ibu karena kehamilan dan persalinan (Hartanto, 2002).

Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan berbangsa diharapkan menerima Norma Keluarga kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada “Catur Warga” atau Zero Population Grow (pertumbuhan seimbang) yang menghasilkan keluarga berkualitas (Manuaba, 1998). Sasaran utama program Keluarga Berencana (KB) adalah Pasangan Usia Subur (PUS).
Dalam hal ini gerakan Keluarga Berencana tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, namun yang lebih penting lagi adalah kontribusi KB dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan keluarga yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas bangsa ( Mochtar, 1998).
Berbagai usaha dibidang gerakan KB sebagai salah satu kegiatan pokok pembangunan keluarga sejahtera telah dilakukan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri (Mochtar, 1998). Untuk ini antara lain dengan senantiasa memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada PUS untuk ikut berpartisipasi dalam meningkatkan NKKBS melalui pemakaian alat kontrasepsi.
Gerakan KB Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang makin mandiri. Keberhasilan ini mutlak harus diperhatikan bahkan terus ditingkatkan karena pencapaian tersebut ternyata belum merata. Ada daerah-daerah yang kegiatan keluarga berencananya sudah tinggi, sementara itu daerah lain masih rendah dalam menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP).
Pada umumnya masyarakat lebih memilih alat kontrasepsi yang praktis namun efektivitasnya juga tinggi, seperti metode non MKJP yang meliputi pil KB dan suntik. Sehingga metode KB MKJP seperti Intra Uterine Devices (IUD), Implant, Medis Operatif Pria (MOP) dan Medis Operatif Wanita (MOW) kurang diminati.
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) atau IUD (Intra Uterine Devices) adalah salah satu alat kontrasepsi jangka panjang yang sangat efektif untuk menjarangkan kelahiran anak (Hartanto, 2002).
Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 2003-2006 peserta program Keluarga Berencana (KB) Indonesia hanya meningkat 0,5% per tahun. Saat ini peserta KB hanya 62,5 % dari 45 juta PUS atau sekitar 28 juta PUS yang menjadi peserta KB aktif. http://www.pdpersi.co.id, diakses tanggal 27 Mei 2007.
Di Propinsi Lampung tahun 2005, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Propinsi Lampung tercatat sebesar 1.380.636 orang dan yang menjadi peserta KB aktif sebesar 961.460 orang (67,64%). Sedangkan di Kabupaten Lampung Timur terdapat peserta KB aktif sebanyak 126,547, orang (69,73%). Di Kecamatan Raman Utara terdapat jumlah Pasangan Usia Subur sebesar 7.458 0rang dengan jumlah peserta KB aktifnya berkisar 5.368 orang (71,98). Sedangkan di Desa Rejo Binangun jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebesar 588 orang, dari jumlah tersebut yang menggunakan kontrasepsi IUD sebanyak 30 orang (5%).
Berdasarkan hasil pra survey tanggal 18 Februari 2007 di Desa Rejo Binangun di dapat data sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Akseptor KB di Desa Rejo Binangun bulan Januari 2007.
No Alat Kontrasepsi Jumlah %
1
2
3
4
5
6
7 Pil
Suntik
Implant
MOP
MOW
IUD
Lain-lain 136
130
153
103
36
30
- 23
22
26
17
7
5
-
Jumlah 588 100%
Sumber : PLKB Kecamatan Raman Utara Lampung Timur
Dilihat dari data di atas pemakai alat kontrasepsi IUD sangat rendah. Rendahnya peminat pemakai alat kontrasepsi IUD maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di Desa Rejo Binangun.

Baca selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di desa

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya cakuptan akseptor baru keluarga berencana alat kontrasepsi dalam rahim di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan laju peningkatan penduduk di dunia dewasa ini tidak menggembirakan, demikian juga dalam masa yang akan datang tanpa adanya usaha-usaha pembangunan di segala bidang yang telah di laksanakan dengan maksimal tidaklah berfaedah. Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha penanggulangan pertumbuhan penduduk. (Mochtar, 1998).
Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah dan kuantitas sumber daya manusia dengan kelahiran 5.000.000 pertahun. Untuk dapat mengangkat derajat kehidupan bangsa telah dilaksanakan secara bersamaan pembangunan ekonomi dan Keluarga Berencana yang merupakan sisi masing-masing mata uang. Bila gerakan Keluarga Berencana tidak dilakukan bersamaan dengan pembangunan ekonomi,di khawatirkan hasil pembangunan tidak akan berarti (Manuaba, 1998).
Gerakan KB Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukan keluarga kecil, dalam rangka pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) (Wiknjosastro, 1999).
Tujuan gerakan KB Nasional ialah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran gerakan KB Nasional ialah :
1. Pasangan usia subur, dengan prioritas PUS muda dengan paritas rendah.
2. Generasi muda dan purna PUS
3. Pelaksana dan pengelola KB
4. wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi dan wilayah khusus seperti sentra industri, pemukiman padat, daerah kumuh, daerah pantai dan daerah terpencil. (Prawirohardjo, 1999).
Sejak pelita pertama sampai sekarang upaya pembangunan relatif telah berhasil dalam upaya pengedalian laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan penduduk di Indonesia dari tahun 1991 – 2000 rata-rata 1,27%, sementara laju pertumbuhan penduduk Lampung rata-rata 2% pertahun. Tingkat laju pertumbuhan penduduk tersebut menunjukkan trend menurun jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada tahun 1981 – 1991 yaitu 1,97% dan di Lampung pada tahun yang sama yaitu 2,67% pertahun (Badan Pusat Statistik, 2000).
Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk tahun 2002 jumlah penduduk Lampung bulan Desember 2002 tercatat sebesar 6.654.354 orang terdiri dari 3.411.366 orang laki-laki dan selebihnya yaitu 3.242.988 orang wanita (Badan Pusat Statistik Lampung, 2002).
Program Keluarga Berencana (KB) erat kaitannya dengan berbagai alat kontrasepsi, penggunaan alat kontrasepsi modern juga di tujukan untuk mengatur jarak kelahiran dan jumlah anak yang direncanakan. Ada beberapa alat kontrasepsi yang telah dipasarkan di masyarakat antara lain : Pil, Suntik, AKDR, Implant, Vasektomi dan Tubektomi.
Sesuai dengan hasil pra survey yang di dapat penulis, mengenai Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) di Puskesmas Kemiling Bandar Lampung yaitu akseptor baru KB dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2003 yang tertuang dalam data-data tabel di bawah ini.


Baca selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya cakuptan akseptor baru keluarga berencana alat kontrasepsi dalam rahim di puskesmas

Faktor-faktor rendahnya cakupan kunjungan ibu hamil yang ke empat (K4) di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari seluruh wanita yang hamil akan berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan kehamilannya serta dapat mengancam jiwaya. Dari 5.600.000 wanita hamil di Indonesia, sebagian besar akan mengalami suatu komplikasi atau masalah yang bisa menjadi fakta. Maka untuk bisa efektif dalam meningkatkan keselamatan ibu dan bayi baru lahir, asuhan antenatal harus lebih difokuskan pada intervensi yang telah terbukti bermanfaat menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir (Pusdiknakes-WHO-JHPIEGO, 2003).
Menurut data dari survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2004-2005, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Di Propinsi Lampung cenderung terjadi peningkatan AKI. Pada tahun 2003 AKI di Propinsi Lampung sebesar 53 per 100.000 kelahiran hidup dan meningkat menjadi 88 per 100.000 pada tahun 2004 dan 2005. AKI di Kota Metro tahun 2005 adalah 72 per 100.000 kelahiran hidup (DinKes Kota Metro, 2006).
Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, toxemia gravidarum, partus macet (persalinan kasep), abortus dan ruptur uteri (Depkes RI, 1992). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa penyebab-penyebab langsung kematian ibu sebagian besar dapat dideteksi dan dicegah pada masa kehamilan yaitu dengan pelaksanaan asuhan kebidanan atau biasa dikenal Ante Natal Care (ANC) (Depkes RI, 1993).
Hal ini menjadi tanggung jawab bersama serta memerlukan adanya upaya aktif dan pasif dalam meningkatkan cakupan kunjungan ibu hamil minimal 4 kali ke pelayanan kesehatan, terutama untuk ibu hamil yang sulit mengakses pelayanan kesehatan, sehingga secara dini dapat ditangani (DinKes Propinsi Lampung, 2005).
K4 adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang ke-empat (atau lebih) untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan, dengan syarat :
1. Minimal satu kali kontak pada triwulan I
2. Minimal satu kali kontak pada triwulan II
3. Minimal dua kali kontak pada triwulan III
(Depkes RI, 2004).
Pemeriksaan kehamilan pada trimester ketiga (>28 minggu) sangat penting. Karena pada trimester III dilakukan palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya kehamilan ganda, kelainan letak, atau kondisi lain yang memerlukan kelahiran di rumah sakit (Pusdiknakes – WHO – JHPIEGO, 2003).
Data prasurvei yang didapat penulis di Dinas Kesehatan Kota Metro mengenai cakupan K4 tahun 2006 adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Data Cakupan K4 Kota Metro Tahun 2006


Baca selengkapnya - Faktor-faktor rendahnya cakupan kunjungan ibu hamil yang ke empat (K4) di wilayah kerja puskesmas

Faktor-faktor rendahnya kunjungan balita di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Derajat kesehatan merupakan pencerminan kesehatan perorangan, kelompok maupun masyarakat yang digambarkan dengan umur harapan dan status gizi, morbiditas dan status gizi masyarakat. Sehat dapat mencakup pengertian yang sangat luas, yakni bukan saja bebas dari penyakit tetapi juga tercapainya keadaan, kesejahteraan baik fisik, sosial dan mental (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2005).
Dalam beberapa tahun terakhir Angka Kematian Bayi (AKB) telah banyak mengalami penurunan yang cukup besar meskipun pada tahun 2001 meningkat kembali sebagai dampak dari berbagai krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1995 Angka Kematian Bayi (AKB) diperkirakan sebesar 55 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 52 pada tahun 1997 dan turun lagi menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1999, kemudian naik menjadi 47 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000. Angka Kematian Bayi (AKB) menurut hasil surkesnas / susenas berturut-turut pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) menurut hasil SDKI 2002 – 2003 terjadi penurunan yang cukup besar, yaitu menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2005).
Berdasarkan estimasi susinas, angka kematian balita (AKABA) di Indonesia yang pada tahun 1995 sebesar 73 per 1000 kelahiran hidup, turun menjadi 64 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1998, ternyata pada tahun 2001 angka kematian balita (AKABA) tersebut tidak mengalami perubahan yaitu tetap 64 per 1.000 kelahiran hidup. Hal ini di perkenakan karena menurunya AKSES terhadap pelayanan kesehatan, salah satunya sebagai akibat dari krisis ekonomi, hasil SDKI menyatakan bahwa angka kematian balita (AKABA) pada tahun 2002-2003 telah turun menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup, menurut hasil Survey Demografi Kesehatan (SDKI) tahun 2002-2003, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307-per1000 kelahiran hidup (Provil Kesehatan Indonesia, 2005).
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari oleh untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna pemberdayaan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes RI, 2006).
Data Provinsi Lampung, pada tahun 2005, cakupan penimbangan balita yaitu balita yang ditimbang di bagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 57,96%,untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) mencapai 47,96%, indikator status gizi salah satunya adalah dengan melihat persentase anak balita dengan gizi baik (Provil Kesehatan Provinsai Lampung, 2005).
Data Kabupaten Lampung Selatan, pada tahun 2006, cakupan penimbangan balita yaitu balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 42,79%, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 81,79% (Dinkes Kabupaten Lampung Selatan, 2006).
Data Puskesmas Sukadami Kecamatan Natar, pada tahun 2006, cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 66%, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 94,% (Puskesmas Sukadamai Kecamatan Natar, 2006). Data desa Bandarejo Kecamatan Natar pada tahun 2006 cakupan penimbangan balita yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 57%, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan dibagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 76,7,%. (Desa Bandarejo Kecamatan Natar, 2006)
Desa Bandarejo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan Di Desa Bandarejo terdapat 6 Posyandu yang Tersebar di 6 lingkungan, jumlah bidan ada 1 orang dan jumlah kader 25 orang, namun berdasarkan survey dilokasi, diperoleh data bahwa cakupan penimbangan balita di Posyandu Nusa Indah Desa Bandarejo berkisar (D/S) 46% atau 22 orang di 56 orang balita (Desa Bandarejo Kecamatan Natar, 2006).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, untuk itu perlu di cari faktor-fator yang melatar belakangi masyarakat tidak datang ke Posyandu, sehingga peneliti ingin mengetahui “Faktor-faktor Rendahnya Kunjungan Balita di Posyandu Nusa Indah di Desa Bandarejo Kecamatan Natar.”

B. Rumusan masalah
Dari data yang ada, maka masalah dalam penelitian ini adalah “Apa Faktor-Faktor Rendahnya Kunjungan Balita di Posyandu Nusa Indah di Desa Bandarejo Kecamatan Natar ?”.


Baca selengkapnya - Faktor-faktor rendahnya kunjungan balita di posyandu

Karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kelahiran bayi kiranya merupakan momen yang paling menggembirakan bagi orang tua. Mereka ingin bayi mereka sehat dan memiliki lingkungan emosi dan fisik yang terbaik. Setelah lahir, nutrisi memainkan peran terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat dari bayi itu (Ramaiah, 2006)
Pada masa lima tahun kehidupan anak, pertumbuhan mental dan intelektual berkembang sangat cepat, yang disebut Golden Period. Pada masa itu terbentuk dasar-dasar kemampuan keinderaan, berpikir dan berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal pertumbuhan moral. Gerbang pertama untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas adalah ASI (Air Susu Ibu) eksklusif. Banyak penelitian sudah membuktikan, ASI membuat bayi jauh lebih sehat, kekebalan yang tinggi, kecerdasan emosional dan spiritual lebih baik. IQ pun bisa lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang ketika bayi tidak diberi ASI Eksklusif dan ASI juga mempunyai dampak ekonomis yang sangat tinggi, serta ASI tidak bisa digantikan dengan zat makanan manapun (Markum, www. Cyberwoman 2006).
Pemberian ASI yang dianjurkan ditingkat internasional dan nasional adalah pemberian ASI segera setengah jam setelah bayi lahir, kemudian pemberian ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan, selanjutnya pemberian ASI diteruskan sampai 2 tahun dengan pemberian makanan pendamping ASI. Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu kontribusi terpenting bagi kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan bayi baru lahir, bayi dan anak-anak. Manfaatnya akan semakin besar apabila pemberian ASI dimulai pada 1 jam pertama setelah kelahiran, dimana bayi membutuhkan makanan dan tanpa pemberian susu tambahan. Selain kekayaan gizi yang jelas dimiliki ASI, pemberian ASI juga melindungi bayi dari kematian dan kesakitan. Bayi yang diberi ASI eksklusif kemungkinan menderita diare dan infeksi pernafasan hanya seperempat dari seluruh kejadian yang diderita bayi yang tidak diberi ASI (Widyastuti, 2004).
Pada masa bayi, orang tua lebih merupakan perawat, pada masa balita sebagai pelindung, diusia prasekolah sebagai pengasuh, pada waktu usia sekolah dasar sebagai pendorong. Perubahan peran itu perlu terjadi agar pola pengasuhannya menjadi tepat meski ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan, jumlah ibu yang menyusui anaknya makin menurun. Data terakhir menunjukkan adanya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 65,1% (Susenas 1989) menjadi 49,2% (Susenas 2001). Proporsi bayi mendapatkan ASI Eksklusif di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan dan kawasan timur Indonesia lebih tinggi daripada di kawasan Jawa, Bali, dan Sumatera. Sedangkan ibu menyusui bayinya sampai usia 12-15 bulan sekitar 86% dan sekitar 66% menyusui sampai bayi berumur 22-23 bulan. Mengingat dewasa ini para ibu di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika dan Australia telah menjadikan pemberian ASI secara eksklusif sebagai perilaku pola asuh bayi. Meski mereka bekerja, tapi hal ini tidak menghambat keberhasilan pemberian ASI secara eksklusif (Swasono, www.menegpp 2006).
Berbeda dengan para ibu di negara berkembang seperti Indonesia, yang cenderung memilih memberikan susu formula kepada bayinya. Bahkan pada sebagian ibu, perilaku ini berkembang menjadi semacam gengsi. Celakanya, perilaku yang salah ini lalu ditiru oleh para ibu dari keluarga kurang mampu, sehingga terjadi pemberian susu formula yang sangat encer dan tidak memenuhi kebutuhan gizi bayi (Roesli, www.gizi.net 2006).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun1997 sampai 2002 lebih dari 95% ibu pernah menyusui bayinya. Namun yang menyusui dalam 1 jam pertama setelah melahirkan cenderung menurun dari 8% pada tahun 1997 jadi 3,7% pada tahun 2002. cakupan ASI Eksklusif 6 bulan menurun dari 42,4% pada tahun 1997 menjadi 39,5% pada tahun 2002. Penggunaan susu formula meningkat lebih dari 3 x lipat selama 5 tahun dari 10,8% pada tahun 1997 menjadi 32,5% pada tahun 2002 (www.depkes.go.id, 2006).
Dari sebuah survei yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumsi Indonesia (YLKI) pada tahun 1995 terhadap ibu-ibu se Jabotabek, diperoleh data bahwa alasan pertama berhenti memberikan ASI pada anaknya adalah “takut di tinggal suami”. Ini semua karena mitos yang salah yaitu menyusui akan mengubah bentuk payudara menjadi lembek (Roesli, 2000).
Sedangkan pada saat ini tampak ada kecenderungan menurunnya penggunaan ASI pada sebagian masyarakat di kota-kota besar. Di kota besar sering kita melihat bayi diberi susu botol daripada disusui ibunya, sementara di pedesaan kita melihat bayi yang berusia 1 bulan sudah diberi pisang atau nasi lembut sebagai tambahan ASI. Pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan untuk Propinsi Lampung adalah 57.207 bayi atau hanya sekitar 34,53% dari jumlah bayi 165.656 bayi. Sedangkan pemberian ASI ekslusif pada bayi 0-6 bulan untuk Kota Metro adalah 900 bayi atau sekitar 58,82% dari jumlah bayi 1530 bayi. (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2004).
Data prasurvei yang didapat oleh penulis di Dinas Kesehatan Kota Metro mengenai cakupan pemberian ASI rkslusif tahun 2005 adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Data Cakupan ASI Eksklusif Kota Metro 2005

No Puskesmas Sasaran Cakupan %
1
2
3
4
5
6 Yosomulyo
Metro
Iringmulyo
Banjarsari
Sumbersari
Ganjar Agung 282
241
334
241
139
227 238
27
158
183
27
177 84,39
11,2
47,3
75,93
19,93
77,97
JUMLAH 1464 810 55,32
Sumber : Laporan Cakupan ASI Eksklusif Dinas Kesehatan Kota Metro tahun 2005
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa cakupan pemberian ASI ekslusif Kota Metro tahun 2005 hanya mencapai 55,32%, sedangkan target untuk cakupan pemberian ASI eksklusif Kota Metro untuk tahun 2005 adalah 60%. Cakupan pemberian ASI Eksklusif yang terendah ialah Puskesmas Kota Metro, hanya tercapai 11,2% atau 27 ibu dari 241 ibu yang menyusui dan cakupan pemberian eksklusif yang paling tinggi dicapai oleh Puskesmas Yosomulyo yaitu sebesar 84,39% atau 238 ibu dari 282 ibu yang menyusui.
Semua ibu seharusnya dapat menyusui anaknya dan memenuhi kebutuhan nutrisi anaknya dimana ASI dapat menjadi makanan tunggal bagi bayi sampai berusia 6 bulan. Dalam upaya pemberian ASI eksklusif agar berhasil dimulai dan dimantapkan, ibu butuh dukungan aktif baik dari keluarga maupun orang-orang yang penting bagi ibu misalnya suami (Roesli, 2000).
Keberhasilan memberikan ASI Eksklusif selain bergantung pada ibu juga sangat bergantung pada suami karena peran suami sama besarnya dengan peran ibu terutama dalam segi psikologis, sehingga jika seorang ibu berhasil memberi ASI eksklusif selama 4 atau bahkan 6 bulan, hal ini merupakan keberhasilan ibu dan suami (Roesli, 1999).
Dari pengalaman selama lebih dari 15 tahun menggeluti masalah ASI dapat dipastikan bahwa suami yang berperan sebagai ayah merupakan bagian vital dalam keberhasilan ataupun kegagalan menyusui. Masih banyak para suami yang berpendapat salah. Para suami ini berpendapat bahwa menyusui adalah urusan ibu dan bayinya. Mereka menganggap cukup menjadi pengamat yang pasif saja, sebenarnya suami mempunyai peran yang sangat penting dalam keberhasilan menyusui, terutama untuk menjaga agar refleks oksitosin lancar (Roesli, 2000).
Di hari pertama setelah melahirkan, ibu pastilah mengalami kelelahan fisik dan mental. Akibatnya, ibu merasa cemas, tidak tenang, hilang semangat, dan sebagainya. Ini merupakan hal normal yang perlu diantisipasi suami maupun pihak keluarga. Namun dalam beberapa kasus, terutama pada anak pertama, banyak suami yang lebih sibuk dengan bayinya dari pada memperhatikan kebutuhan sang istri. Jika kondisi ini terus-menerus berlanjut maka ibu akan merasa bahwa perhatian suami padanya telah menipis sehingga muncul asumsi-asumsi negatif. Terutama yang terkait erat dengan penampilan fisiknya setelah bersalin. Tubuh yang dianggap tak lagi seindah dulu membuat suami lebih mencintai anak dari pada dirinya sebagai istri. Perasaan negatif ini akan membuat refleks oksitosin menurun dan produksi ASI pun terhambat. Karena pikiran negatif ibu memengaruhi produksi ASI, maka dukungan suami sangat dibutuhkan. Pentingnya suami dalam mendukung ibu selama memberikan ASI-nya memunculkan istilah breastfeeding father atau suami menyusui. Jika ibu merasa didukung, dicintai, dan diperhatikan, maka akan muncul emosi positif yang akan meningkatkan produksi hormon oksitosin sehingga produksi ASI menjadi lancar ( Roesli, www.bkkbn.com., 2006).
Dikatakan bahwa keberhasilan memberikan ASI eksklusif selain bergantung pada ibu juga sangat bergantung pada suami maka tidak terlepas kemungkinan keterkaitan antara karakteristik suami pada ibu menyusui dengan dukungan dalam pemberian ASI eksklusif dimana dukungan tersebut dipengaruhi oleh tingkat usia suami, tingkat pendidikan suami, jenis pekerjaan suami, tingkat penghasilan suami, tingkat pengetahuan suami tentang pemberian ASI Eksklusif dan sikap suami terhadap pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang karakteristik suami pada ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang terdapat pada latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006 ?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat usia.
b. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat pendidikan.
c. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan jenis pekerjaan.
d. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat penghasilan.
e. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat pengetahuan.
f. Diperolehnya gambaran karekteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan sikap.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Studi Deskriptif
2. Objek Penelitian : Karakteristik suami dilihat dari tingkat usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan, tingkat pengetahuan dan sikap.
3. Subjek penelitian : Suami dengan ibu menyusui yang memiliki bayi usia diatas 6 bulan sampai 2 tahun dan telah memberikan ASI eksklusif pada bayinya
4. Lokasi penelitian : Di Wilayah Kerja Puskesmas Metro
5. Waktu Penelitian : Tanggal 8 Mei – 20 Mei 2006

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Kota Metro
Menambah wawasan serta menjadi tolak ukur para tenaga kesehatan di Puskesmas Kota Metro dalam melaksanakan program selanjutnya, terutama lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu menyusui tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif.
2. Bagi Masyarakat Kecamatan Metro Pusat
Sebagai masukan bagi masyarakat khususnya ibu-ibu menyusui agar lebih meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif bagi bayinya serta menambah wawasan pengetahuan dan pandangan positif sehingga dapat meyakinkan keluarga khususnya ibu-ibu menyusui agar memberikan ASI secara eksklusif.
3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Untuk memberikan masukan bagi kegiatan penelitian berikutnya terutama penelitian yang berkaitan dengan ASI eksklusif.

Baca selengkapnya - Karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja puskesmas

Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Risiko Persalinan dengan Sikap Ibu Hamil Memilih Persalinan Secara Sectio Caesarea

KTI KEBIDANAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG RISIKO PERSALINAN DG SIKAP IBU HAMIL MEMILIH PERSALINAN SECARA SECTIO CAESAREA

ABSTRAK

Masa lalu, melahirkan secara sectio caesaria menjadi hal yang menakutkan karena berisiko kematian. Saat ini proses melahirkan secara sectio caesaria di duga bukan karena indikasi medis, namun dipicu oleh faktor non medis. Angka kesakitan dan kematian lebih tinggi pada persalinan sectio caesaria dibanding persalinan normal, karena ada peningkatan risiko yang berhubungan dengan proses persalinan sampai pada keputusan dilakukannya sectio caesaria.
Penelitian dilakukan untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang risiko persalinan dengan sikap ibu hamil memilih persalinan secara sectio caesaria di RS Bunda .............
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional, berdasarkan waktunya penelitian ini dikelompokkan dalam penelitian cross sectional, sedangkan menurut analisa data penelitian ini merupakan deskriptif analitik yaitu mendiskripsikan / menggambarkan ada atau tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang risiko persalinan dengan keputusan memilih persalinan secara sectio caesaria .sampel yang digunakan ada 30 sampel ibu hamil yang diambil dengan menggunakan metode simple random sampling.
Dari analisa data didapatkan sebagian besar ibu hamil pengetahuannya baik( 66,7 % ) dan sebagian besar ibu hamil yang berpengetahuan baik lebih memlih persalinan normal ( 63,3 % ) bila dibandingkan dengan persalinan sectio caesaria. Dan ternyata didapatkan adanya hubungan yang bermakna antar pengetahuan ibu hamil tentang risiko persalinan dengan sukap ibu hamil memilih persalinan secara sectio caesaria.
Kesimpulan yang dapat ditarik pengetahuan ibu hamil sangat penting untuk dapat menentukan proses persalinan yang tepat, karena semakin baik pengetahuan ibu tentang risiko persalinan semakin besar pula sikap ibu untuk memilih persalinan normal yang risikonya lebih rendah dari persalinan sectio caesaria
Kata Kunci : Pengetahuan, Risiko Persalinan, Sikap Ibu Hamil

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang
Melahirkan merupakan puncak peristiwa dari serangkaian proses kehamilan. Oleh karena itu, banyak wanita hamil merasa khawatir, cemas dan gelisah menanti saat kelahiran tiba. Setiap wanita menginginkan persalinannya berjalan lancar dan dapat melahirkan bayi yang sempurna. Seperti yang telah diketahui, ada dua cara persalinan yaitu persalinan pervaginam yang lebih dikenal dengan persalinan normal atau alami dan persalinan dengan operasi Caesar dapat disebut juga dengan bedah sesar atau sectio caesaria, yaitu bayi yang dikeluarkan lewat pembedahan perut ( kasdu, 2003 )
Pada masa lalu, melahirkan dengan sectio caesaria menjadi hal yang menakutkan karena berisiko kematian. Oleh karena itu, pembedahan hanya dilakukan jika persalinan normal dapat membahayakan ibu dan janinnya. Seiring dengan berjalannya waktu serta berkembangnya kecanggihan bidang ilmu kedokteran kebidanan, pandangan tersebut kemudian bergeser. Kini sectio caesaria kadang menjadi alternatif persalinan tanpa pertimbangan medis. Bahkan bagi sekelompok orang, sectio caesaria dianggap sebagai alternatif persalinan yang mudah dan nyaman. Anggapan ini membuat mereka memilih persalinan secara sectio caesaria daripada persalinan alamiah, meskipun tanpa indikasi medis. ( kasdu, 2003)
Pengetahuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang sesuatu hal, maka ia akan cenderung mengambil keputusan yang lebih tepat berkaitan dengan masalah tersebut dibandingkan dengan mereka yang pengetahuannya rendah ( permata, 2002 ). Ibu hamil dalam merencanakan proses persalinannya memerlukan suatu informasi yang benar, sehingga ibu mempunyai gambaran tentang kehamilan serta proses persalinan. Dari informasi dan gambran tersebut, diharapkan ibu lebih siap dalam menghadapi proses persalinan manapun. Pengetahuan ibu tentang keadaan kehamilan dan persalinan yang akan dilakukan, memungkinkan untuk mempersiapkan fisik dan mental, sehingga ibu dapat memilih proses persalinan yang tepat dan aman.
Saat ini persalinan dengan sectio caesaria bukan hal yang baru lagi bagi para ibu dan golongan ekonomi menengah keatas. Hal ini terbukti meningkatnya angka persalinan dengan sectio caesaria di Indonesia dari 5% menjadi 20% dalam 20 tahun terakhir. Dan tercatat dari 17.665 angka kelahiran terdapat 35.7% - 55.3% ibu melahirkan dengan proses sectio caesaria (kasdu, 2003). Peningkatan persalinan dengan sectio caesaria ini disebabkan karena berkembangnya indikasi dan makin kecilnya risiko dan mortalitas pada sectio caesaria yang didukung dengan teknik operasi anastesi serta ampuhnya anti biotika (mochtar, 1998).
Dampak dan risiko kesehatan pasca sectio caesaria ini cukup berarti seperti infeksi, perdarahan, luka pada organ, komplikasi dari obat bius dan kematian ( www. Human Medicine. Com, 2009 ). Lebih dari 85 % sectio caesaria disebabkan karena adanya riwayat sectio caesaria sebelumnya, distosia persalinan, gawat janin dan presentasi bokong. Angka mortalitas ibu pada sectio caesaria elektif adalah 2,8 % sedangkan untuk sectio caesaria emergensi mencapai 30 % ( pangastuti, 2003 )
Menurut Bensons dan Pernolls cit. Adjie ( 2005 ) angka kematian secara sectio caesaria adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan resiko 25 kali lebih besar dibanding persalinan pervaginam. Malahan untuk kasus karena infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan persalinan pervaginam. Komplikasi tindakan anestesi sekitar 10 % dari seluruh angka kematian ibu. Frigeletto 1980 melaporkan, di Boston Hospital for women angka kematian ibu nol pada 10.231 kasus. Tetapi mereka juga mengemukakan bahwa angka kesakitan dan kematian lebih tinggi pada persalinan dengan sectio caesaria dibandingkan persalinan pervaginam, karena ada peningkatan resiko yang berhubungan dengan proses persalinan sampai pada keputusan dilakukan sectio caesaria ( www.infoibu.com, 2009 )

I.2. Identifikasi Masalah
Penelitian ini akan dilakukan di RS Bunda yang terletak di kec. Benowo kel. Sememi ........... barat tepatnya di jalan raya kandangan 23-24. fasilitasnya terdiri dari ruang UGD 24 jam, poli spesialis anak, poli spesialis penyakit dalam, poli spesialis bedah, poli kebidanan dan kandungan, poli spesialis mata, poli spesialis jantung, radiologi, poli ortopedi, poli THT, dan poli syaraf. Di lihat dari letak geografisnya RSU Bunda ........... berada di daerah industri yang mana sebagian besar penduduknya adalah pekerja pabrik dan pedagang. Kehidupan sosial budaya masyarakat mayoritas beragama islam, ditinjau dari segi perekonomian pasien yang berkunjung ke RSU Bunda ........... dari kelas ekonomi bawah, menengah dan atas.
Berdasarkan data survey awal yang didapatkan dari laporan persalinan VK RS Bunda ........... pada bulan Januari - Juni 2009 didapatkan angka persalinan sectio caesaria sebesar 298 kasus ( 55 %), persalinan sectio caesaria karena KPD 80 kasus ( 26 %), persalinan sectio caesaria tanpa indikasi medis 30 kasus ( 10 % ) dari 540 total persalinan. Dan dari 3 ibu hamil yang kebetulan memeriksakan diri ke RS Bunda saat pengumpulan data didapatkan 2 orang ibu hamil ( 6,6 % ) yang tahu banyak tentang risiko persalinan sectio caesaria lebih memilih persalinan normal, sedangkan 1 orang ibu hamil ( 3,4 % ) dengan pengetahuan yang kurang tentang risiko persalinan sectio caesaria. lebih memilih persalinan sectio caesaria dengan pertimbangan tertentu, maka berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan pengetahuan ibu hamil tentang risiko persalinan sectio caesaria dengan sikap ibu hamil memilih persalinan secara sectio caesaria.

I.3. Rumusan Masalah
Apakah Ada Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Risiko Persalinan Dengan Sikap Ibu Hamil Memilih Persalinan Secara Sectio Caesaria di RS Bunda ...........?

silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI KEBIDANAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG RISIKO PERSALINAN DG SIKAP IBU HAMIL MEMILIH PERSALINAN SECARA SECTIO CAESARIA
(isi: Daftar Isi; Abstrak; Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, Kuesioner)
PLUS PRESENTASI DAN PROPOSAL+PRESENTASI PROPOSAL
Baca selengkapnya - Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Risiko Persalinan dengan Sikap Ibu Hamil Memilih Persalinan Secara Sectio Caesarea

Hubungan Antara Persalinan Seksio Sesarea Dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

KTI KEBIDANAN
HUBUNGAN ANTARA PERSALINAN SEKSIO SESAREA DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pertolongan operasi persalinan merupakan tindakan dengan tujuan untuk menyelamatkan ibu maupun bayi. Bahaya persalinan operasi masih tetap mengancam sehingga perawatan setelah operasi memerlukan perhatian untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ( I.G.B. Manuaba, 1998 ).
Persalinan seksio sesarea dilakukan pada faktor kehamilan dengan risiko tinggi sehingga persalinan tersebut mengakibatkan gangguan pada janin atau bayi baru lahir, dan juga perlu di ingat tindakan seksio sesarea dilakukan baik untuk kepentingan ibu maupun anak, oleh sebab itu seksio sesarea tidak dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa.
Melakukan bedah caesar untuk persalinan merupakan fenomena yang saat ini meluas di kota-kota besar di Indonesia. Beragam alasan melatarbelakangi semakin banyaknya ibu yang memilih persalinan dengan bedah caesar. Dr. Andon Hestiantoro SpOG ( K ) dari Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM menjelaskan bahwa persalinan caesar di rumah sakit pemerintah saat ini sekitar 11 – 15 % sementara di rumah sakit swasta dapat mencapai 30 – 40 %. Mengingat hal tersebut maka dalam melakukan tindakan operasi diperhatikan pedoman “primum non norece “ yaitu artinya operasi tersebut tidak menambah beratnya penderitaan dan cacat baik bagi ibu maupun bayinya ( I.G.B, Manuaba, 1996 ).
Karena persalinan dengan bedah caesar sangat tinggi risikonya terhadap bayi baru lahir yaitu kematian bayi, risiko gangguan pernafasan bayi, risiko trauma bayi dan risiko gangguan otak. Risiko yang dialami bayi baru lahir terkait persalinan dengan caesar adalah 3,5 kali lebih besar dibandingkan dengan persalinan normal ( Dr. Andon Hestiantoro SpOG ( K ) dari Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM
Menurut Anne Hansen dari Aarhus University Hospital, Denmark, mengatakan bahwa bayi yang lahir dengan seksio sesarea memiliki risiko lebih tinggi pada sistem pernafasan kemungkinan berkaitan dengan perubahan fisiologi akibat proses kelahiran. Proses kelahiran dengan seksio sesarea memicu pengeluaran hormon stres pada ibu yang diperkirakan menjadi kunci pematangan paru-paru bayi yang terisi air sehingga bayi lahir mengalami asfiksia. Asfiksia sendiri adalah kegagalan bayi untuk bernafas dan mempertahankannya. Selain dapat menimbulkan kematian, jika terlambat ditangani asfiksia bisa mengakibatkan cacat seumur hidup seperti buta, tuli, dan cacat oatak.
Menurut dr. Wayan Retayasa, SpA (K) dari RS Wangaya Bali,Angka Kematian Bayi akibat asfiksia di tingkat nasional berkisar 3 % dari 100 juta bayi yang lahir di negara berkembang sehingga perlu penanganan yang benar agar tidak menimbulkan kecacatan bayi dan gangguan pada tumbuh kembangnya di kemudian hari. Sementara sekitar 900.000 bayi di Indonesia lahir dengan asfiksia dan merupakan penyebab nomor dua kematian bayi. Sedangkan berdasarkan presentasi dari tim DTPS-KIBBLA kota .......... tertera gambaran singkat mengenai AKB, dimana AKB terdapat 32 kasus yaitu 16 kasus dikarenakan asfiksia, 1 kasus karena tetanus neonatorum, 2 kasus infeksi dan 13 kasus sisanya karena berbagai macam faktor. Menurut Helen Varney 2007, kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah dari faktor persalinan dengan tindakan yaitu persalinan dengan seksio sesarea. Hansen dan koleganya mempublikasikan British Medical Journal Online 11 desember 2007, yang meneliti lebih dari 34.000 kelahiran di Denmark. Mereka menemukan hampir 4 kali peningkatan risiko kesulitan bernafas pada bayi-bayi yang dilahirkan secara seksio sesarea. Sedangkan menurut Helen Varney 2007, neonatus yang dilahirkan dengan seksio sesarea, terutama jika tidak ada tanda persalinan, tidak mendapatkan manfaat dari pengeluaran cairan paru dan penekanan pada toraks sehingga mengalami gangguan pernafasan yang lebih persistan. Kompresi toraks janin pada persalinan kala II mendorong cairan untuk keluar dari saluran pernafasan. Sander 1978 menemukan bahwa tekanan yang agak besar seiring dengan ditimbulkan oleh kompresi dada pada kelahiran pervaginam dan di perkirakan bahwa cairan paru-paru yang didorong setara dengan seperempat kapasitas residual fungsional. Jadi, pada bayi yang lahir dengan seksio sesarea mengandung cairan lebih banyak dan udara lebih sedikit di dalam parunya selama 6 jam pertama setelah lahir ( Milner dkk, 1978 ). Kompresi toraks yang menyertai kelahiran pervagainam dan ekspansi yang mengikuti kelahiran, mungkin merupakan suatu faktor penyokong pada inisiasi respirasi ( Obstetri Williams edisi 21, 2005 ).
Dari studi pendahuluan Di Rumah Sakit ................. pada tahun 2005 terdapat 741 bayi yang dilahirkan dengan persalinan seksio sesarea. Dari persalinan seksio sesarea terdapat 39 bayi yang mengalami asfiksia. Sedangkan periode bulan Agustus sampai September 2009 terdapat 184 kelahiran, dimana kelahiran seksio sesarea sebanyak 130 kelahiran dan 52 kelahiran normal sedangkan sisanya kelahiran dengan tindakan vacum. Dari 130 kelahiran dengan cara seksio sesarea terdapat 8 bayi yang mengalami gangguan pernafasan sedangkan pada 52 kelahiran normal terdapat 2 bayi yang mengalami gangguan sistem pernafasan.
Bila dilihat dari angka kejadian diatas, asfiksia pada bayi baru lahir masih cukup tinggi, dimana kejadian asfiksia tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor persalinan dengan tindakan yaitu dengan seksio sesarea. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persalinan seksio sesarea dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah “ Adakah hubungan antara kelahiran seksio sesarea dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir ?”.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kelahiran seksio sesarea dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit ..................
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi kejadian persalinan seksio sesarea di RS. .................
1.3.2.2 Mengidentifikasi kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di RS. .................
1.3.2.3 Menganalisa hubungan antara persalinan seksio sesarea dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di RS. .................

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat
dan berkepentingan.
1.4.1 Bagi Peneliti
Untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan mutu pelayanan dalam penanganan bayi risiko tinggi, terutama penanganan asfiksia yang disebabkan karena persalinan dengan seksio sesarea yang merupakan penerapan ilmu dari materi kuliah yang sudah didapatkan serta merupakan pengalaman pertama dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.
1.4.2 Bagi Profesi
Untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan mutu pelayanan dalam penanganan bayi risiko tinggi, terutama penanganan asfiksia yang disebabkan karena persalinan seksio sesarea.
1.4.3 Bagi IPTEK
Menambah kajian dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak khususnya Neonatologi serta memacu untuk penemuan tehnik penanganan dan perawatan pada bayi yang lahir yang lebih efektif dan efisien.
1.4.4 Bagi Masyarakat
Diharapkan dengan adanya penelitian ini masyarakat bisa memahami tentang bahaya dari asfiksia pada bayi baru lahir serta memahami proses masa transisi bayi setelah proses persalinan khususnya persalinan dengan seksio sesarea.

1.5 Sistematika Penulisan
Bab 1 : Menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan
Bab 2 : Menguraikan tentang tinjauan pustaka, konsep dasar seksio sesarea dan konsep dasar asfiksia pada bayi baru lahir
Bab 3 : Menguraikan tentang kerangka konseptual dan hipotesis
Bab 4 : Menguraikan tentang jenis dan rancang bangun penelitian, kerangka kerja, lokasi penelitian, waktu penelitian, populasi dan sampel penelitian.
Bab 5 : Menguraikan tentang hasil penelitian, analisis hasil penelitian dan pembahasan
Bab 6 : Menguraikan tentang simpulan dan saran
Daftar Puataka

silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI KEBIDANAN
HUBUNGAN ANTARA PERSALINAN SEKSIO SESAREA DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR
(isi: Daftar Isi; Abstrak; Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, Kuesioner)
Baca selengkapnya - Hubungan Antara Persalinan Seksio Sesarea Dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

KOTAK PENCARIAN:

ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN:

=====
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...