KOMPAS.com – “Kami bukan perajin. Saya selalu bilang itu pada media, pada ibu menteri dan duta besar. Tenun ikat adalah seni bernilai tinggi, identitas budaya bangsa bernilai folk art. Pekerjanya adalah artist, seniwati bukan perajin,” tutur Alfonsa Raga Horeng, STP, perempuan yang lahir dan besar di desa Nita, kabupaten Sikka, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Alfonsa adalah sosok perempuan inspiratif dari Indonesia timur yang berani bersuara lantang memperjuangkan tenun ikat, benda seni warisan leluhurnya yang tak menarik perhatian generasi muda. Keinginan perempuan kelahiran 1 Agustus 1974 ini tak terbendung sejak 2002 untuk memelajari tenun ikat. Kemudian mendokumentasikan proses pembuatan tenun ikat khas Flores.
Atas upayanya dan intelektualitasnya, Alfonsa tak hanya berhasil menggandeng kembali generasi muda Flores untuk kembali mencintai tenun ikat bernilai adat. Anak sulung dari dua bersaudara ini juga kerap melakukan perjalanan ke luar desanya, menghadiri undangan berbagai kegiatan di Jakarta hingga terbang ke Amerika dan Eropa, bicara di forum dunia mengenai tenun ikat dari Flores.
Anak muda jadi dilema Meski sukses membangun sentra tenun ikat di Sikka, Maumere, Flores, Alfonsa mengaku masih menghadapi dilema. Satu sisi, ia ingin tenun ikat bernilai adat tetap lestari, di sisi lain ia juga ingin menggandeng lebih banyak anak muda Flores untuk mencintai akar budayanya, memelihara tenun bersamanya. Namun anak muda, katanya, mudah tergiur dengan pekerjaan bergengsi di desa, menjadi pegawai negeri sipil. Atau menjalani pekerjaan lain yang mendatang uang lebih cepat, dibandingkan menenun.
“Perempuan banyak dirasuki mengenai pekerjaan sebagai PNS. Generasi muda anggap remeh tenun,” ungkapnya.
Dukungan dari pemerintah yang memberikannya mesin ATBM, memberikan solusi. Alfonsa juga terbuka pada masukan yang diterimanya, untuk memberdayakan perempuan muda, memproduksi tenun namun bukan dengan menggunakan alat tenun gedog yang tradisional. Kain tenun ATBM yang lebih tipis, dengan motif yang sama seperti tenun ikat, kemudian diciptakan. Namun bukan kain yang diperdagangkan, melainkan tenun yang dihadirkan dalam bentuk tas atau busana siap pakai.
Sejumlah desainer ternama juga melirik sentra tenun yang dikelola Alfonsa. Mereka mencipta produk fashion berkualitas dari kain tenun ATBM berkualitas buatan para seniwati Flores. Alfonsa menyebut sejumlah nama desainer ternama Indonesia: Anne Avantie, Stephanus Hammy, Priyo Oktaviano, Lenny Agustin, Samuel Wattimena, Ghea Panggabean.
Alfonsa memimpin sentra utama tenun ikat di Flores, melibatkan 38 penenun aktif. Sentra tenun juga memiliki cabang di desa-desa, dengan setiap desa memiliki 2-3 cabang. Masing-masing cabang di desa memiliki 4-22 penenun. “Dukungan dari kepala desa sangat penting dan berpengaruh. Ada satu desa yang memiliki 143 penenun karena kepada desanya menggerakkan kaum perempuan untuk menenun,” tuturnya.
Satu desa juga memiliki motif tenun yang berbeda dengan desa lainnya. Sepanjang perjalanannya menggali ilmu tenun, Alfonsa menemukan ada 81 motif tenun berbeda di tiga wilayah di Sikka, Flores. Kekayaan motif tenun ini menjadi benda seni bernilai ekonomi tinggi. Adalah tanggung jawab personal bagi Alfonsa, untuk menyadarkan kembali masyarakat Flores mengenai nilai tenun ikat ini. “Minimal, sehelai kain tenun ikat dari benang pintal dan warna alam untuk ukuran tiga meter 90 cm, bernilai Rp 3,5 juta,” ungkapnya.
Namun menjadi dilema bagi Alfonsa, karena untuk anak muda, nominal ini tak ada nilainya jika harus diupayakan dalam waktu lama. “Prosesnya lama dan uangnya didapatkan juga lama, ini yang menjadi kendala bagi anak muda. Mereka hanya melihat profit,” jelasnya.
Adalah juga dilema, ketika Alfonsa harus mempertahankan tenun ikat yang dibuat secara tradisional, sambil juga memberdayakan kalangan perempuan muda untuk kembali tertarik pada tenun, melalui produksi tenun ATBM, dan proses menjahit berbagai produk fashion siap pakai. “Kedua hal ini sangat berbeda, namun keduanya tetap diperlukan untuk saling mendukung dan menyeimbangkan, selain juga mengajak anak muda untuk kembali mencintai tenun,” tuturnya.
Sukses dengan dukungan orangtua Alfonsa berasal dari keluarga sederhana, dengan ayahnya Apolonarius (almarhum) dan ibunya Theresia Bajo, berprofesi sebagai guru. Kedua orangtuanya punya pengaruh besar atas pencapaian yang diraihnya kini. Alih-alih menuntut Alfonsa untuk menjadi pegawai negeri atau bekerja pada orang lain, Alfonsa mengakui orangtuanya justru mendorong dirinya untuk mengembangkan kampung halamannya.
“Saya selalu dipesannya, jangan menjadi kuli seperti mereka. Jarang ada orang kampung bersekolah tinggi. Setelah sekolah, bantu kampung, tunjukkan kepada mereka bagaimana orang sekolahan itu bekerja,” tutur perempuan yang lantang bicara di panggung dunia, namun tetap merendah saat ia berada di negerinya sendiri.
Orangtua Alfonsa memberikan dukungan penuh kepada upaya putrinya melestarikan tenun ikat adat. Bukan hanya memotivasi, namun juga memfasilitasi. Salah satunya mendirikan sentra tenun ikat menggunakan tanah milik orangtua, terletak di pinggir jalan utama, yang kerap menarik perhatian turis mancanegara.
STILL yang berlokasi di Jalan Don Slipi, desa Nita, Sikka, Maumere, Flores tak hanya pusat pembuatan tenun namun juga wisata alam dan budaya. “Plang nama sentra tenun menarik perhatian turis yang lewat. Biasanya mereka berkelompok 25 orang. Biasanya saya mengajak mereka ke sentra untuk melihat pembuatan tenun ikat dan pada akhirnya mereka berbelanja. Namun sebelum itu, saya ajak mereka jalan kaki 150 meter melewati pemandangan alam desa, menuju sentra tenun utama. Mereka kemudian menerima penyambutan secara tradisi, dilengkapi makanan, tarian tradisional,” jelas penerima penghargaan She Can 2009 dari Tupperware ini.
Alfonsa tak hanya berhasil mengembangkan tenun ikat di desanya. Ia juga kerap diundang menjadi pembicara dalam workshop tentang tenun ikat di luar negeri. Belum lama ini, Alfonsa terpilih sebagai delegasi Indonesia untuk kegiatan ISEND2011 di kota La Rochelle Perancis. Ia juga hadir sebagai undangan di kegiatan bursa pariwisata dunia di London. Tak hanya itu, atas kontribusinya, ia juga banyak mengumpulkan penghargaan tingkat nasional dan internasional. Kartini Award sebagai Perempuan Inspiratif Se-Indonesia, Meexa Award, Australian Leadership Award adalah sejumlah penghargaan yang diterimanya.
Penghargaan merupakan bentuk pencapaian personal. Namun, bagi Alfonsa masih ada impian yang disimpannya. Pelestarian warisan budaya menjadi perhatian dan kepeduliannya. Melihat berbagai respons positif dunia akan warisan budaya Indonesia, Alfonsa berharap, suatu saat Indonesia memiliki lembaga pendidikan yang khusus mengembangkan kain nusantara.
“Perlu ada akademi tenun, akademi batik, karena Indonesia punya banyak guru yang ahli pada bidang itu. Jangan masukkan ilmu menenun dan membatik sebagai kurikulum, tetapi dirikan akademi khusus untuk itu,” harapnya.