Atresia Rekti dan Anus

Definisi
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar (Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan atresia rekti dan anus adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Atresia rekti dan anus adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

Etiologi
Etiologi secara pasti atresia rekti dan anus belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia rekti dan anus. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia rekti dan anus. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.

Faktor predisposisi
Atresia rekti dan anus dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :
  1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
  2. Kelainan sistem pencernaan.
  3. Kelainan sistem pekemihan.
  4. Kelainan tulang belakang.
Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia rekti dan anus dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
  1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
  2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1) Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2) Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3) Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.

Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia rekti dan anus dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal.
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.

Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia rekti dan anus adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia rekti dan anus. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.

Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.

Penatalaksaan
Penatalaksanaan Medis
  • Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
  • Colostomi sementara
Baca selengkapnya - Atresia Rekti dan Anus

Encephalitis (Radang Otak)

Radang otak biasanya berada diberbagai tempat. Radang otak ini bisa sembuh dengan tidak meninggalkan parut, tetapi kadang-kadang dapat menyebabkanpengkisutan. Radang ini menular ke tempat yang berada di dekatnya melalui aliran darah dengan gejala-gejala demam, muntah-muntah, letargi, neuralhia, lumpuh, dan sebagainya. Gejala ini tergantung pada sarang radang di dalam otak.

Macam-macam Enchapalis :
  1. Acute disseminate Encephalitis
  2. Economo’s Encephalitis
  3. Equine Encephalitis
  4. Hemorrharic Encephalitis
  5. Encephalitis dimana jadi radang otak dengan bercak-bercak perdarahan dan eksudat perivaskular.
  6. Herpes Encephalitis, Disebabkan oleh virus herpes yang ditandai oleh nekrosis hemorogik lobus temporal dan frontalis.
  7. HIV Encephalitis
  8. Japanese Encephalitis, penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh orbo virus yang ditularkan oleh binatang melalui gigitan nyamuk dan menimbulkan ganguan pada susunan syaraf pusat yaitu pada otak, sum-sum tulang belakang dan selaput otak.
  9. La Crosse Encephalitis, disebabkan oleh virus La Crosse, ditularkan aedestriseriatus terutama pada anak-anak.
  10. Lead Encephalitis
  11. Post Infection Encephalitis
  12. Post Vaccinal Encephalitis
  13. St Lois Encephalitis, penyakit virus yang pertama kali di Illinois pada tahun 1932, biasanya ditularkan melalui nyamuk
  14. Letharagic Encephaliti, bentuk Encephalitis endemic yang ditandai dengan peningkatan kelesuan, apatis dan rasa nyantuk.
  15. Tickborre Encephalitis
Bentuk Encephalitis epedimika yang biasanya disebarkan melalui gigitan sengkenit yang terinfeksi plavirus, kadang-kadang disertai dengan perubahan degeneratif pada orang lain.

Encephalitis Acuta Pada Anak-Anak
Penyakit ini –biasanya menyerang anak yang berumur antara 1-4 tahun , dengan gejala pusing, tidak enak badan dan demam. Kadang-kadang yang disertai dengan muntah-muntah dan kejang. Keadaan ini berlangsung kadang-kadang dampai 3 minggu. Sesudah itu demamnya hilang tetapi ia menjadi lumpuh. Biasanya angota gerak itu panjang sebelah dengan lengannya lebih panjang dari tungkainya. Pergerakannya sedikit saja dan tubuhnya tertinggal, reflek urat tinggi dankadang-kadang kelihatan kontraktur. Otot-otot lisut, perasaannya tidak tergangu. Kalu anak-anak itu berjalan, kelihatan ia menggerakkan lengan yang panjang itu tidak berketentuan. Anak-anak itu kelak sering mendapatkan penyakit sawam. Keadaan yang seperti ini kelihatan juga sesudah campak, scarlatina, pneumia, influenza, batuk rejan.

Encephalitis Epidemica
Pada zaman dahulu penyakit ini dinamakan Encephalitis lethargica. Hama penyakit ini belum diketahui, tetapi mungkin disebabkan melalui kelinci dan tikus. Virus ini mempunyai daya tahan yang sangat besar danterdapat dalam jaringan otak, liquor cerebrospinalis, dalam selaput rongga hidung dan tekak serta air ludah. Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia denganmelalui selaput hidung dan tekak. Penyakit dimulai dengan adanya demam, sakit pada sendi, sakit kepala. Pusing, mengigil. Setelah itu timbul tanda-tanda sakit otak, yang salah satunya adalah tagih tidur (letargi). Selain itu juga terjadi ptosis (kelopak mata atas jatuh ke bawah oleh sebab terlalu panjang), pergerakan biji mata terganggu dan nystagmus (matanya bergetar).
Terkadang pikiran orang tersebut kacau dan gelisah.lama penyakit ini sampai berbulan-bulan dankadang-kadang bertambah parah yang disebabkan oleh pneumia atau keadaan badanya yang bertambah lemah, sehingga penyakit ini bisa menahun. Sesudah masa latergi maka terjadi masa parkinsonisme, dengan ciri-ciri pergerakan sedikit danlambat, badannya menyondong, hipersalivasi, penglihatan terganggu dan lain-lain.

Encephalitis haemorrhagica acuta pada orang dewasa.
Penyakit ini banyak dijumpai pada wabah influenza. Dengan tanda-tanda sakit kepala, pinsan, sewaktu demam tinggi serta bisa meninggal. Selain itu juga pikirannya kacau, buta sebelah, tetapi hanya beberapa hari/minggu, setelah itu keadaanya baik kembali.

Japanese Encephalitis
Yaitu penyakit akut ygdisebabkan oleh arbovirus yang ditularkan oleh binatang melalui gigitan nyamuk dan menimbulkan gangguan pada susunan syaraf pusat yaitu pada otak, sumsum tulang dan selaput otak. Penyebab penyakit ini adalah virus Japanese Encephalitis (Virus JE) yaitu flavirus yang termasuk arbovirus grup B sehingga tergolong dalam virus RNA yang mempunyai selubung (enveloped virus) berukuran 35-40 m dan dapat dibiakkan di dalam berbagai macam kultur jaringan misalnya embrio anak ayam, jaringan kelinci, tikus, manusia dan kera.
Virus JE merupakan penyebab penyakit zoonosis yang terutama menginfeksi binatang akan tetapi dapat ditularkan pada manusia. Babi merupakan sumber utama penularan meskiupun kuda, sapi, kerbau, anjing dan burung mungkinjuga berperan dalam penularan JE manusia.

Penyakit zoonosis yang sumber utamanya adalah babi, yang ditularkan dari babi dan dari babi ke manusia oleh nyamuk Culex Tritaeniorhynchus dan Culex Vishraei serta nyamuk Culex Gelidus, nyamuk tersebut berkembang biak di sawah-sawah dan kolam yang dangkal. Nyamuk ini sesudah menghisap darah binatang yang mengandung virus akan berkembang menjadi infektif dalam waktu 9-12 hari. Di Indonesia ketika spesies nyamuk tersebut yang senang menghisap darah manusia di sampingdarah babi. Penyakit ini teruama menyerang anak-anak usia sekolah terutama anak umur 2-5 tahun, meskipun orang dewasa juga dapat diserang.

Penyebab
Encephalitis disebabkan oleh virus berikut ini :
1. virus arbo (arthropod-borne) yang mencakup virus equine dan west niie
2. enterovirus yang mencakup ECHO, COMCACHIE A dan B serta poliovirus.
3. Paramyxovirus (mumps)
4. Herpes virus
5. virus rabies

Gejala
1. Demam
2. Muntah-muntah
3. Enek
4. Susah tidur
5. heuralgia
6. Lumpuh
Gejala-gejala ini bergantung pada sarang radang di otak (lihat hal 280-285 dari a-d (a-c)) (Buku Ilmu Penyakit).

Patologi
Hasil bedah jenasah pada penderita yang menderita serangan akut menunjukkan terjadinya endema yang difus dan kongesti vaskuler dari selaput otak dan jaringan otak. Selain itu pada infeksi yang berat akan dijumpai pula petekia, pada selaput otak disertai dengan meningkatnya jumlah cairan serebrospinal meskipun warnanya tetap jernih. Perubahan yang khas pada JE adalah terjadinya degenerasi neuron terutama pada substansi nigra, thalamus, basal nucleus, serebelum dan korna anterior medulla spinalis serta korteks serebelum. Juga di serebelum akan dijumpai kerusakan sel-sel puekinye. Pada system retikula-endotel didapatkan hiperplasma dari sel-sel hati. Limpa dan sel linfa.

Gambaran Klinik
Masa Inkubasi
Masa inkubasi sukar ditentukan, mungkin berlangsung antara 5-15 hari.

Perjalanan Penyakit :
Dibagi 3 stadium :
1. Stadium Prodromal
Yaitu waktu yang berlangsung sebelum timbulnya gejala-gejala akibat gangguan pada susunan saraf pusat. Penyakit yang timbul dengan mendadak ini selalu diawali dengan demam kemudian diikuti oleh sakit kepala yang berat, malaise dan kekakuan serta kerap kali disertai dengan mual-mual dan muntah. Stadium prodromal berlangsung antara 1 sampai 14 hari tetapi pad umumya kurang dari 6 hari

2. Stadium ensefalitis akut
Pada stadium ini telah tampak tanda-tanda yang spesifik penting :
a. Tanda-tanda neurologis
b. Panas tinggi terus menerus sampai lebih dari 400C
c. Bradikardi yang relatif
d. Wajah tampak datar, dull, seperti topeng

3. Stadium akhir dengan sequelae
Pada saat keradangan menghilang, suhu badan dan hematokrit menjadi normal, stadium ketiga ini dimulai.tanda-tanda neurologis dapat menetap atau membaik. Bila stadium ensefalitis berlangsung lama, maka penyebuhan berjalan lambat. Sequele yang sering dijumpai adalah gangguan mental, emosi tidak stabil, perubahan kepribadian, dan paralysis motor neuron.prognosis menjadi lebih buruk jika demam berlangsung lama, terjadi gangguan jalan nafas, kejang berulang dan lama, terjadi albuminaria berat dan kadar protein cairan serebbrospunal meningkat. Angka kematian berkisar antara 20-58% akibat edema paru. Bila penderita mendapatkan perawatan yang sangat baik, penderita dapat sembuh sempurna terhadap sequele.

Diagnosis
Diagnosis JE ditegakkan atas dasar gejala-gejala klinis yang didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium yaitu :
1. Gejala-gejala Klinis
  • Panas tinggi dan terus menerus > 400C
  • Sakit kepala yang berat terutama di dahi atau diseluruh kepala.
  • Terdapat gangguan kesadaran samapi koma.
  • Kejang-kejang dengangerakan klonik dan pada anak dapat timbul kejang umum.
  • Terdapat gerakan-gerakan yang abnormal.
  • Kaku kuduk kerap dijumpai.
  • Tanda kernig positif
2. Pemeriksaaan Laboratorium
  • Lekositosis darah antara 10.000-35.000/mm dengan neutrofil 50-90%
  • Cairan serebiospinal menunjukkan pleositosis dan peningkatan kadar protein.
Diagnosis Pembanding
  • Meningitis Tuberkulosa.
  • Malaria serebral
  • Penyakit virus lainnya : rabies, poliomyelitis, campak, herpes, parotitis dan penyakit oleh arbovirus lainnya yang menimbulkan ensefalopati.
  • reye’s syndrome
  • Ensefalopati akibat keracunan.
Pengobatan
1. Perawatan yang baik banyak menurunan angka kematian
2. Obat-obatan diberikan sesuai dengan gejala yang timbul pad masing-masing stadium.
  • Anti Konvulsan : Diazepam 0,3 mg/kg berat badan intravena atau fenobarbital 10% intramaskuler dengan dosis 0,5 cc sampai 1 cc.
  • Antipiretika : diberikan per oral atau per rectal aspirin. Dapat dibantu dengan kompres dingin
  • Cairan Elektrolit, Infus dengan glukosa 5% dalam larutan garam faali
  • Suntkan IV glukosa hipertonis, mannitol atau dekstran untuk mencegah edema cerebral.
  • Oksigen : diberikan bila ada tanda-tanda hipoksia. Jalan nafas hendaknya selalau dibersihkan untuk mencegah pneumonia.
  • Antobiotik : untuk mencegah infeksi sekunder pada paru dan saluran kemih.
Rehabilitasi
Untuk mengembalikan fungsi otot-otot ygterganggu akibat terjadinya sequele neurologis perlu dilakukan rehabilitasi yang bisa dikerjakan di rumah penderita.

Pencegahan
Tindakan pencegahan dilakukan baik terhadap vektornya, sumber penularan (babi), manusia dan lingkungan hidup.
1. Terhadap vector (Nyamuk)
  • Insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa maupun larvanya.
  • Mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu atau repellent
2. Terhadap Sumber penularan (Babi)
  • vaksinasi babi muda
  • Kandang babi sebaiknya bebas nyamuk dengan disemprot insektisida atau diberi kawat kasa. Peternakan babi harus jauh dari pemukiman penduduk.
3. Terhadap Manusia
Vaksinasi merupakan tindakan yang sebaiknya dulakukan satu bulan sebelum masa penularan, dan ditujukan kapda orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk mendapatkan infeksi virus ini, misalnya karyawan peternakan babi. Vaksinasi tidak diberikan pada bayi berumur <>
  • Isolasi virus dengan inokulasi intrasereberal pada tikus atau biakanpada kultur sel.
  • Pemeriksan adanya antigen virus dengan FAT ( Fluorescent Antibody Tehnic) terhadap jaringan otak dan CFT (Complement Fixation Test)
  • Pemeriksaan antobodi terhadap virus JE, misalnya tes HI (Haemaglutination Inhibitions) atau tes neutralisasi pada tikus yang lebih spesifik dari pad tes HI.
  • Baca selengkapnya - Encephalitis (Radang Otak)

    APENDISITIS

    A. Pengertian
    Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001). Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)

    Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007). Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks ( Anonim, Apendisitis, 2007)

    B. Klasifikasi
    Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
    Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
    Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

    Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak berfungsi) yang melekat sepertiga jari.

    Letak apendiks.
    Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.

    Ukuran dan isi apendiks.
    Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin.


    Posisi apendiks.
    Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen. Pelvis minor.

    C. Etiologi
    Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. (Irga, 2007)

    D. Patofisiologi
    Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus.

    E. Manifestasi Klinik
    Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.
    Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok. (Anonim, Apendisitis, 2007)

    Pemeriksaan diagnostik
    Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
    Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus). Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.

    Pemeriksaan yang lain Lokalisasi.
    Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney.

    Test rektal.
    Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
    Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.
    Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal. Pemeriksaan radiologi Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.

    Penatalaksanaan
    Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
    Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Konsep Asuhan Keperawatan Sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi.
    Untuk melengkapi hal tersebut, maka perawat di dalam melakukan asuhan keperawatan harus menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

    Pengkajian
    Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
    Identitas penanggung Riwayat kesehatan sekarang.
    Keluhan utama Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.
    Sifat keluhan Nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas. Riwayat kesehatan masa lalu Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang Pemeriksaan fisik Keadaan umum Klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
    Berat badan Sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
    Sirkulasi : Klien mungkin takikardia. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal. Aktivitas/istirahat : Malaise. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.
    Nyeri/kenyamanan Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
    Keamanan Demam, biasanya rendah.
    Data psikologis Klien nampak gelisah.
    Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang.

    Diagnosa keperawatan
    1. Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah.
    2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh.
    3. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal.
    4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
    5. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun.
    6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan
    Intervensi keperawatan .
    Rencana tujuan dan intervensi disesuaikan dengan diagnosis dan prioritas masalah keperawatan.

    Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya rasa mual dan muntah, ditandai dengan : Kadang-kadang diare. Distensi abdomen. Tegang. Nafsu makan berkurang. Ada rasa mual dan muntah. Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan dengan kriteria : Klien tidak diare. Nafsu makan baik. Klien tidak mual dan muntah.
    Intervensi : Monitor tanda-tanda vital.
    Rasional : Merupakan indicator secara dini tentang hypovolemia.

    Monitor intake dan out put dan konsentrasi urine.
    Rasional : Menurunnya out put dan konsentrasi urine akan meningkatkan kepekaan/endapan sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan.

    Beri cairan sedikit demi sedikit tapi sering.
    Rasional : Untuk meminimalkan hilangnya cairan.
    Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, ditandai dengan : Suhu tubuh di atas normal. Frekuensi pernapasan meningkat. Distensi abdomen.

    Nyeri tekan daerah titik Mc. Burney Leuco > 10.000/mm3 Tujuan : Tidak akan terjadi infeksi dengan kriteria : Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif (tidak lagi panas, kemerahan).
    Intervensi : Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui prinsip-prinsip pencukuran.
    Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke dasar rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro organisme.

    Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.
    Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat lancar. Sedangkan klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga dapat mengakibatkan ruptura apendiks.

    Anjurkan klien mandi dengan sempurna.
    Rasional : Kulit yang bersih mempunyai arti yang besar terhadap timbulnya mikro organisme.
    HE tentang pentingnya kebersihan diri klien.
    Rasional : Dengan pemahaman klien, klien dapat bekerja sama dalam pelaksaan tindakan.

    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal, ditandai dengan : Pernapasan tachipnea. Sirkulasi tachicardia. Sakit di daerah epigastrum menjalar ke daerah Mc. Burney

    Gelisah. Klien mengeluh rasa sakit pada perut bagian kanan bawah.
    Tujuan : Rasa nyeri akan teratasi dengan kriteria : Pernapasan normal. Sirkulasi normal.
    Intervensi : Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
    Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya.

    Anjurkan pernapasan dalam.
    Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.

    Lakukan gate control.
    Rasional : Dengan gate control saraf yang berdiameter besar merangsang saraf yang berdiameter kecil sehingga rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hypothalamus.
    Beri analgetik.
    Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila sudah mengetahui gejala pasti).

    Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang. Gelisah. Wajah murung. Klien sering menanyakan tentang penyakitnya. Klien mengeluh rasa sakit. Klien mengeluh sulit tidur
    Tujuan : Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan pengobatannya.
    Intervensi : Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi.
    Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh.

    Menganjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi.
    Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan.
    Disukusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan penyembuhan latihan.
    Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses penyembuhan.

    Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah
    Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
    Intervensi : Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien
    Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi.

    Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal
    Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat suasana negatif dan mempengaruhi masukan.
    Timbang berat badan sesuai indikasi
    Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet.

    Beri makan sedikit tapi sering
    Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan.
    Anjurkan kebersihan oral sebelum makan
    Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan

    Tawarkan minum saat makan bila toleran.
    Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas.
    Konsul tetang kesukaan/ketidaksukaan pasien yang menyebabkan distres.
    Rasional : Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuk makan.

    Memberi makanan yang bervariasi
    Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien.
    Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan. Kuku nampak kotor
    Kulit kepala kotor Klien nampak kotor
    Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
    Intervensi : Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan potong kuku klien.
    Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan.

    Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.
    Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman

    Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri.
    Rasional : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene.

    Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.
    Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan

    Bimbing keluarga / istri klien memandikan
    Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan

    Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
    Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.

    Implementasi
    Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post apendektomi. Pada pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
    Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya Pada fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.

    Evaluasi.
    Untuk mengetahui pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien perlu dilakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut : Apakah klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh?. Apakah klien dapat terhidar dari bahaya infeksi?. Apakah rasa nyeri akan dapat teratasi?. Apakah klien sudah mendapat informasi tentang perawatan dan pengobatannya.

    Sumber :
    1.Doenges, Marylinn E. (2000), Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
    2.Henderson, M.A. (1992), Ilmu Bedah Perawat, Yayasan Mesentha Medica, Jakarta.
    3.Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. 4.Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
    Baca selengkapnya - APENDISITIS

    ENCEPHALITIS

    Radang otak biasanya berada diberbagai tempat. Radang otak ini bisa sembuh dengan tidak meninggalkan parut, tetapi kadang-kadang dapat menyebabkanpengkisutan. Radang ini menular ke tempat yang berada di dekatnya melalui aliran darah dengan gejala-gejala demam, muntah-muntah, letargi, neuralhia, lumpuh, dan sebagainya. Gejala ini tergantung pada sarang radang di dalam otak.

    Macam-macam Enchapalis :
    1.Acute disseminate Encephalitis
    2.Economo’s Encephalitis
    3.Equine Encephalitis
    4.Hemorrharic Encephalitis
    Encephalitis dmn jadi radang otak dengan bercak-bercak perdarahan dan eksudat perivaskular.
    5.Herpes Encephalitis
    Disebabkan oleh virus herpes yang ditandai oleh nekrosis hemorogik lobus temporal dan frontalis.
    6.HIV Encephalitis
    7.Japanese Encephalitis
    Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh orbo virus yang ditularkan oleh binatang melalui gigitan nyamuk dan menimbulkan ganguan pada susunan syaraf pusat yaitu pada otak, sum-sum tulang belakang dan selaput otak.
    8.La Crosse Encephalitis
    Disebabkan oleh virus La Crosse, ditularkan aedestriseriatus terutama pada anak-anak.
    9.Lead Encephalitis
    10.Post Infection Encephalitis
    11.Post Vaccinal Encephalitis
    12.St Lois Encephalitis
    Penyakit virus yang pertama kali di Illinois pada tahun 1932, biasanya ditularkan melalui nyamuk
    13.Letharagic Encephalitis
    Bentuk Encephalitis endemic yang ditandai dengan peningkatan kelesuan, apatis dan rasa nyantuk.
    14.Tickborre Encephalitis
    Bentuk Encephalitis epedimika yang biasanya disebarkan melalui gigitan sengkenit yang terinfeksi plavirus, kadang-kadang disertai dengan perubahan degeneratif pada orang lain.

    Encephalitis Acuta Pada Anak-Anak
    Penyakit ini –biasanya menyerang anak yang berumur antara 1-4 tahun , dengan gejala pusing, tidak enak badan dan demam. Kadang-kadang yang disertai dengan muntah-muntah dan kejang. Keadaan ini berlangsung kadang-kadang dampai 3 minggu. Sesudah itu demamnya hilang tetapi ia menjadi lumpuh. Biasanya angota gerak itu panjang sebelah dengan lengannya lebih panjang dari tungkainya.
    Pergerakannya sedikit saja dan tubuhnya tertinggal, reflek urat tinggi dankadang-kadang kelihatan kontraktur. Otot-otot lisut, perasaannya tidak tergangu. Kalu anak-anak itu berjalan, kelihatan ia menggerakkan lengan yang panjang itu tidak berketentuan. Anak-anak itu kelak sering mendapatkan penyakit sawam. Keadaan yang seperti ini kelihatan juga sesudah campak, scarlatina, pneumia, influenza, batuk rejan.

    Encephalitis Epidemica
    Pada zaman dahulu penyakit ini dinamakan Encephalitis lethargica. Hama penyakit ini belum diketahui, tetapi mungkin disebabkan melalui kelinci dan tikus. Virus ini mempunyai daya tahan yang sangat besar danterdapat dalam jaringan otak, liquor cerebrospinalis, dalam selaput rongga hidung dan tekak serta air ludah. Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia denganmelalui selaput hidung dan tekak.
    Penyakit dimulai dengan adanya demam, sakit pada sendi, sakit kepala. Pusing, mengigil. Setelah itu timbul tanda-tanda sakit otak, yang salah satunya adalah tagih tidur (letargi). Selain itu juga terjadi ptosis (kelopak mata atas jatuh ke bawah oleh sebab terlalu panjang), pergerakan biji mata terganggu dan nystagmus (matanya bergetar).
    Terkadang pikiran orang tersebut kacau dan gelisah.lama penyakit ini sampai berbulan-bulan dankadang-kadang bertambah parah yang disebabkan oleh pneumia atau keadaan badanya yang bertambah lemah, sehingga penyakit ini bisa menahun. Sesudah masa latergi maka terjadi masa parkinsonisme, dengan ciri-ciri pergerakan sedikit danlambat, badannya menyondong, hipersalivasi, penglihatan terganggu dan lain-lain.

    Encephalitis haemorrhagica acuta pada orang dewasa.
    Penyakit ini banyak dijumpai pada wabah influenza. Dengan tanda-tanda sakit kepala, pinsan, sewaktu demam tinggi serta bisa meninggal. Selain itu juga pikirannya kacau, buta sebelah, tetapi hanya beberapa hari/minggu, setelah itu keadaanya baik kembali.

    Japanese Encephalitis
    Yaitu penyakit akut ygdisebabkan oleh arbovirus yang ditularkan oleh binatang melalui gigitan nyamuk dan menimbulkan gangguan pada susunan syaraf pusat yaitu pada otak, sumsum tulang dan selaput otak.
    Penyebab penyakit ini adalah virus Japanese Encephalitis (Virus JE) yaitu flavirus yang termasuk arbovirus grup B sehingga tergolong dalam virus RNA yang mempunyai selubung (enveloped virus) berukuran 35-40 m dan dapat dibiakkan di dalam berbagai macam kultur jaringan misalnya embrio anak ayam, jaringan kelinci, tikus, manusia dan kera.



    Virus JE merupakan penyebab penyakit zoonosis yang terutama menginfeksi binatang akan tetapi dapat ditularkan pada manusia. Babi merupakan sumber utama penularan meskiupun kuda, sapi, kerbau, anjing dan burung mungkinjuga berperan dalam penularan JE manusia.

    Penyakit zoonosis yang sumber utamanya adalah babi, yang ditularkan dari babi dan dari babi ke manusia oleh nyamuk Culex Tritaeniorhynchus dan Culex Vishraei serta nyamuk Culex Gelidus, nyamuk tersebut berkembang biak di sawah-sawah dan kolam yang dangkal. Nyamuk ini sesudah menghisap darah binatang yang mengandung virus akan berkembang menjadi infektif dalam waktu 9-12 hari. Di Indonesia ketika spesies nyamuk tersebut yang senang menghisap darah manusia di sampingdarah babi. Penyakit ini teruama menyerang anak-anak usia sekolah terutama anak umur 2-5 tahun, meskipun orang dewasa juga dapat diserang.

    Penyebab
    Encephalitis disebabkan oleh virus berikut ini :
    1.virus arbo (arthropod-borne) yang mencakup virus equine dan west niie
    2.enterovirus yang mencakup ECHO, COMCACHIE A dan B serta poliovirus.
    3.Paramyxovirus (mumps)
    4.Herpes virus
    5.virus rabies

    Gejala
    1.Demam
    2.Muntah-muntah
    3.Enek
    4.Susah tidur
    5.heuralgia
    6.Lumpuh
    Gejala-gejala ini bergantung pada sarang radang di otak (lihat hal 280-285 dari a-d (a-c)) (Buku Ilmu Penyakit).
    Patologi
    Hasil bedah jenasah pada penderita yang menderita serangan akut menunjukkan terjadinya endema yang difus dan kongesti vaskuler dari selaput otak dan jaringan otak. Selain itu pada infeksi yang berat akan dijumpai pula petekia, pada selaput otak disertai dengan meningkatnya jumlah cairan serebrospinal meskipun warnanya tetap jernih.
    Perubahan yang khas pada JE adalah terjadinya degenerasi neuron terutama pada substansi nigra, thalamus, basal nucleus, serebelum dan korna anterior medulla spinalis serta korteks serebelum.
    Juga di serebelum akan dijumpai kerusakan sel-sel puekinye. Pada system retikula-endotel didapatkan hiperplasma dari sel-sel hati. Limpa dan sel linfa.

    Gambaran Klinik

    Masa Inkubasi
    Masa inkubasi sukar ditentukan, mungkin berlangsung antara 5-15 hari.

    Perjalanan Penyakit :
    Dibagi 3 stadium :
    ~Stadium prodromal
    ~Stadium ensefalitis akut
    ~Stadium akhir dengan sequelae

    1.Stadium Prodromal
    Yaitu waktu yang berlangsung sebelum timbulnya gejala-gejala akibat gangguan pada susunan saraf pusat. Penyakit yang timbul dengan mendadak ini selalu diawali dengan demam kemudian diikuti oleh sakit kepala yang berat, malaise dan kekakuan serta kerap kali disertai dengan mual-mual dan muntah. Stadium prodromal berlangsung antara 1 sampai 14 hari tetapi pad umumya kurang dari 6 hari
    2.Stadium ensefalitis akut
    Pada stadium ini telah tampak tanda-tanda yang spesifik penting :
    a.Tanda-tanda neurologis
    b.Panas tinggi terus menerus sampai lebih dari 400C
    c.Bradikardi yang relatif
    d.Wajah tampak datar, dull, seperti topeng

    3.Stadium akhir dengan sequelae
    Pada saat keradangan menghilang, suhu badan dan hematokrit menjadi normal, stadium ketiga ini dimulai.tanda-tanda neurologis dapat menetap atau membaik. Bila stadium ensefalitis berlangsung lama, maka penyebuhan berjalan lambat. Sequele yang sering dijumpai adalah gangguan mental, emosi tidak stabil, perubahan kepribadian, dan paralysis motor neuron.prognosis menjadi lebih buruk jika demam berlangsung lama, terjadi gangguan jalan nafas, kejang berulang dan lama, terjadi albuminaria berat dan kadar protein cairan serebbrospunal meningkat. Angka kematian berkisar antara 20-58% akibat edema paru. Bila penderita mendapatkan perawatan yang sangat baik, penderita dapat sembuh sempurna terhadap sequele.

    Diagnosis
    Diagnosis JE ditegakkan atas dasar gejala-gejala klinis yang didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium yaitu :
    1.Gejala-gejala Klinis
    a.Panas tinggi dan terus menerus > 400C
    b.Sakit kepala yang berat terutama di dahi atau diseluruh kepala.
    c.Terdapat gangguan kesadaran samapi koma.
    d.Kejang-kejang dengangerakan klonik dan pada anak dapat timbul kejang umum.
    e.Terdapat gerakan-gerakan yang abnormal.
    f.Kaku kuduk kerap dijumpai.
    g.Tanda kernig positif

    2.Pemeriksaaan Laboratorium
    a.Lekositosis darah antara 10.000-35.000/mm dengan neutrofil 50-90%
    b.Cairan serebiospinal menunjukkan pleositosis dan peningkatan kadar protein.

    Diagnosis Pembanding
    1.Meningitis Tuberkulosa.
    2.Malaria serebral
    3.Penyakit virus lainnya : rabies, poliomyelitis, campak, herpes, parotitis dan penyakit oleh arbovirus lainnya yang menimbulkan ensefalopati.
    4.reye’s syndrome
    5.Ensefalopati akibat keracunan.

    Pengobatan
    1.Perawatan yang baik banyak menurunan angka kematian
    2.Obat-obatan diberikan sesuai dengan gejala yang timbul pad masing-masing stadium.
    a.Anti Konvulsan : Diazepam 0,3 mg/kg berat badan intravena atau fenobarbital 10% intramaskuler dengan dosis 0,5 cc sampai 1 cc.
    b.Antipiretika : diberikan per oral atau per rectal aspirin. Dapat dibantu dengan kompres dingin
    c.Cairan Elektrolit
    Infus dengan glukosa 5% dalam larutan garam faali
    d.Suntkan IV glukosa hipertonis, mannitol atau dekstran untuk mencegah edema cerebral.
    e.Oksigen : diberikan bila ada tanda-tanda hipoksia. Jalan nafas hendaknya selalau dibersihkan untuk mencegah pneumonia.
    f.Antobiotik : untuk mencegah infeksi sekunder pada paru dan saluran kemih.

    3.Rehabilitasi
    Untuk mengembalikan fungsi otot-otot ygterganggu akibat terjadinya sequele neurologis perlu dilakukan rehabilitasi yang bisa dikerjakan di rumah penderita.

    Pencegahan
    Tindakan pencegahan dilakukan baik terhadap vektornya, sumber penularan (babi), manusia dan lingkungan hidup.
    1.Terhadap vector (Nyamuk)
    a.Insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa maupun larvanya.
    b.Mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu atau repellent
    2.Terhadap Sumber penularan (Babi)
    a.vaksinasi babi muda
    b.Kandang babi sebaiknya bebas nyamuk dengan disemprot insektisida atau diberi kawat kasa. Peternakan babi harus jauh dari pemukiman penduduk.

    3.Terhadap Manusia
    Vaksinasi merupakan tindakan yang sebaiknya dulakukan satu bulan sebelum masa penularan, dan ditujukan kapda orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk mendapatkan infeksi virus ini, misalnya karyawan peternakan babi. Vaksinasi tidak diberikan pada bayi berumur <>
    Baca selengkapnya - ENCEPHALITIS

    Ishialgia atau Sciatica













    Memang kata sciatica belum lazim ato umum digunakan di Indonesia. Di indonesia sakit nyeri di pangkal paha sering disebut Ishialgia.

    DEFINISI


    19503uv8 Kedua syaraf sciatic (n. Ischiadicus) adalah syaraf terbesar dan terpanjang pada tubuh. masing-masing hampir sebesar jari. Pada setiap sisi tubuh, syaraf sciatic menjalar dari tulang punggung bawah ,dibelakang persendian pinggul, turun ke bokong dan dibelakang lutut. Disana syaraf sciatic terbagi dalam beberapa cabang dan terus menuju kaki. Ketika syaraf sciatic terjepit, meradang, atau rusak, nyeri-sciatica-bisa menyebar sepanjang panjnag syaraf sciatic menuju kaki. Sciatica terjadi sekitar 5% pada orang Sciatica


    PENYEBAB

    Pada beberapa orang, tidak ada penyebab yang bisa dikenali. Sebaliknya, penyebab tersebut kemungkinan sebuah piringan yang hernia, proyeksi tidak teratur pada tulang, atau pembengkakan disebabkan persendian yang keseleo. Jarang, spinal tenosis, penyakit paget, kerusakan syaraf disebabkan diabetes (diabetic neuropathy), sebuah tumor, atau gumpalan darah menyebabkan sciatica. Beberapa orang tampak mudah terkena sciatica.


    GEJALA

    Sciatica biasanya mengenai hanya salah satu sisi. Yang bisa menyebabkan rasa seperti ditusuk jarum, sakit nagging, atau nyeri seperti ditembak. Kekakuan kemungkinan dirasakan pada kaki. Berjalan, berlari, menaiki tangga, dan meluruskan kaki memperburuk nyeri tersebut, yang diringankan dengan menekuk punggung atau duduk.


    PEMERIKSAAN


    Untuk mengetahui seorang pasien mengalami ishialgia ato tidak biasanya ahli fisioterapi memberikan beberapa tes salah satunya terapis mengagkat kaki yang mengalami nyeri jika nyeri dirasakan bertambah hebat pada sudut 60 – 70 derajat orang tersebut dikatakjan positif ischialgia. Tes ini disebut Straight Leg Rising. Dan masih ada tes tes yang lain bisa dikonsultasi dengan Kang Arjuno disini.



    PENGOBATAN

    Seringkali, nyeri tersebut hilang dengan sendirinya. Istirahat, tidur diatas kasur yang keras, menggunakan obat-obatan OTC anti peradangan nonsteroidal (NSAIDs), dan mengompres panas dan dingin kemungkinan pengobatan yang cukup. Untuk banyak orang, tidur pada sisi mereka dengan lutut ditekuk dan sebuah bantal diantara lutut menghadirkan keringanan. Meluruskan otot yang lumpuh secara pelan-pelan setelah pemanansan bisa membantu. Peran fisioterapi pada kasus ischialgia ini dapat membantu meringankan nyeri yang dirasakan. Modalitas yang digunakan bisa efektif dengan heating yakni SWD (short Wave Diathermi),bisa juga ditambah TENS untuk membantu memblokir nyerinya.


    From. Medicastore.com


    Fisioterapi oleh Kang Arjuno


    beda sciatica dan ischialgia, fisioterapi pada ischialgia, nervus ishiadicus, nyeri menjalar dari tulang punggung sampai kaki, pengertian ischialgia, pengobatan ischialgia, penyebab ischialgia, straight leg rising, tanda dan gejala ischialgia
    Baca selengkapnya - Ishialgia atau Sciatica

    Tinjauan Teoritis: Osteomielitis

    Osteomielitis

    Pengertian
    Osteomielitis adalah infeksi tulang, lebih sulitdi sembuhkan dari pada infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi , tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (Pembentukan tulang baru disekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas.
    Infeksi disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fukos infeksi di tempat lain ( misalnya : tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas ). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di tempat di mana terdapat trauma atau di mana terdapat resistensi rendah, kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
    Infeksi dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak (misalnya : ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang ( misalnya : fraktur terbuka, cedera traumatic seperti luka tembak, pembedahan tulang).
    Pasien yang beresiko tinggi mengalami Osteomielitis adalah mereka yang nutrisinya buruk, lansia, kegemukan, atau penderita diabetes mellitus. Selain itu, pasien yang menderita artitis rheumatoid, telah di rawat lama di rumah sakit, mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi sekarang, atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami nefrosis insisi margial atau dehidrasi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma pascaoperasi.

    Etiologi
    • Staphylococcus aureus 70% – 80 %
    • Proteus
    • Pseudomonas
    • Escerehia Coli
    Dilakukan kultur
    Awitan Osteomielitis :
    ü Setelah pembedahan ortopedi terjadi 3 bulan pertama (Akut Fulminan-Stadium 1)
    ü Antara 4-24 bulan setelah pembedahan (Awitan Lambat-Stadium 2)
    ü Penyebaran hematogen lebih dari 2 tahun setelah pembedahan (Awitan Lama-Stadium 3)

    Patofisiologi
    Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi : Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia Coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resistensi penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik.
    Awitan Osteomielitis stelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan – stadium 1) dan sering berhubngan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superficial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.
    Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis tulang sehubungan dengan penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan membentuk abses tulang.
    Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronis.

    Klasifikasi
    Osteomielitis dapat diklasifikasikan dua macam yaitu:
    • Osteomielitis Primer
    Penyebarannya secara hematogen dimana mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
    • Osteomielitis Sekunder (Osteomielitis Perkontinuitatum)
    Terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya akibat dari bisul, luka fraktur dan sebagainya.

    Tanda dan Gejala
    Gambaran klinis osteomielitis tergantung dari stadium patogenesis dari penyakit, dapat berkembang secara progresif atau cepat. Pada keadaan ini mungkin ditemukan adanya infeksi bacterial pada kulit dan saluran napas bagian atas. Gejala lain dapat berupa nyeri yang konstan pada daerah infeksi dan terdapat gangguan fungsi anggota gerak yang bersangkutan.

    Manifstasi Klinis
    Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awaitan mendadak, sering terjadi dengan manifetasi klinis septikema (misalnya : menggigil, demam tinggi, tachycardia dan malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi gejala local secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang, akan mengenai posterium, dan jaringan lunak, dengan bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul.
    Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah terinfeksi membengkak, hangat, nyeri, dan nyeri tekan.
    Pada pasein dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah terjadi pada jaringan parut akibat kurangnya asupan darah.

    Evaluasi Diagnostik
    Pada Osteomielitis akut ; pemeriksaan sinar-x hanya menunjukan pembengkakan jaringan lunak. Pada sekitar 2 minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nefrosis tulang, pengangkatan periosteum dan pembentukan tulang baru. Pemindaian tulang dan MRI dapat membantu diagnosis definitive awal. Pemeriksaan darah memperhatikan peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah. Kulur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis antibiotika yang sesuai.
    Pada Osteomielitis kronik, besar, kavitas ireguler, peningkatan periosteum, sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-x. Pemindaian tulang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi area terinfeksi. Laju sedimentasi dan jumlah sel darah putih biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi kronik. Abses ini dibiakkan untuk menentukan organisme infektif dan terapi antibiotic yang tepat.

    Pemeriksaan penunjang
    1. Pemeriksaan darah
      Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju endapan darah.
    2. Pemeriksaan titer antibodi – anti staphylococcus
      Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas.
    3. Pemeriksaan feses
      Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella.
    4. Pemeriksaan Biopsi tulang.
    5. Pemeriksaan ultra sound
      Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
    6. Pemeriksaan radiologis
      Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan radiologik, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difus.

    Prinsip penatalaksanaan
    Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah.
    Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi. Kultur darah, swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu pathogen.
    Begitu spesimen kultur diperoleh dimulai terapi antibiotika intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap peningkatan semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengontrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus-menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
    Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibioka, tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik dinagkat dan daerah itu diirigasi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Terapi antibiotika dilanjutkan.
    Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pangangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk menjalankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
    Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan grunulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpenghisap untuk mengontrol hematoma dan membuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dangan pemberian irigasi ini.
    Rongga yang didebridemen dapat diisi dangan grafit tulang kanselus untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah, perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, yang kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.

    Pencegahan
    Pencegahan Osteomielitis adalah sasaran utamanya. Penanganan infeksi fokal dapat menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan lunak dapat mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatikan terhadap lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden osteomielitis pascaoperasi.
    Antibioika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang memadai saat pembedahan dan Selma 24 sampai 48 jam setelah operasi akan sangat membantu. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptic akan menurunkan insiden infeksi superficial dan potensial terjadinya osteomielitis.
    Baca selengkapnya - Tinjauan Teoritis: Osteomielitis

    Askep Osteomielitis

    Osteomielitis


    Pengertian
    Osteomielitis adalah infeksi tulang, lebih sulitdi sembuhkan dari pada infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi , tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (Pembentukan tulang baru disekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas.
    Infeksi disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fukos infeksi di tempat lain ( misalnya : tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas ). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di tempat di mana terdapat trauma atau di mana terdapat resistensi rendah, kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
    Infeksi dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak (misalnya : ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang ( misalnya : fraktur terbuka, cedera traumatic seperti luka tembak, pembedahan tulang).
    Pasien yang beresiko tinggi mengalami Osteomielitis adalah mereka yang nutrisinya buruk, lansia, kegemukan, atau penderita diabetes mellitus. Selain itu, pasien yang menderita artitis rheumatoid, telah di rawat lama di rumah sakit, mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi sekarang, atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami nefrosis insisi margial atau dehidrasi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma pascaoperasi.

    Etiologi
    • Staphylococcus aureus 70% – 80 %
    • Proteus
    • Pseudomonas
    • Escerehia Coli
    Dilakukan kultur
    Awitan Osteomielitis :
    ü Setelah pembedahan ortopedi terjadi 3 bulan pertama (Akut Fulminan-Stadium 1)
    ü Antara 4-24 bulan setelah pembedahan (Awitan Lambat-Stadium 2)
    ü Penyebaran hematogen lebih dari 2 tahun setelah pembedahan (Awitan Lama-Stadium 3)

    Patofisiologi
    Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi : Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia Coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resistensi penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik.
    Awitan Osteomielitis stelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan – stadium 1) dan sering berhubngan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superficial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.
    Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis tulang sehubungan dengan penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan membentuk abses tulang.
    Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronis.

    Klasifikasi
    Osteomielitis dapat diklasifikasikan dua macam yaitu:
    • Osteomielitis Primer
    Penyebarannya secara hematogen dimana mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
    • Osteomielitis Sekunder (Osteomielitis Perkontinuitatum)
    Terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya akibat dari bisul, luka fraktur dan sebagainya.

    Tanda dan Gejala
    Gambaran klinis osteomielitis tergantung dari stadium patogenesis dari penyakit, dapat berkembang secara progresif atau cepat. Pada keadaan ini mungkin ditemukan adanya infeksi bacterial pada kulit dan saluran napas bagian atas. Gejala lain dapat berupa nyeri yang konstan pada daerah infeksi dan terdapat gangguan fungsi anggota gerak yang bersangkutan.

    Manifstasi Klinis
    Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awaitan mendadak, sering terjadi dengan manifetasi klinis septikema (misalnya : menggigil, demam tinggi, tachycardia dan malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi gejala local secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang, akan mengenai posterium, dan jaringan lunak, dengan bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul.
    Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah terinfeksi membengkak, hangat, nyeri, dan nyeri tekan.
    Pada pasein dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah terjadi pada jaringan parut akibat kurangnya asupan darah.

    Evaluasi Diagnostik
    Pada Osteomielitis akut ; pemeriksaan sinar-x hanya menunjukan pembengkakan jaringan lunak. Pada sekitar 2 minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nefrosis tulang, pengangkatan periosteum dan pembentukan tulang baru. Pemindaian tulang dan MRI dapat membantu diagnosis definitive awal. Pemeriksaan darah memperhatikan peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah. Kulur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis antibiotika yang sesuai.
    Pada Osteomielitis kronik, besar, kavitas ireguler, peningkatan periosteum, sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-x. Pemindaian tulang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi area terinfeksi. Laju sedimentasi dan jumlah sel darah putih biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi kronik. Abses ini dibiakkan untuk menentukan organisme infektif dan terapi antibiotic yang tepat.

    Pemeriksaan penunjang
    1. Pemeriksaan darah
      Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju endapan darah.
    2. Pemeriksaan titer antibodi – anti staphylococcus
      Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas.
    3. Pemeriksaan feses
      Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella.
    4. Pemeriksaan Biopsi tulang.
    5. Pemeriksaan ultra sound
      Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
    6. Pemeriksaan radiologis
      Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan radiologik, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difus.

    Prinsip penatalaksanaan
    Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah.
    Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi. Kultur darah, swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu pathogen.
    Begitu spesimen kultur diperoleh dimulai terapi antibiotika intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap peningkatan semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengontrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus-menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
    Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibioka, tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik dinagkat dan daerah itu diirigasi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Terapi antibiotika dilanjutkan.
    Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pangangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk menjalankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
    Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan grunulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpenghisap untuk mengontrol hematoma dan membuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dangan pemberian irigasi ini.
    Rongga yang didebridemen dapat diisi dangan grafit tulang kanselus untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah, perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, yang kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.

    Pencegahan
    Pencegahan Osteomielitis adalah sasaran utamanya. Penanganan infeksi fokal dapat menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan lunak dapat mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatikan terhadap lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden osteomielitis pascaoperasi.
    Antibioika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang memadai saat pembedahan dan Selma 24 sampai 48 jam setelah operasi akan sangat membantu. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptic akan menurunkan insiden infeksi superficial dan potensial terjadinya osteomielitis.



    Hasil Pencarian Untuk Asuhan Keperawatan Askep Osteomielitis
    Tag: search result for asuhan keperawatan askep Osteomielitis
    Tag: search result for asuhan keperawatan askep Osteomielitis
    Tag: search result for asuhan keperawatan askep Osteomielitis
    Tag: search result for asuhan keperawatan askep Osteomielitis
    Tag: search result for asuhan keperawatan askep Osteomielitis
    Baca selengkapnya - Askep Osteomielitis

    ASKEP DENGAN FRAKTUR HUMERUS

    A. KONSEP DASAR

    1. Pengertian

    a Fraktur

    Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.

    b Patah Tulang Tertutup

    Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

    c Patah Tulang Humerus

    Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :

    1) Fraktur Suprakondilar Humerus

    2) Fraktur Interkondiler Humerus

    3) Fraktur Batang Humerus

    4) Fraktur Kolum Humerus

    Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :

    1) Tipe Ekstensi

    Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.

    2) Tipe Fleksi

    Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.

    (Mansjoer, Arif, et al, 2000)

    d Platting

    Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.

    Keuntungan :

    1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.

    2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.

    3) Klien tidak akan tirah baring lama.

    4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.

    Kerugian :

    1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.

    2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.

    3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.

    2. Anatomi Dan Fisiologi

    a Struktur Tulang

    Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).

    Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).

    b Tulang Panjang

    Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)

    c Tulang Humerus

    Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.

    1) Kaput

    Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.

    2) Korpus

    Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.

    3) Ujung Bawah

    Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)

    d Fungsi Tulang

    1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.

    2) Tempat mlekatnya otot.

    3) Melindungi organ penting.

    4) Tempat pembuatan sel darah.

    5) Tempat penyimpanan garam mineral.

    (Ignatavicius, Donna D, 1993)

    3. Etiologi

    1) Kekerasan langsung

    Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

    2) Kekerasan tidak langsung

    Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

    3) Kekerasan akibat tarikan otot

    Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.

    Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

    (Oswari E, 1993)

    4. Patofisiologi

    Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)

    a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur

    1) Faktor Ekstrinsik

    Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

    2) Faktor Intrinsik

    Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

    ( Ignatavicius, Donna D, 1995 )

    b. Biologi penyembuhan tulang

    Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:

    1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma

    Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.

    2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler

    Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

    3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus

    Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada

    permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

    4) Stadium Empat-Konsolidasi

    Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

    5) Stadium Lima-Remodelling

    Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

    (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)

    c. Komplikasi fraktur

    1) Komplikasi Awal

    a) Kerusakan Arteri

    Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

    b) Kompartement Syndrom

    Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.

    c) Fat Embolism Syndrom

    Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.

    d) Infeksi

    System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

    e) Avaskuler Nekrosis

    Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

    f) Shock

    Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

    2) Komplikasi Dalam Waktu Lama

    a) Delayed Union

    Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.

    b) Nonunion

    Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

    c) Malunion

    Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

    (Black, J.M, et al, 1993)

    5. Klasifikasi Fraktur

    Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

    a. Berdasarkan sifat fraktur.

    1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

    2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

    b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

    1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.

    2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:

    a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)

    b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

    c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

    c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.

    1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

    2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.

    3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.

    4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.

    5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

    d. Berdasarkan jumlah garis patah.

    1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

    2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

    3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

    e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

    1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.

    2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:

    a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).

    b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

    c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

    f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

    g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

    Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

    a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.

    b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

    c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.

    d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.

    (Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

    6. Dampak Masalah

    Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.

    a Terhadap Klien

    1) Bio

    Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi

    2) Psiko

    Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.

    3) Sosio

    Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.

    4) Spiritual

    Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.

    b Terhadap Keluarga

    Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.

    Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.

    B. ASUHAN KEPERAWATAN

    Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

    1. Pengkajian

    Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

    a. Pengumpulan Data

    1) Anamnesa

    a) Identitas Klien

    Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

    b) Keluhan Utama

    Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

    (1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

    (2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

    (3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

    (4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

    (5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

    (Ignatavicius, Donna D, 1995)

    c) Riwayat Penyakit Sekarang

    Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    d) Riwayat Penyakit Dahulu

    Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    e) Riwayat Penyakit Keluarga

    Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    f) Riwayat Psikososial

    Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

    (1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

    Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).

    (2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

    Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

    (3) Pola Eliminasi

    Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)

    (4) Pola Tidur dan Istirahat

    Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).

    (5) Pola Aktivitas

    Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    (6) Pola Hubungan dan Peran

    Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    (7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

    Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    (8) Pola Sensori dan Kognitif

    Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    (9) Pola Reproduksi Seksual

    Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    10) Pola Penanggulangan Stress

    Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

    Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).

    2) Pemeriksaan Fisik

    Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

    a) Gambaran Umum

    Perlu menyebutkan:

    (1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

    (a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.

    (b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.

    (c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

    (2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

    (a) Sistem Integumen

    Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

    (b) Kepala

    Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

    (c) Leher

    Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

    (d) Muka

    Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

    (e) Mata

    Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)

    (f) Telinga

    Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

    (g) Hidung

    Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

    (h) Mulut dan Faring

    Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

    (i) Thoraks

    Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

    (j) Paru

    (1) Inspeksi

    Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

    (2) Palpasi

    Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

    (3) Perkusi

    Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

    (4) Auskultasi

    Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

    (k) Jantung

    (1) Inspeksi

    Tidak tampak iktus jantung.

    (2) Palpasi

    Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

    (3) Auskultasi

    Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

    (l) Abdomen

    (1) Inspeksi

    Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

    (2) Palpasi

    Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

    (3) Perkusi

    Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

    (4) Auskultasi

    Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

    (m) Inguinal-Genetalia-Anus

    Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

    b) Keadaan Lokal

    Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

    (1) Look (inspeksi)

    Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

    (a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).

    (b) Cape au lait spot (birth mark).

    (c) Fistulae.

    (d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.

    (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).

    (f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

    (g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

    (2) Feel (palpasi)

    Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.

    Yang perlu dicatat adalah:

    (a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.

    (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.

    (c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).

    Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

    (3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)

    Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

    (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

    3) Pemeriksaan Diagnostik

    a) Pemeriksaan Radiologi

    Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:

    (1) Bayangan jaringan lunak.

    (2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.

    (3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

    (4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

    Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:

    (1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

    (2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.

    (3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.

    (4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

    b) Pemeriksaan Laboratorium

    (1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

    (2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

    (3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

    c) Pemeriksaan lain-lain

    (1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

    (2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

    (3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.

    (4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.

    (5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.

    (6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

    (Ignatavicius, Donna D, 1995)

    b. Analisa Data

    Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.

    2. Diagnosa Keperawatan

    Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.

    3. Perencanaan

    4. Pelaksanaan

    5. Evaluasi

    DAFTAR PUSTAKA

    Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.

    Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

    Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

    Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.

    Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.

    Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.

    Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.

    Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.

    Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.

    Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.

    Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.

    Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

    Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.

    Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.

    Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.

    Baca selengkapnya - ASKEP DENGAN FRAKTUR HUMERUS

    KOTAK PENCARIAN:

    ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN:

    =====
    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...