askep pneumothorax

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PNEUMOTHORAKS

Konsep Dasar
Pengertian
Pneumotoraks adalah adanya udara di dalam rongga pleural antara pleura parietal dan viseral.
Klasifikasi
Berdasarkan terjadinya yaitu artificial, traumatic dan spontan.
Berdasarkan lokasinya, yaitu Pneumotoraks parietalis, mediastinalis dan basalis
Berdasarkan derajat kolaps, yaitu Pneumotoraks totalis dan partialis.
Berdasarkan jenis fistel.
Pneumotoraks terbuka. Pneumotoraks dimana ada hubungan terbuka antara rongga pleura dan bronchus yang merupakan dunia luar. Dalam keadaan ini tekanan intra pleura sama dengan tekanan barometer (luar). Tekanan intra pleura disekitar nol (0) sesuai dengan gerakan pernapasan. Pada waktu inspirasi tekanannya negatif dan pada waktu ekspirasi positif (+ 2 ekspirasi dan - 2 inspirasi).
Pneumotoraks tertutup. Rongga pleura tertutup tidak ada hubungan dengan dunia luar. Udara yang dulunya ada di rongga pleura kemungkinan positif oleh karena diresorbsi dan tidak adanya hubungan lagi dengan dunia luar, maka tekanan udara di rongga pleura menjadi negatif. Tetapi paru belum mau berkembang penuh. Sehingga masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya sudah negatif (- 4 ekspirasi dan - 12 inspirasi).
Pneumotoraks ventil. Merupakan pneumotoraks yang mempunyai tekanan positif berhubung adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Udara melalui bronchus terus ke percabangannya dan menuju ke arah pleura yang terbuka. Pada waktu inspirasi udara masuk ke rongga pleura dimana pada permulaan masih negatif. Pada waktu ekspirasi udara didalam rongga pleura yang masuk itu tidak mau keluar melalui lubang yang terbuka tadi bahkan udara ekspirasi yang mestinya dihembuskan keluar dapat masuk ke dalam rongga pleura, apabila ada obstruksi di bronchus bagian proksimal dari fistel tersebut. Sehingga tekanan pleura makin lama makin meningkat sehubungan dengan berulangnya pernapasan. Udara masuk rongga pleura pada waktu ekspirasi oleh karena udara ekspirasi mempunyai tekanan lebih tinggi dari rongga pleura, lebih-lebih kalau penderita batuk-batuk, tekanan udara di bronchus lebih kuat lagi dari ekspirasi biasa.
Etiologi dan patofisiologi
Normal tekanan negatif pada ruang pleura adalah -10 s/d -12 mmHg. Fungsinya membantu pengembangan paru selama ventilasi. Pada waktu inspirasi tekanan intra pleura lebih negatif daripada tekanan intra bronchial, maka paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks sehingga udara dari luar dimana tekanannya nol (0) akan masuk bronchus sampai ke alveoli.
Pada waktu ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intra pleura akan lebih tinggi dari tekanan di alveolus ataupun di bronchus sehingga udara ditekan keluar melalui bronchus.
Tekanan intra bronchial meningkat apabila ada tahanan jalan napas. Tekanan intra bronchial akan lebih meningkat lagi pada waktu batuk,bersin, atau mengejan, pada keadaan ini glottis tertutup. Apabila di bagian perifer dari bronchus atau alveolus ada bagian yang lemah maka akan pecah atau terobek..
Pneumotoraks terjadi disebabkan adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan bronchus.
Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang kemudian membentuk suatu bula di dekat suatu daerah proses non spesifik atau granulomatous fibrosis adalah salah satu sebab yang sering terjadi pneumotoraks, dimana bula tersebut berhubungan dengan adanya obstruksi emfisema.
Penyebab tersering adalah valve mekanisme di distal dari bronchial yang ada keradangan atau jaringan parut. Secara singkat penyebab terjadinya pneumotorak menurut pendapat “MACKLIN“ adalah sebagai berikut :
Alveoli disanggah oleh kapiler yang lemah dan mudah robek, udara masuk ke arah jaringan peribronchovaskuler apabila alveoli itu menjadi lebar dan tekanan didalam alveoli meningkat. Apabila gerakan napas yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronchial merupakan fakltor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan.
Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyakan jaringan fibrosis di peribronchovaskuler kearah hilus, masuk mediastinum dan menyebabkan pneumotoraks atau pneumomediastinum.
Gejala klinis
Keluhan : timbulnya mendadak, biasanya setelah mengangkat barang berat, habis batuk keras, kencing yang mengejan, penderita menjadi sesak yang makin lama makin berat.
Keluhan utama : sesak, napas berat, bias disertai batuk-batuk. Nyeri dada dirasakan pada sisi sakit, terasanya berat (kemeng), terasa tertekan, terasa lebih nyeri pada gerakan respirasi. Sesak ringsn sampai berat, napas tertinggal, senggal pendek-pendek. Tanpa atau dengan cyanosis. Tampak sakit ringan sampai berat, lemah sampai shock, berkeringat dingin.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung dari keadaan pneumotoraksnya :
Tertutup dan terbuka biasanya tidak berat, ventil ringan tekanan positif tinggi biasanya berat dan selain itu tergantung juga keadaan paru yang lain dan ada atau tidaknya obstruksi jalan napas.
Komplikasi
Atelektasis, ARDs, infeksi, edema pulmonary, emboli paru, efusi pleura, empyema, emfisema, penebalan pleura.
Pemeriksaan diagnostic
X Foto dada :
Pada foto dada PA terlihat pinggir paru yang kolaps berupa garis.
Mediastinal shift dapat dilihat pada foto PA atau fluoroskopi pada saat penderita inspirasi atau ekspirasi.
Penatalaksanaan
Pada ICS 5 atau 6 dilakukan pemasangan WSD dengan memakai trokar.
WSD dilepas bila paru sudah mengembang dengan baik, tidak ada komplikasi dan setelah selang plastic atau diklem 24 jam untuk membuktikan bahwa pneumothoraks sudah sembuh.
Bila penderita sesak dapat diberikan oksigen konsentrasi tinggi.
Untuk megnobati nyeri dapat diberikan analgetika seperti Antalgin 3 X 1 tablet atau analgetik kuat.
Fisioterapi dapat diberikan karena dapat mencegah retensi sputum.
Apabila pengembangan paru agak lambat, bias dilakukan penghisapan dengan tekanan 25-50 cm air.
Pada pneumothoraks berulang dapat dilakukan perlekatan kedua pleura dengan memakai bahan yang dapat menimbulkan iritasi atau bahan sclerosing agent.
Asuhan Keperawatan
Pengkajian keperawatan
Riwayat keperawatan
Klien terdapat penyakit paru, bila ditemukan adanya iritan pada paru yang meningkat maka mungkin terdapat riwayat merokok. Penyakit yang sering ditemukan adalah pneumotoraks, hemotoraks, pleural effusion atau empiema. Klien bisa juga ditemukan adanya riwayat trauma dada yang mendadak yang memerlukan tindakan pembedahan.
Pemeriksaan
Adanya respirasi ireguler, takhipnea, pergeseran mediastinum, ekspansi dada asimetris. Adanya ronchi atau rales, suara nafas yang menurun, perkursi dada redup menunjukan adanya pleural effusion, sering ditemui sianosis perifer atau sentral, takikardia, hipotensi,dan nyeri dada pleural.
Faktor perkembangan/psikososial
Klien mengalami kecemasan, ketakutan terhadap nyeri, prosedur atau kematian, karena penyakit atau tindakan. Persepsi dan pengalaman lampau klien terhadap tindakan ini atau hospitalisasi akan mempengaruhi keadan psikososial klien.
Pengetahuan klien dan keluarga
Pengkajian diarahkan pada pengertian klien tentang tindakan WSD, tanda atau gejala yang menimbulkan kondisi ini, tingkat pengetahuan, kesiapan dan kemauan untuk belajar.
Diagnosa dan Perencanaan Keperawatan
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kekolapsan paru, pergeseran mediastinum.
Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD
Defisit volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan dalam waktu cepat
Gangguan mobilitas fisik berhubngan dengan ketidak nyamanan sekunder akibat pemasangan WSD.
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi terhadap prosedur tindakan WSD.
Baca selengkapnya - askep pneumothorax

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu menyusui dalam memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini di Desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan penerus cita – cita bangsa, maka anak harus mendapatkan perhatian khusus. Menurut penelitian WHO di seluruh dunia kematian bayi khususnya neonatal sebesar 10.000 jiwa per tahun. (Manuaba 1998 : 3). Di Indonesia AKI dan AKB masih tinggi yaitu 334 per 100.000 kelahiran hidup dan 21,8 per 1.000 kehaliran hidup. (Saifuddin 2002).
Di Desa Labuhan Ratu I angka kesakitan bayi dan menurut survey yang dilakukan terhadap 15 anak yang menderita diare + 3 – 4 kali dalam setahun, dan yang mengalami obesitas atau kelebihan berat badan terdapat 13 bayi dari 50 anak yang diberikan makanan pendamping ASI terlalu d ini.
Upaya untuk mewujudkan penurunan angka kematian bayi, kesakitan bayi dan anak dimulai dengan peran ibu dalam menyusui. Rekomendasi WHO / UNICEF pada pertemuan tahun 1979 di Genewa tentang makanan bayi dan anak yang berisikan : menyusukan merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Memberikan susu formula sebagai makanan tambahan dengan dalih apapun pada bayi baru lahir harus dihindarkan (Sarwono, 1994 : 264).
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan baik untuk bayi, tidak ada satupun makanan lain yang dapat menggantikan ASI, karena ASI mempunyai kelebihan yang meliputi 3 aspek yaitu : aspek gizi, aspek kekebalan, dan aspek kejiwaan, berupa jalinan kasih sayang yang penting untuk perkembangan mental dan kecerdasan anak. Pada usia 0 – 4 bulan bayi cukup diberi ASI saja (pemberian ASI ekslusif) karena produksi ASI pada periode tersebut sudah mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang yang sehat. (Departemen Kesehatan, 1995 : 23)
Pemberian makanan selain ASI pada umur 0 – 4 bulan dapat membahayakan bayi, karena bayi belum mampu memproduksi enzim untuk mencerna makanan selain ASI. Apabila pada periode ini bayi dipaksa menerima makanan selain ASI, akan timbul gangguan kesehatan pada bayi seperti diare, alergi dan bahaya lain yang fatal. Tanda bahwa ASI ekslusif memenuhi kebutuhan bayi antara lain : bayi tidak rewel, dan tumbuh sesuai dengan grafik pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Agar pemberian ASI ekslusif dapat berhasil, selain tidak memberikan makanan lain, perlu diperhatikan cara menyusui yang baik dan benar : tidak dijadwal, diberikan sesering mungkin. Kegagalan pemberian ASI eksklusif akan menyebabkan berkurangnya jumlah sel otot bayi sebanyak 15 – 20% sehingga menghambat perkembangan kecerdasan bayi pada tahap selanjutnya. Air Susu Ibu (ASI) mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dan menjadi sehat sampai ia umur 4 bulan. (Dep Kes RI, 1995 : 24).
Setelah bayi berumur 4 bulan, ASI saja tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan gizi bayi. Oleh karenanya, setelah lewat umur 4 bulan, bayi perlu mendapat makanan tambahan atau Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) diberikan kepada bayi secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan umur, pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya (Departemen Kesehatan RI, 1996 : 7).
Melihat begitu unggulnya ASI ekslusif, maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataan penggunaan ASI ekslusif belum seperti yang kita harapkan. Penggunaan ASI yang dianjurkan adalah sampai umur 4 – 6 bulan, bayi hanya diberi ASI, kemudian pembuatan ASI diteruskan sampai umur 2 tahun bersama dengan makan tambahan. Kenyataan di Indonesia yang dilaporkan oleh demographic dan Healt Survey WHO tahun 1986 – 1989 walaupun prosentase bayi yang mendapat ASI cukup tinggi (96%) namun pemberian ASI secara ekslusif selama 4 – 6 bulan hanyalah 36%. Hal ini kebiasaan buruk dimiliki oleh masyarakat yaitu memberikan makanan selain ASI saja tanpa diselingi makanan lain sampai usia 0 – 4 bulan tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bayi. (Rulina, 1992 : 211).
Hasil pra survey di desa Labuhan Ratu I penggunaan ASI secara ekslusif belum banyak diketahui oleh masyarakat, dimana dari 50 ibu yang sedang menyusui 37 orang telah memberikan makanan pendamping ASI sejak bayi berusia kurang dari 4 bulan. Jadi ibu yang menyusui telah memberikan makanan pendamping ASI sebelum waktunya. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan masyarakat yaitu apabila bayi hanya diberi ASI saja maka bayi akan kurus dan rewel.
Dari uraian pada latar belakang penulis ingin mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi diberikannya makanan pendamping ASI terlalu dini di Desa Labuhan Ratu I bulan Mei – Juni 2004.

B. Perumusan Masalah
Dari data yang ada dilatar belakang penulis dapat merumuskan masalah yang ada di Desa Labuhan Ratu I yaitu : “Faktor – faktor apakah yang mempengaruhi ibu menyusui dalam memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini ?”.

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu menyusui dalam memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini di Desa
Baca selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu menyusui dalam memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini di Desa

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ib hamil di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Visi Indonesia Sehat 2010 adalah ditetapkannya misi pembangunan kesehatan yang salah satunya adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, dengan sasaran meningkatkan jumlah penduduk mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang sehingga untuk meningkatkan percepatan perbaikan derajat kesehatan masyarakat dengan salah satu program unggulannya yaitu program perbaikan gizi (Dep.Kes RI,1993).
Sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia saat ini dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi pada ibu hamil berdampak pada kemungkinan resiko tinggi untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), meningkatnya kemungkinan pre eklamsi, perdarahan antepartum, dan komplikasi obstetrik lainnya selain meningkatnya angka kematian ibu, angka kematian perinatal, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup (Dep.Kes. RI, 2004).
Angka kematian ibu maternal berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, waktu melahirkan dan masa nifas. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003. Angka kematian ibu sebesar 307 (0,307%) per 100.000 kelahiran hidup. Provinsi Lampung terdapat sebanyak 145 (0,88%) kasus dari 165.347 kelahiran hidup. Jumlah AKI di Kota Metro pada tahun 2005 ini ada sebanyak 2 (0,072%) kasus per 2.801 kelahiran hidup. Kota Metro sebagai wilayah dengan kasus terkecil AKI tetap saja mengalami peningkatan kejadian dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2005).
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada periode 2002-2003, tingkat kematian perinatal adalah 24 per 1000 kelahiran (Kodim, 2007). Salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal adalah Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari 2500 gram). BBLR dibedakan dalam 2 kategori yaitu : BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau BBLR karena Intrauterine Growth Retardasion (IUGR), yaitu bayi lahir cukup bulan tapi berat badannya kurang. Terdapat BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria, dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada saat hamil di negara berkembang (Dep.Kes. RI, 2003).
Hasil survey Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) pada tahun 2003 menunjukkan sebesar 16,7% Wanita Usia Subur (WUS) di Indonesia memiliki risiko Kurang Engergi Kronik (KEK). Provinsi Lampung tercatat sebesar 14,43% WUS yang mempunyai resiko KEK (Dep.Kes. RI, 2003).
Menurut data para survei yang penulis peroleh pada tanggal 28 Maret 2007 di Puskesmas Banjar Sari Kecamatan Metro Utara Kota Metro didapatkan data ibu hamil dengan status gizi kurang yaitu periode Januari – Maret 2007 memiliki jumlah ibu hamil dengan resiko tinggi sebanyak 8 (2,73%), risiko KEK sebanyak 4 (1,37%) orang dari 293 ibu hamil (Laporan Puskesmas Banjarsari, 2007). Jumlah bayi yang lahir dengan BBLR di Kota Metro sebesar 68 (2,43%) bayi dari 2.801 kelahiran hidup. Khusus untuk Puskesmas Banjarsari sebanyak 15 (3,49%) bayi dari 499 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kota Metro, 2005).
Melihat dari data KEK tersebut bahwa resiko kehamilan meningkat pada ibu hamil yang KEK sehingga dapat mempengaruhi hasil dari kehamilan tersebut (Moore, 1991).
Kehamilan merupakan masa penyesuaian tubuh terhadap perubahan fungsi tubuh yang menyebabkan peningkatan kebutuhan akan nutrisi. Terdapat berbagai laporan penelitian yang menunjukkan adanya kaitan erat antara status gizi ibu hamil dan anaknya yang dikandung yaitu bahwa status gizi ibu hamil mempengaruhi tumbuh kembang janin yang dikandung. Makanan ibu sangat penting diperhatikan agar kebutuhan nutrisi ibu dan anak dapat terpenuhi secara optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil dapat dilihat dari Indeks Quetelet (Indeks Q), asupan gizi, dan komplikasi atau penyakit yang menyertai ibu selama kehamilan (Samsudin, 1986).
Indikator pemenuhan gizi ibu hamil dapat diukur dengan Indeks Quetelet (Indeks Q). Indeks Q menekankan pada keseimbangan berat badan dalam kilogram dibagi dengan dua kali tinggi badan dalam meter. Kenaikan berat badan adalah salah satu indeks yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk menentukan status gizi wanita hamil (Rose-Neil, 1991).
Asupan gizi sangat menentukan kesehatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Makanan yang dikonsumsi terdiri dari susunan menu seimbang, yaitu yang lengkap dan sesuai kebutuhan. Asupan makanan ibu hamil meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan sehingga dapat mempengaruhi pola kenaikan berat bdan ibu selama kehamilan (Huliana, 2001).
Seorang wanita yang mengidap penyakit bawaan atau penyakit tertentu yang cukup serius harus waspada dan berhati-hati dalam menghadapi kehamilan. Umumnya kehamilan dapat berjalan lancar dengan perawatan dan pengobatan yang teratur (Huliana, 2001).
Melihat uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian sederhana mengenai “gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil di Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Kota Metro Tahun 2007”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil di Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Kota Metro?”

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ib hamil di puskesmas
Baca selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ib hamil di puskesmas

Gambaran faktor-faktor wanita pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk menanggulangi masalah pertumbuhan penduduk. Gerakan nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melambangkan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya Indonesia. Hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukkan keluarga kecil, dalam rangka pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) langkah besar yang perlu dibangun selanjutnya adalah pembangunan keluarga kecil sejahtera (Wiknjosastro, 2002).
Tujuan gerakan KB Nasional adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran KB Nasional ialah: 1) Pasangan usia subur dengan prioritas PUS Muda dengan prioritas rendah, 2) Generasi muda dan purna PUS, 3) Pelaksanaan dan pengelola KB dan 4) Sasaran wilayah (Wiknjosastro, 2002).
Gerakan keluarga berencana Indonesia telah menjadi contoh bagaimana negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia dapat mengendalikan dan menerima gerakan keluarga berencana sebagai salah satu bentuk pembangunan keluarga yang lebih dapat dikendalikan untuk mencapai kesejahteraan. (Manuaba, 1999). Dalam mencapai sasaran NKKBS itu pernah dicanangkan konsep pancawarga artinya keluarga terdiri dari tiga anak sedangkan pengertian tersebut makin berkembang menjadi konsep catur warga yaitu hanya dua anak saja (Manuaba, 1999).
Pada umumnya pemerintah di negara-negara sedang berkembang paling banyak menggunakan metode kontrasepsi yang pemakainya perempuan. Distribusinya adalah pemakai pil 17,1 %, injeksi 15,2 %, IUD 10,3 %, Norplant 4,6 %, Tubaktomi 3,1 %, Vasektomi 0,7 % dan Kondom 0,9 % (Juliantoro, 1999). Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 2003 – 2006 peserta program keluarga berencana (KB) Indonesia hanya meningkat 0,5 % pertahun. Saat ini peserta KB hanya 62,5 % dari 45 juta PUS atau sekitar 28 juta PUS yang menjadi peserta KB aktif (http://www.pd persi.co.id).
Permasalahan pembangunan kependudukan dan keluarga berkualitas adalah masih tingginya laju pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk, masih tingginya tingkat kelahiran penduduk, hal ini ditandai dengan tingginya angka kelahiran Total Fertility Rate (TFR) pada tahun 2006 sebesar 2,78 rata – rata kelahiran pasangan usia subur dan diharapkan pada tahun 2010 sebesar 2,38 rata – rata kelahiran pasangan usia subur (http://serdangbedagaikab.go.id) .
Program KB memiliki dampak positif dalam membantu penurunan angka kematian ibu, epidemi HIV/AIDS, meningkatkan mutu gender, dan mempromosikan pendayagunaan kaum muda. Akses yang lebih baik untuk metode kontrasepsi yang aman dan terjangkau akan Mempercepat Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGS). Oleh karena itu sejak 2005 masalah kesehatan reproduksi dimasukkan menjadi salah satu indikator pencapaian MDGS. Jika tiap keluarga punya anak dua atau tiga, berarti program KB sudah berhasil (http://www.medianasional.com). Adapun penggunaan kontrasepsi tubektomi atau vasektomi dipandang sebagai upaya meghentikan kehamilan secara permanen, jadi sama dengan pengebirian, ini yang tidak boleh di lakukan karena bisa memutus keturunan (http://www.gaulislam.com).
Rendahnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), implant, Metode Operasional Wanita (MOW)/Tubektomi dan Metode Operasional Pria (MOP)/Vasektomi dikarenakan kurangnya pengetahuan serta kesadaran pasangan usia subur untuk menggunakan metode kontrasepsi ini, lemahnya ekonomi juga mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap pemakaian metode kontrasepsi tubektomi. (Bappenas.go.id)
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan dalam menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita takut siklus menstruasi normalnya berubah, karena mereka takut perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan juga dapat membatasi aktifitas keagamaan maupun budaya. Dinamika seksual dan kekuasaan antara pria dan wanita dapat menyebabkan penggunaan kontrasepsi terasa canggung bagi wanita. Dukungan suami mengenai keluarga berencana cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode keluarga berencana oleh istri. Berbagai budaya mendukung kepercayaan bahwa pria mempunyai hak akan fertilitas istri mereka, seperti di Papua Nugini dan Nigeria wanita tidak dapat memiliki kontrasepsi tanpa persetujuan suami (Klobinsky, 1997).
Berdasarkan hasil pra survei tanggal 24 Maret 2008 di Kota Metro pasangan usia suburnya berjumlah 25.136 orang dengan jumlah peserta KB aktifnya 18.585 (73, 93%), dan untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran faktor-faktor wanita pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi di kelurahan
Baca selengkapnya - Gambaran faktor-faktor wanita pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi di kelurahan

Gambaran pengetahuan ibu menyusui tentang manajemen laktasi pada periode post natal di Rumah sakit ibu dan anak

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu kekaguman kita tentang Cinta Tuhan kepada umat-Nya dapat kita lihat ketika ibu mulai menyusui bayinya dengan ASI (Air Susu Ibu). Proses ini merupakan mukjizat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan seoptimal mungkin. ASI dikatakan mukjizat, hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa tidak ada makanan di dunia ini yang sesempurna ASI. ASI adalah salah satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologis, sosial maupun spiritual. (Hubertin, 2003)
Menyusui merupakan suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat sehingga pengetahuan lama yang mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan. Menyusui adalah suatu pengetahuan yang selama berjuta-juta tahun mempunyai peran yang penting dalam mempertahankan kehidupan manusia.
Pada tahun 1999 UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Found) memberikan klasifikasi tentang jangka waktu pemberian ASI eksklusif. Rekomendasi UNICEF bersama World Health Assembly (WHA) dan banyak negara lainya adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. (Roesli, 2000)
ASI eksklusif adalah pemberian ASI (Air Susu Ibu) sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberikan makanan lain, walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan bayi mulai dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai berumur 2 tahun. (Hubertin, 2004)
Berdasarkan hasil perhitungan jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif di seluruh propinsi di Indonesia sebanyak 3.213.860 bayi. Bayi yang diberikan ASI eksklusif adalah 1.339.298 bayi (41,67%), sedangkan 1.874.562 bayi (58,33%) tidak diberi ASI eksklusif. Di Lampung 3.114 jumlah bayi yang sudah di beri ASI eksklusif adalah 2.190 (70,33%) bayi dan 914 (29,67%) bayi tidak diberi ASI eksklusif. (Dinkes Lampung, 2004).
Dari hasil pengamatan pada praktek lapangan, bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan frekwensi terkena diare sangat kecil bahkan mulai minggu ke-4 sampai bulan ke-6 bayi jarang defekasi dan sering menjadi keluhan ibu yang datang ke klinik karena bayinya tidak defekasi lebih dari 3 hari. Keadaan ini menunjukan seluruh produk ASI dapat terserap oleh sistem pencernaan bayi. Kelompok bayi yang mendapat susu tambahan (ASS) lebih sering terkena diare. (Hubertin,2004)
Melihat begitu unggulnya Air Susu Ibu (ASI), maka sangat disayangkan pada kenyataannya masih banyak ibu-ibu yang tidak langsung memberikan ASInya pada 30 menit sampai 1 hari post partum. Masih banyak juga ditemukan masalah pada post partum seperti puting susu terbenam atau datar, saluran susu tersumbat, puting susu nyeri atau puting susu lecet dan payudara bengkak. Hal ini merupakan masalah bagi ibu yang menyusui bayinya dan mengurangi produksi ASI, sehingga dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan air susu untuk bayinya.
Saat persalinan tiba, ibu harus memahami apa yang terjadi dan kemungkinan yang membahayakan. Saat persalinan merupakan waktu penentu bagi bayi untuk mendapatkan ASI yang optimal sebagai nutrisi yang mampu memenuhi seluruh unsur gizi untuk perkembangan bayi menjadi anak sehat dan cerdas. (Hubertin, 2004).
Namun pada kenyataannya masih terdapat ibu-ibu yang mengalami gangguan atau masalah dalam melaksanakan manajemen laktasi. Seperti yang penulis temukan di RS Ibu dan Anak Mutiara Hati Gadingrejo berdasarkan data persalinan normal pada bulan Juli-desember 2006.

Tabel 1. Jumlah ibu nifas 1 – 7 hari dengan masalah terhadap manajemen laktasi pada periode postnatal dari bulan Juli-Desember 2006.

Bulan Jumlah Ibu pasca Bersalin Normal Jumlah Ibu Nifas dengan masalah Manajemen Laktasi Prosentase
%
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember 13
23
19
20
17
16 6
7
5
7
3
4 5,6
6,5
4,6
6,5
2,8
3,7
Jumlah 108 32 29,7
Sumber: RSIA Mutiara Hati tahun 2006

Dari data diatas didapatkan kesimpulan bahwa terdapat 29,7 % (32 orang) ibu pasca bersalin yang mengalami masalah terhadap manajemen laktasi pada Periode Postnatal terutama tentang teknik menyusui dan perawatan payudara yang benar setelah bersalin. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang Manajemen Laktasi pada Periode Postnatal di RSIA Mutiara Hati Tanggamus”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang penulis simpulkan adalah ”Bagaimana pengetahuan ibu menyusui tentang manajemen laktasi pada periode postnatal ?”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Subjek Penelitian : Ibu bersalin normal hari pertama sampai hari ketujuh
3. Objek Penelitian : Pelaksanaan Manajemen Laktasi Periode Postnatal
4. Lokasi Penelitian : RSIA Mutiara Hati gadingrejo, Tanggamus
5. Waktu Penelitian : 1 Juni s/d 11 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk:
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan ibu menyusui tentang manajemen laktasi pada periode postnatal.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui pengetahuan ibu menyusui tentang tehnik menyusui yang benar
b. Diketahui pengetahuan ibu menyusui tentang cara perawatan payudara yang benar setelah persalinan.

E. Manfaat Penelitian
1. Untuk Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan untuk meningkatkan upaya dalam melaksanakan pelayanan terhadap ibu bersalin.
2. Untuk Ibu Menyusui Periode Postnatal
Mencegah terjadinya masalah pada masa laktasi dan membantu para ibu agar dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai ibu dalam proses menyusui.
3. Untuk Institusi Program Studi Kebidanan Metro
Untuk menambah sumber bacaan di Perpustakaan.
4. Untuk RSIA Mutiara Hati
Sebagai bahan masukan bidan atau tenaga kesehatan agar dapat memotivasi masyarakat dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang manajemen laktasi.

KLIK DISINI UNTUK DOWNLOAD:
Gambaran pengetahuan ibu menyusui tentang manajemen laktasi pada periode post natal di Rumah sakit ibu dan anak
Baca selengkapnya - Gambaran pengetahuan ibu menyusui tentang manajemen laktasi pada periode post natal di Rumah sakit ibu dan anak

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memilih alat kontrasepsi suntik depoprovera di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengembangan manusia seutuhnya sebagai hakikat pembangunan nasional dicapai dengan berhasilnya salah satu sektor yakni pembangunan kesehatan dan juga dipengaruhi oleh terkendalinya pertumbuhan penduduk. Sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur, proses pertumbuhan penduduk harus dipantau dan dikendalikan salah satunya dengan pengadaan program Keluarga Berencana (KB). Program KB nasional bertujuan ganda yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pengendalian pertumbuhan penduduk. Dalam upaya menjunjung keberhasilan Program KB Nasional yaitu tercapainya kondisi pertumbuhan penduduk seimbang.
Gerakan KB tahap kedua sekarang ini sedang berusaha meningkatkan mutu para pelaksana, pengelola dan peserta KB disemua lini lapangan di pedesaan baik di kota maupun di desa. Begitu juga dengan para akseptor KB diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang alat kontrasepsi yang digunakannya (Hartanto, 2002). Tujuan Gerakan KB Nasional ialah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalaui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran gerakan KB Nasional ialah :
1. Pasangan Usia Subur dengan prioritas PUS muda dengan paritas rendah
2. Generasi muda
3. Pelaksana dan pengelola KB
4. Sasaran wilayah
(Manuaba, 1998)

Dalam hal pelayanan kontrasepsi dalam Pelita V ini diambil kebijaksanaan sebagai berikut :
1. Perluasan jangkauan pelayanan kontrasepsi
2. Pembinaan mutu pelayanan kontrasepsi dan pengayoman medis
3. Perkembangan pelayanan kontrasepsi mandiri oleh masyarakat agar sesuai dengan standar pelayanan baku
4. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kontrasepsi maupun dalam mengelola pelayanan kontrasepsi.
(Winkjosastro, 1999)
menurut Hanafi Hartanto (2002) metode kontrasepsi yang ada antara lain : metode sederhana, kondom, pil, suntik, implant,metode operatif wanita (MOW),metode operatif pria (MOP), dan intra uterin device (IUD). Kontrasepsi suntikan yang baru merupakan senyawa ester berasal dari NET atau Levanolgestrol, antara lain :
1. DMPA (Depot Medroxyprogesterone asetat) = depo provera
Dosisnya 150 mg diberikan sekali setiap 3 bulan
2. NET-EN (Norethindrone enanthate) = Noristerat
Diberikan dalam dosis 200 mg sekali setiap 8 minggu atau sekali setiap 8 minggu untuk 6 bulan pertama kemudian selanjutnya sekali setiap 12 minggu.
3. Kontrasepsi Suntikan Setiap 1 bulan / Cycloprovera/Cyclofem
Kontrasepsi ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan kontrasepsi suntikan yang biasa yaitu :
a. Menimbulkan perdarahan teratur setiap bulan
b. Kurang menimbulkan perdarahan –bercak atau perdarahan ireguler lainnya.
c. Kurang menimbulkan amenore
d. Efek samping lebih cepat menghilang setelah suntikan dihentikan.
Kontrasepsi ini juga memiliki kerugian, antara lain :
a. Penyuntikan lebih sering
b. Biaya keseluruhan lebih tinggi
c. Kemungkinan efek samping karena estrogennya
Data propinsi lampung sampai dengan bulan Desember 2003 Pasangan Usia Subur (PUS) yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 937.841 (70,79%) dari total PUS sebanyak 1.324.747. Alat kontrasepsi yang digunakan dipropinsi Lampung adalah : obat Vaginal 53 (0,01%), kondom 2673 (0,29%),pil 337.816 (36,02%), suntikan 320.359 (34,16%), implant 124.834 (13,31%), MOW 14.528 (1,55%), MOP 12.380 (1,32%), IUD 125.198 (13,35%).
Sedangkan untuk tingkat kabupaten Lampung Tengah PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 149.727. Alat kontrasepsi yang digunakan di kabupaten Lampung Tengah adalah obat Vaginal 28 (0,02%), kondom 473 (0,32%), pil 49.222 (32,87%) suntikan 46.616 (31,13%), implant 17.551 (11,72%), MOW 2437 (1,63%), MOP 2856 (1,91%), IUD 30.544 (20,40%)

Kemudian untuk tingkat kecamatan Rumbia PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 6765. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah obat vaginal 0 (0%), kondom 0 (%), pil 2571 (38,0%), suntik 728 (10,76%), implant 851 (12,57 %), MOW 251 (3,71%), MOP 90 (1,33%), IUD 2274 (33, 61%).
Kemudian untuk tingkat desa Rukti Basuki PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 827. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah obat vaginal 0 (0%), kondom 0 (0%), pil 250 (30,23%), suntik 252 (30,47%), implant 75 (9,06%), MOW 25 (3,03%), MOP 10 (1,21%), IUD 215 (25,99%).

Dari data-data diatas terlihat bahwa kontrasepsi suntik untuk propinsi Lampung mandapat urutan kedua (34,16%), kabupaten Lampung Tengah mendapat urutan kedua (31,13%), Kecamatan Rumbia mendapat urutan keempat (10,76%) dan desa Rukti Basuki mendapat urutan pertama (30,47%).
Berdasarkan pra survey di BKBN dan di Puskesmas Rumbia, penulis mendapatkan data tentang KB Tahun 2003.

Tabel 1. Data KB di Kecamatan Rumbia Tahun 2003
Pasangan Usia Subur
Jumlah PUS Jumlah PUS Mnrt Umur Istri Jumlah Peserta KB Jumlah PUS Bukan Peserta KB
Menurut Jalur Pelayanan Hamil Tidak Hamil
<20> 30 th Pemerin-tah (Puskes-mas) Swasta Jumlah Ingin Anak Tidak Ingin Anak
9687 196 3814 5677 4043 2720 6763 204 821 1899
Sumber : BKKBN Kecamatan Rumbia,tahun 2003

Tabel 2. Data Pembinaan Kesertaan BerKB Berdasarkan Jenis KB di Kecamatan Rumbia Tahun 2004

No Jenis KB Jumlah %
1 IUD 2.274 33,61%
2 MOP 90 1,33%
3 MOW 251 3,71%
4 Implant 851 12,57%
5 Suntik 728 10,76%
6 Pil 2.571 38%
7 Kondom - -
8 Obat Vaginal - -
Jumlah 6765 100%
Sumber : BKKBN Kecamatan Rumbia bulan Maret 2004.

Tabel 3. Data Akseptor KB Suntik berdasarkan jenis obat
No Jenis Obat Jumlah %
1 Cyclofem - -
2 Noristerat - -
3 Depo Provera 48 100
Jumlah 48 100%
Sumber : BKKBN Desa Rukti Basuki Kecamatan Rumbia bulan Maret 2004.




Dari data-data diatas dapat dilihat bahwa alat kontrasepsi suntikan. Mendapat urutan keempat dengan jumlah 728 (10,76%). Dan berdasarkan jenis obat yang dipakai Depoprovera mendapat urutan pertama dengan jumlah 48 (100 %). Jika dilihat dari keuntungan dari ketiga jenis obat kontrasepsi suntikan ternyata Cyclofem yang paling efektif. Namun di Desa Rukti Basuki Kecamatan Rumbia akseptor lebih banyak menggunakan depoprovera.
Berdasarkan fenomena di atas penulis ingin mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemilihan alat kontrasepsi suntikan depoprovera yang digunakan akseptor KB di Desa Rukti Basuki Puskesmas Kecamatan Rumbia Lampung Tengah.

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Baca selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memilih alat kontrasepsi suntik depoprovera di desa

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah gizi yang utama di Indonesia adalah kurang kalori protein (KKP), kekurangan vitamin A yang dapat mengakibatkan xeropthalmia (sakit mata karena kekurangan vitamin A) misalnya rabun senja dan kebutaan. Disamping itu masalah kekurangan vitamin A merupakan masalah terpenting kedua yang perlu diatasi, karena hal ini melanda penderita yang luas jangkauan, terutama anak-anak balita. (Winarno, 1995)
Hasil survei nasional xeropthalmia telah menurun dengan tajam 1,3% pada tahun 1978 menjadi 0,33 pada tahun 1992. Dari prevalensi tersebut masalah kurang vitamin A sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi. Namun demikian di beberapa propinsi masih menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi seperti di Sulawesi Selatan 2,9% maluku 0,8% dan Sulawesi Tenggara 0,6%. (Depkes. RI., 2000)
Masalah kurang vitamin A subklinis dibeberapa propinsi masih cukup memprihatinkan, karena 50% Balita masih mempunyai status vitamin A rendah. Kurang vitamin A akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit yang berpengaruh pada kelangsungan hidup anak. Penanggulangan masalah kurang vitamin A saat ini bukan hanya untuk mencegah kebutaan, tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa. (Depkes. RI., 2000)
Strategi penanggulangan kurang vitamin A masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, yang diberikan pada bayi (6–11 bulan), balita (1–5 tahun) dan ibu nifas. Berdasarkan laporan tahun 1998/1999, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita masih di bawah 70% (Depkes. RI., 2000).
Situasi tidak tercapainya cakupan program pemberian kapsul vitamin A pada anak balita terjadi di sejumlah puskesmas di Kota Bandar Lampung pada tahun 2003 menunjukkan cakupan program pemberian kapsul vitamin A tidak mencapai terget 80 % (Propil Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2003).
Berdasarkan data prasurvey yang dilakukan penulis di salah satu puskesmas di Kota Bandar Lampung yaitu wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah didapat data tentang jumlah anak balita yang mendapat kapsul vitamin A pada tahun 2003 adalah sebagai berikut :
Tabel 1 : Persentasi Cakupan Program Pemberian Kapsul Vitamin A di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah Tahun 2003

No Kelurahan Jumlah
Anak Balita Jumlah yang mendapat Vit A Target (%) Realisasi (%)
1
2
3
4
5
6
7 Sawah Brebes
Tanjung Agung
Sawah lama
Kebon Jeruk
Kedamaian
Campang Raya
Jaga Baya I 942
733
620
712
1141
601
133 627
488
431
483
844
418
97 80
80
80
80
80
80
80 66,5
66,6
69,4
67,6
73,9
69,5
72,3
Jumlah 4882 3388 80 69,4
Sumber Data : Laporan Bulanan Puskesmas Kampung Sawah.
Berdasarkan data yang diperoleh di atas dapat disimpulkan bahwa anak balita yang mendapatkan kapsul vitamin A belum optimal di wilayah kerja Puskesmas kampung sawah tahun 2003 sebanyak 3.388 (69,4%) anak balita dari 4.882 jumlah anak balita yang ada, sedangkan di Kelurahan Sawah Brebes yang mendapatkan kapsul vitamin A 627 (66,5%) dari 942 anak balita yang ada, sehingga penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul Vitamin A di Kelurahan Sawah Brebes wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di Kelurahan Sawah Brebes wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah Bandar Lampung ?

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan
Baca selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di posyandu

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan bidang kesehatan merupakan bagian interaksi dari pembangunan nasional yang secara keseluruhan perlu digalakkan pula. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk atau individu agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan sejahtera (Depkes RI, 2003).
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya, melakukan pembinaan kesehatan anak sejak dini melalui kegiatan kesehatan ibu dan anak. Pembinaan kesehatan anak usia dini, sejak masih dalam kandungan hingga usia balita ditujukan untuk melindungi anak dari ancaman kematian dan kesakitan yang dapat membawa cacat serta untuk membina, membekali dan memperbesar potensinya untuk menjadi manusia tangguh (Depkes RI, 1999).
Pemantauan pertumbuhan (growth monitoring) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus (berkesinambungan) dan teratur. Dengan pemantauan pertumbuhan, setiap ada gangguan keseimbangan gizi pada seorang anak akan dapat diketahui secara dini melalui perubahan pertumbuhannya. Dengan diketahuinya gangguan gizi secara dini maka tindakan penanggulangannya dapat dilakukan dengan segera, sehingga keadaan gizi yang memburuk dapat dicegah (Dinkes Propinsi Lampung, 2004).
Upaya penggerakan masyarakat dalam keterpaduan ini digunakan pendekatan melalui Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD), yang pelaksanaannya secara operasional dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pos Pelayanan Terpadu merupakan wadah titik temu antara pelayanan profesional dari petugas kesehatan dan peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, terutama dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan angka kelahiran (Depkes RI, 2003).
Kegiatan bulanan di Posyandu merupakan kegiatan rutin yang bertujuan untuk memantau pertumbuhan berat badan balita dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS), memberikan konseling gizi dan memberikan pelayanan gizi dan kesehatan dasar. Untuk tujuan pemantauan pertumbuhan balita dilakukan penimbangan balita setiap bulan (Dinkes Lampung, 2004).
Semua informasi yang diperlukan untuk pemantauan pertumbuhan balita bersumber dari data berat badan hasil penimbangan balita. Bulan yang diisikan kedalam KMS untuk dinilai naik (N) atau tidak naik (T) pertumbuhan balita.
Ibu yang tidak menimbang balitanya ke Posyandu dapat menyebabkan tidak terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan balita. Balita yang tidak ditimbang berturut-turut beresiko keadaan gizinya memburuk sehingga mengalami gangguan pertumbuhan (Depkes RI, 2006).
Angka kematian bayi dan balita pada tahun 1997 mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup dan 58 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2006 angka kematian bayi dan balita mencapai 26 per 1000 kelahiran hidup dan 46 per 1000 kelahiran hidup, hal ini menunjukkan bahwa angka kematian bayi dan balita di Indonesia berhasil di turunkan, namun pencapaian penurunan masih jauh dari yang di harapkan (Depkes, 2003). Depkes menargetkan pada tahun 2009 AKB menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2006).
Berdasarkan hasil perhitungan data Sensus Nasional 2006, jumlah balita di Lampung sebanyak 165.347. Balita yang mempunyai gizi baik sebanyak 165.160 balita sedangkan yang menderita gizi buruk sebanyak 187 target pencapaian balita gizi buruk yang mendapat perawatan 100% jadi target yang belum dicapai 0,11% (Dinkes Propinsi Lampung, 2006). Menurut profil kesehatan Propinsi Lampung 2006 gizi kurang dapat berdampak meningkatnya angka kematian balita (0 – 5 tahun per 1000 kelahiran hidup). AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan balita.
Indikator yang digunakan untuk memantau pertumbuhan balita adalah D/S dan N/D. Pada tahun 2002 cakupan penimbangan balita (D/S) pada bayi 44,75% dan balita 30,10%, tahun 2003 terjadi peningkatan D/S : 47,98% dan N/D 79,26%, tahun 2004 D/S : 46,57% dan N/D : 78,37%, tahun 2005 D/S : 57,96% dan N/D : 82.76% dan cakupan tahun 2006 sebesar 59,67%, cakupan ini belum mencapai target. Untuk meningkatkan cakupan perlu terus dilakukan gerakan penimbangan balita melalui penyuluhan, penggerakan masyarakat, revitalisasi posyandu dan lain-lain (Profil Propinsi Lampung, 2006).
Data Kecamatan Metro Barat Puskesmas Mulyojati pada tahun 2007 cakupan penimbangan balita yaitu yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 58,46 %, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan bagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 27,91 % (Dinkes Metro, 2007).
Data cakupan penimbangan balita Puskesmas Mulyojati tahun 2007, cakupan penimbangan balita dengan rata-rata penimbangan pada triwulan I mencapai 60,75 %, pada triwulan II mencapai 58,45 %, pada triwulan III mencapai 67,46 %, sedangkan pada triwulan IV mencapai 60 % (Dinkes Metro, 2007).
Puskesmas Mulyojati terdapat tujuh posyandu yaitu posyandu : Banowati, Sembodro, Dewi Kunti, Arimbi, Dewi Sri, Larasati dan Dewi Sinta. Berdasarkan survey di lokasi diperoleh data cakupan penimbangan balita yang ditimbang bagi jumlah sasaran (D/S) dan dari ketujuh posyandu, ternyata cakupan penimbangan balita yang paling rendah terdapat pada Posyandu Dewi Sinta sebesar 40%.
Kota Metro menargetkan cakupan penimbangan balita di posyandu mencapai 80% (Indikator SPM, 2008-2010).
Penyebab yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya ke posyandu adalah umur balita, tenaga penolong persalinan, kemampuan membaca, paritas, status pekerjaan ibu, ketersediaan waktu ibu untuk merawat anak (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang apakah gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di Posyandu Dewi Sinta wilayah Puskesmas Mulyojati Metro Barat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut apakah gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di Posyandu Dewi Sinta wilayah Puskesmas Mulyojati Metro.

KLIK DISINI UNTUK DOWNLOAD:
Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di posyandu
Baca selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di posyandu

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah gizi yang utama di Indonesia adalah kurang kalori protein (KKP), kekurangan vitamin A yang dapat mengakibatkan xeropthalmia (sakit mata karena kekurangan vitamin A) misalnya rabun senja dan kebutaan. Disamping itu masalah kekurangan vitamin A merupakan masalah terpenting kedua yang perlu diatasi, karena hal ini melanda penderita yang luas jangkauan, terutama anak-anak balita. (Winarno, 1995)
Hasil survei nasional xeropthalmia telah menurun dengan tajam 1,3% pada tahun 1978 menjadi 0,33 pada tahun 1992. Dari prevalensi tersebut masalah kurang vitamin A sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi. Namun demikian di beberapa propinsi masih menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi seperti di Sulawesi Selatan 2,9% maluku 0,8% dan Sulawesi Tenggara 0,6%. (Depkes. RI., 2000)
Masalah kurang vitamin A subklinis dibeberapa propinsi masih cukup memprihatinkan, karena 50% Balita masih mempunyai status vitamin A rendah. Kurang vitamin A akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit yang berpengaruh pada kelangsungan hidup anak. Penanggulangan masalah kurang vitamin A saat ini bukan hanya untuk mencegah kebutaan, tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa. (Depkes. RI., 2000)
Strategi penanggulangan kurang vitamin A masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, yang diberikan pada bayi (6–11 bulan), balita (1–5 tahun) dan ibu nifas. Berdasarkan laporan tahun 1998/1999, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita masih di bawah 70% (Depkes. RI., 2000).
Situasi tidak tercapainya cakupan program pemberian kapsul vitamin A pada anak balita terjadi di sejumlah puskesmas di Kota Bandar Lampung pada tahun 2003 menunjukkan cakupan program pemberian kapsul vitamin A tidak mencapai terget 80 % (Propil Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2003).
Berdasarkan data prasurvey yang dilakukan penulis di salah satu puskesmas di Kota Bandar Lampung yaitu wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah didapat data tentang jumlah anak balita yang mendapat kapsul vitamin A pada tahun 2003 adalah sebagai berikut :
Tabel 1 : Persentasi Cakupan Program Pemberian Kapsul Vitamin A di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah Tahun 2003

No Kelurahan Jumlah
Anak Balita Jumlah yang mendapat Vit A Target (%) Realisasi (%)
1
2
3
4
5
6
7 Sawah Brebes
Tanjung Agung
Sawah lama
Kebon Jeruk
Kedamaian
Campang Raya
Jaga Baya I 942
733
620
712
1141
601
133 627
488
431
483
844
418
97 80
80
80
80
80
80
80 66,5
66,6
69,4
67,6
73,9
69,5
72,3
Jumlah 4882 3388 80 69,4
Sumber Data : Laporan Bulanan Puskesmas Kampung Sawah.
Berdasarkan data yang diperoleh di atas dapat disimpulkan bahwa anak balita yang mendapatkan kapsul vitamin A belum optimal di wilayah kerja Puskesmas kampung sawah tahun 2003 sebanyak 3.388 (69,4%) anak balita dari 4.882 jumlah anak balita yang ada, sedangkan di Kelurahan Sawah Brebes yang mendapatkan kapsul vitamin A 627 (66,5%) dari 942 anak balita yang ada, sehingga penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul Vitamin A di Kelurahan Sawah Brebes wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di Kelurahan Sawah Brebes wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah Bandar Lampung ?

KLIK DISINI UNTUK DOWNLOAD:
Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan
Baca selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan

Gambaran pengetahuan siswa SMPN ….. tentang perilaku hidup bersih dan sehat tahun

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran pengetahuan siswa SMPN ….. tentang perilaku hidup bersih dan sehat tahun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap individu. Agar terwujud derajat kesehatan yang optimal bagi semua masyarakat. Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Karena kesehatan menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Pembangunan kesehatan sangat terkait dan dipengaruhi oleh aspek demografi. Pertumbuhan ekonomi masyarakat tingkat pendidikannya, serta keadaan dan perkembangan lingkungan, baik fisik maupun biologik (Depkes RI, 2002).
Salah satu strategi kesehatan nasional dalam rangka menuju Indonesia sehat 2010 adalah menempatkan pembangunan kesehatan yang berwawasan kesehatan, artinya setiap upaya program berdampak positif dalam membentuk perilaku sehat dan lingkungan yang sehat pula. Pada tanggal 1 Maret 1999 Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan gerakan pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Paradigma sehat tersebut dijabarkan dan dioperasionalkan antara lain dalam bentuk perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes RI, 1999).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah bentuk perwujudan paradigma sehat dalam budaya perorangan. Keluarga dan masyarakat yang berorientasi sehat, bertujuan untuk meningkatkan, memelihara dan melindungi kesehatannya baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Selain itu juga program perilaku hidup bersih dan sehat bertujuan memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, kelompok, keluarga dengan membuka jalur komunikasi, informasi dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku sehingga masyarakat sadar, mau dan mampu mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat melalui pendekatan pimpinan (advocacy), bina suasana (social support) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Dengan demikian masyarakat dapat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri terutama pada tatanannya masing-masing (Depkes RI, 2002).
Program perilaku hidup bersih dan sehat memiliki 5 program prioritas yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), gizi, kesehatan lingkungan, gaya hidup dan dana sehat/Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Perkembangan program perilaku hidup bersih dan sehat sesuai dengan dinamika yang terjadi di masyarakat sesuai kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing. Berlakunya menetapkan 9 indikator perilaku, indikator perilaku tersebut adalah tidak merokok, kepesertaan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar, menggosok gigi sebelum tidur dan olah raga, indikator lingkungan adalah air jamban ada air bersih, ada tempat sampah, ada Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) ventilasi kepadataan, lantai bukan tanah (Depkes RI, 2004).
Rokok dapat menyebabkan penyakit kanker, jantung, stroke dan paru. Hasil studi WHO menemukan bahwa kematian yang disebabkan oleh rokok diseluruh dunia dapat berlipat tiga dalam dua dekade mendatang. Sampai sekarang tercatat lebih dari 25 penyakit yang disebabkan oleh tembakau, lebih dari 60% perokok adalah laki-laki dewasa yang mulai merokok pada waktu mereka berusia kurang dari 20 tahun, remaja belasan tahun sudah mulai merokok tanpa menyadari sifat pembuat ketagihan nikotin, perilaku terus menerus merokok diantara kaum muda melalui tahap coba-coba selanjutnya menjadi perokok tetap dan akhirnya ketagihan (http://www.pd.persi.co.id, 4 Mei 2004)
Dinas Propinsi Lampung menetapkan 8 indikator di tatanan tempat-tempat umum yaitu air bersih, jamban, ada tempat sampah, saluran pembuangan limbah, pencahayaan dan pencahayaan dan penghawaa, kebersihan kuku, informasi tentang Penyakit Menular Seksual (PMS) / Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), dana sehat/ JPKM, adanya media atau poster kesehatan.
Visi Dinas Kesehatan Lampung Timur 'Terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata serta sebagai penggerak kesehatan guna menumbuhkan daya saing masyarakat'. Rumusan visi tersebut mengandung pengertian bahwa dalam kurun waktu 5 tahun yang akan datang secara bertahap Dinas Kesehatan akan mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan menuju masyarakat Lampung Timur yang sehat sehingga akan menumbuhkan daya saing masyarakat di segala bidang (Profil Dinas Kesehatan Lampung Timur, 2006).
Perilaku kesehatan di Lampung Timur yang diharapkan adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Berbagai lapisan masyarakat yang beresiko melakukan penyimpangan perilaku hidup bersih dan sehat. Karena bila pengetahuannya masih kurang dapat meningkatkan timbulnya ancaman penyakit yang seharusnya dapat dicegah sedini mungkin dan dapat berperilaku sehat.
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan kegiatan dari Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM). Puskesmas memiliki program kegiatan utama :
1. Kesehatan lingkungan
2. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
3. Peningkatan kesehatan keluarga (termasuk kesehatan reproduksi)
4. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
5. Keperawatan kesehatan masyarakat
6. Penyuluhan kesehatan masyarakat
7. Perbaikan gizi masyarakat
(Dinkes Propinsi Lampung, 2004).
Berdasarkan pengamatan peneliti di Puskesmas Raman Utara Lampung Timur, bahwa kegiatan penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat belum pernah dilakukan hasil wawancara dengan tidak adanya arsip laporan penyuluhan kesehatan masyarakat di Puskesmas Raman Utara Lampung Timur.
Observasi yang dilakukan peneliti pada tanggal 12 Maret 2007 di SMPN 2 Raman Utara Lampung Timur yang jumlah siswanya 240 orang (laki-laki 159 dan perempuan 201 orang) mempunyai fasilitas, sumur gali 1, WC siswa 2, WC guru 1, WC kepala sekolah 1, kotak sampah 12, poster kesehatan tentang rokok tidak ada, tempat cuci tangan tidak ada, WC siswa tampak kotor dan berbau tidak sedap, sampah berserakan pada tempat pembuangan sampah, ada 40 siswa merokok di lingkungan sekolah pada jam istirahat, maka tidak cuci tangan banyak yang memelihara kuku tangan, serta tidak ada yang ikut serta dana sehat /JPKM. (Koordinator UKS SMP 2 Raman Utara) 10 penyakit terbesar di Puskesmas Raman Utara adalah ISPA dengan jumlah 3777 kasus, penyakit lain-lain 2063 kasus, rematik 1348 kasus, hipertensi 952 kasus, karies gigi 632 kasus, penyakit kulit karena alergi 700 kasus, penyakit karena infeksi 615 kasus, diare 502 kasus (LB1 Puskesmas Raman Utara, 2006).
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan judul ”Gambaran Pengetahuan Siswa SMPN 2 Raman Utara Lampung Timur tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat”.

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran pengetahuan siswa SMPN ….. tentang perilaku hidup bersih dan sehat tahun
Baca selengkapnya - Gambaran pengetahuan siswa SMPN ….. tentang perilaku hidup bersih dan sehat tahun

Metode Kalender atau Pantang Berkala (Calendar Method Or Periodic Abstinence)

Metode Kalender atau Pantang Berkala (Calendar Method Or Periodic Abstinence)

Pendahuluan

Metode kalender atau pantang berkala merupakan metode keluarga berencana alamiah (KBA) yang paling tua. Pencetus KBA sistem kalender adalah dr. Knaus (ahli kebidanan dari Vienna) dan dr. Ogino (ahli ginekologi dari Jepang). Metode kalender ini berdasarkan pada siklus haid/menstruasi wanita.


Knaus berpendapat bahwa ovulasi terjadi tepat 14 hari sebelum menstruasi berikutnya. Sedangkan Ogino berpendapat bahwa ovulasi tidak selalu terjadi tepat 14 hari sebelum menstruasi, tetapi dapat terjadi antara 12 atau 16 hari sebelum menstruasi berikutnya. Hasil penelitian kedua ahli ini menjadi dasar dari KBA sistem kalender.


Pengertian

Metode kalender atau pantang berkala adalah cara/metode kontrasepsi sederhana yang dilakukan oleh pasangan suami istri dengan tidak melakukan senggama atau hubungan seksual pada masa subur/ovulasi.



Gambar metode kalender


Manfaat

Metode kalender atau pantang berkala dapat bermanfaat sebagai kontrasepsi maupun konsepsi.


Manfaat kontrasepsi

Sebagai alat pengendalian kelahiran atau mencegah kehamilan.


Manfaat konsepsi

Dapat digunakan oleh para pasangan untuk mengharapkan bayi dengan melakukan hubungan seksual saat masa subur/ovulasi untuk meningkatkan kesempatan bisa hamil.


Keuntungan

Metode kalender atau pantang berkala mempunyai keuntungan sebagai berikut:



  1. Metode kalender atau pantang berkala lebih sederhana.

  2. Dapat digunakan oleh setiap wanita yang sehat.

  3. Tidak membutuhkan alat atau pemeriksaan khusus dalam penerapannya.

  4. Tidak mengganggu pada saat berhubungan seksual.

  5. Kontrasepsi dengan menggunakan metode kalender dapat menghindari resiko kesehatan yang berhubungan dengan kontrasepsi.

  6. Tidak memerlukan biaya.

  7. Tidak memerlukan tempat pelayanan kontrasepsi.


Keterbatasan

Sebagai metode sederhana dan alami, metode kalender atau pantang berkala ini juga memiliki keterbatasan, antara lain:



  1. Memerlukan kerjasama yang baik antara suami istri.

  2. Harus ada motivasi dan disiplin pasangan dalam menjalankannya.

  3. Pasangan suami istri tidak dapat melakukan hubungan seksual setiap saat.

  4. Pasangan suami istri harus tahu masa subur dan masa tidak subur.

  5. Harus mengamati sikus menstruasi minimal enam kali siklus.

  6. Siklus menstruasi yang tidak teratur (menjadi penghambat).

  7. Lebih efektif bila dikombinasikan dengan metode kontrasepsi lain.


Efektifitas

Metode kalender akan lebih efektif bila dilakukan dengan baik dan benar. Sebelum menggunakan metode kalender ini, pasangan suami istri harus mengetahui masa subur. Padahal, masa subur setiap wanita tidaklah sama. Oleh karena itu, diperlukan pengamatan minimal enam kali siklus menstruasi. Selain itu, metode ini juga akan lebih efektif bila digunakan bersama dengan metode kontrasepsi lain. Berdasarkan penelitian dr. Johnson dan kawan-kawan di Sidney, metode kalender akan efektif tiga kali lipat bila dikombinasikan dengan metode simptothermal. Angka kegagalan penggunaan metode kalender adalah 14 per 100 wanita per tahun.


Faktor Penyebab Metode Kalender Tidak Efektif

Hal yang dapat menyebabkan metode kalender menjadi tidak efektif adalah:



  1. Penentuan masa tidak subur didasarkan pada kemampuan hidup sel sperma dalam saluran reproduksi (sperma mampu bertahan selama 3 hari).

  2. Anggapan bahwa perdarahan yang datang bersamaan dengan ovulasi, diinterpretasikan sebagai menstruasi. Hal ini menyebabkan perhitungan masa tidak subur sebelum dan setelah ovulasi menjadi tidak tepat.

  3. Penentuan masa tidak subur tidak didasarkan pada siklus menstruasi sendiri.

  4. Kurangnya pemahaman tentang hubungan masa subur/ovulasi dengan perubahan jenis mukus/lendir serviks yang menyertainya.

  5. Anggapan bahwa hari pertama menstruasi dihitung dari berakhirnya perdarahan menstruasi. Hal ini menyebabkan penentuan masa tidak subur menjadi tidak tepat.


Penerapan

Hal yang perlu diperhatikan pada siklus menstruasi wanita sehat ada tiga tahapan:



  1. Pre ovulatory infertility phase (masa tidak subur sebelum ovulasi).

  2. Fertility phase (masa subur).

  3. Post ovulatory infertility phase (masa tidak subur setelah ovulasi).


Perhitungan masa subur ini akan efektif bila siklus menstruasinya normal yaitu 21-35 hari. Pemantauan jumlah hari pada setiap siklus menstruasi dilakukan minimal enam kali siklus berturut-turut. Kemudian hitung periode masa subur dengan melihat data yang telah dicatat.


Bila haid teratur (28 hari)

Hari pertama dalam siklus haid dihitung sebagai hari ke-1 dan masa subur adalah hari ke-12 hingga hari ke- 16 dalam siklus haid.


Contoh:

Seorang wanita/istri mendapat haid mulai tanggal 9 Maret. Tanggal 9 Maret ini dihitung sebagai hari ke-1. Maka hari ke-12 jatuh pada tanggal 20 Maret dan hari ke 16 jatuh pada tanggal 24 Maret. Jadi masa subur yaitu sejak tanggal 20 Maret hingga tanggal 24 Maret. Sehingga pada masa ini merupakan masa pantang untuk melakukan senggama. Apabila ingin melakukan hubungan seksual harus menggunakan kontrasepsi.


Bila haid tidak teratur

Jumlah hari terpendek dalam 6 kali siklus haid dikurangi 18. Hitungan ini menentukan hari pertama masa subur. Jumlah hari terpanjang selama 6 siklus haid dikurangi 11. Hitungan ini menentukan hari terakhir masa subur.

Rumus :

Hari pertama masa subur = Jumlah hari terpendek – 18

Hari terakhir masa subur = Jumlah hari terpanjang – 11


Contoh:

Seorang wanita/istri mendapat haid dengan siklus terpendek 25 hari dan siklus terpanjang 30 hari (mulai hari pertama haid sampai haid berikutnya).

Langkah 1 : 25 – 18 = 7

Langkah 2 : 30 – 11 = 19

Jadi masa suburnya adalah mulai hari ke-7 sampai hari ke-19. Sehingga masa ini, suami istri tidak boleh melakukan senggama. Apabila ingin melakukan senggama harus menggunakan kontrasepsi.


Referensi

asuh.wikia.com/wiki/Kalender diunduh 19 Maret 2010, 09:22 PM.

birthcontrolsolutions.com/types/natural/calendar-rhythm.htm diunduh 19 Maret 2010, 09:54 PM.

getting-pregnant-tips.com/calendar-method.html diunduh 23 Maret 2010, 03:55 PM.

Pandji, 2009. Kontrasepsi Sistem Kalender (KB Kalender). pandjiwinoto.co.cc/2009/02/11/kontrasepsi-sistem-kalender-kb-kalender/ diunduh 24 Maret 2010, 05:00 PM.

2006. Sistim Kalender KB Alamiah, Aman dan Murah.

prov.bkkbn.go.id/gemapria/article-detail.php?artid=49 diunduh 19 Maret 2010, 08:54 PM.

2006. Sistem Kalender Metode Ber-KB Tanpa Biaya. prov.bkkbn.go.id/gemapria/article-detail.php?artid=30 diunduh 19 Maret 2010, 09:07 PM.

Saifuddin, BA. 2008. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. (Bagian Kedua MK 7- MK 14).

Baca selengkapnya - Metode Kalender atau Pantang Berkala (Calendar Method Or Periodic Abstinence)

Metode Suhu Basal Tubuh (Basal Body Temperature Method)

Metode Suhu Basal Tubuh (Basal Body Temperature Method)

Suhu tubuh basal adalah suhu terendah yang dicapai oleh tubuh selama istirahat atau dalam keadaan istirahat (tidur). Pengukuran suhu basal dilakukan pada pagi hari segera setelah bangun tidur dan sebelum melakukan aktivitas lainnya.


Tujuan pencatatan suhu basal untuk mengetahui kapan terjadinya masa subur/ovulasi. Suhu basal tubuh diukur dengan alat yang berupa termometer basal. Termometer basal ini dapat digunakan secara oral, per vagina, atau melalui dubur dan ditempatkan pada lokasi serta waktu yang sama selama 5 menit.


Suhu normal tubuh sekitar 35,5-36 derajat Celcius. Pada waktu ovulasi, suhu akan turun terlebih dahulu dan naik menjadi 37-38 derajat kemudian tidak akan kembali pada suhu 35 derajat Celcius. Pada saat itulah terjadi masa subur/ovulasi.


Kondisi kenaikan suhu tubuh ini akan terjadi sekitar 3-4 hari, kemudian akan turun kembali sekitar 2 derajat dan akhirnya kembali pada suhu tubuh normal sebelum menstruasi. Hal ini terjadi karena produksi progesteron menurun.



Apabila grafik (hasil catatan suhu tubuh) tidak terjadi kenaikan suhu tubuh, kemungkinan tidak terjadi masa subur/ovulasi sehingga tidak terjadi kenaikan suhu tubuh. Hal ini terjadi dikarenakan tidak adanya korpus luteum yang memproduksi progesteron. Begitu sebaliknya, jika terjadi kenaikan suhu tubuh dan terus berlangsung setelah masa subur/ovulasi kemungkinan terjadi kehamilan. Karena, bila sel telur/ovum berhasil dibuahi, maka korpus luteum akan terus memproduksi hormon progesteron. Akibatnya suhu tubuh tetap tinggi.



Manfaat

Metode suhu basal tubuh dapat bermanfaat sebagai konsepsi maupun kontrasepsi.


Manfaat konsepsi

Metode suhu basal tubuh berguna bagi pasangan yang menginginkan kehamilan.


Manfaat kontrasepsi

Metode suhu basal tubuh berguna bagi pasangan yang menginginkan menghindari atau mencegah kehamilan.


Efektifitas

Metode suhu basal tubuh akan efektif bila dilakukan dengan benar dan konsisten. Suhu tubuh basal dipantau dan dicatat selama beberapa bulan berturut-turut dan dianggap akurat bila terdeteksi pada saat ovulasi. Tingkat keefektian metode suhu tubuh basal sekitar 80 persen atau 20-30 kehamilan per 100 wanita per tahun. Secara teoritis angka kegagalannya adalah 15 kehamilan per 100 wanita per tahun. Metode suhu basal tubuh akan jauh lebih efektif apabila dikombinasikan dengan metode kontrasepsi lain seperti kondom, spermisida ataupun metode kalender atau pantang berkala (calender method or periodic abstinence).


Faktor yang Mempengaruhi Keandalan Metode Suhu Basal Tubuh

Adapun faktor yang mempengaruhi keandalan metode suhu basal tubuh antara lain:



  1. Penyakit.

  2. Gangguan tidur.

  3. Merokok dan atau minum alkohol.

  4. Penggunaan obat-obatan ataupun narkoba.

  5. Stres.

  6. Penggunaan selimut elektrik.


Keuntungan

Keuntungan dari penggunaan metode suhu basal tubuh antara lain:



  1. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pada pasangan suami istri tentang masa subur/ovulasi.

  2. Membantu wanita yang mengalami siklus haid tidak teratur mendeteksi masa subur/ovulasi.

  3. Dapat digunakan sebagai kontrasepsi ataupun meningkatkan kesempatan untuk hamil.

  4. Membantu menunjukkan perubahan tubuh lain pada saat mengalami masa subur/ovulasi seperti perubahan lendir serviks.

  5. Metode suhu basal tubuh yang mengendalikan adalah wanita itu sendiri.


Keterbatasan

Sebagai metode KBA, suhu basal tubuh memiliki keterbatasan sebagai berikut:



  1. Membutuhkan motivasi dari pasangan suami istri.

  2. Memerlukan konseling dan KIE dari tenaga medis.

  3. Suhu tubuh basal dapat dipengaruhi oleh penyakit, gangguan tidur, merokok, alkohol, stres, penggunaan narkoba maupun selimut elektrik.

  4. Pengukuran suhu tubuh harus dilakukan pada waktu yang sama.

  5. Tidak mendeteksi awal masa subur.

  6. Membutuhkan masa pantang yang lama.


Petunjuk Bagi Pengguna Metode Suhu Basal Tubuh

Aturan perubahan suhu/temperatur adalah sebagai berikut:



  1. Suhu diukur pada waktu yang hampir sama setiap pagi (sebelum bangun dari tempat tidur).

  2. Catat suhu ibu pada kartu yang telah tersedia.

  3. Gunakan catatan suhu pada kartu tersebut untuk 10 hari pertama dari siklus haid untuk menentukan suhu tertinggi dari suhu yang “normal dan rendah” dalam pola tertentu tanpa kondisi-kondisi di luar normal atau biasanya.

  4. Abaikan setiap suhu tinggi yang disebabkan oleh demam atau gangguan lain.

  5. Tarik garis pada 0,05 derajat celcius – 0,1 derajat celcius di atas suhu tertinggi dari suhu 10 hari tersebut. Garis ini disebut garis pelindung (cover line) atau garis suhu.

  6. Periode tak subur mulai pada sore hari setelah hari ketiga berturut-turut suhu tubuh berada di atas garis pelindung/suhu basal.

  7. Hari pantang senggama dilakukan sejak hari pertama haid hingga sore ketiga kenaikan secara berurutan suhu basal tubuh (setelah masuk periode masa tak subur).

  8. Masa pantang untuk senggama pada metode suhu basal tubuh labih panjang dari metode ovulasi billings.

  9. Perhatikan kondisi lendir subur dan tak subur yang dapat diamati.


Catatan:



  1. Jika salah satu dari 3 suhu berada di bawah garis pelindung (cover line) selama perhitungan 3 hari. Kemungkinan tanda ovulasi belum terjadi. Untuk menghindari kehamilan tunggu sampai 3 hari berturut-turut suhu tercatat di atas garis pelindung sebelum memulai senggama.

  2. Bila periode tak subur telah terlewati maka boleh tidak meneruskan pengukuran suhu tubuh dan melakukan senggama hingga akhir siklus haid dan kemudian kembali mencatat grafik suhu basal siklus berikutnya.


Contoh. Pencatatan pengukuran suhu basal tubuh



Referensi

birth-control-comparison.info/fam.htm diunduh 25 Maret 2010, 12:09 AM.

birthcontrolsolutions.com/types/natural/basal-body-temperature.htm diunduh 25 Maret 2010, 12:15 AM.

contracept.org/nfpchart.php diunduh 25 Maret 2010, 12:10 AM.

Endriana, 2009. KB Suhu Basal. //endriana25021989.wordpress.com/2009/05/04/kb-suhgu-basal/ diunduh 25 Maret 2010, 09:26 PM.

en.wikipedia.org/wiki/Basal_body_temperature diunduh 25 Maret 2010, 12:06 AM.

epigee.org/guide/symptothermal.html diunduh 25 Maret 2010, 12:04 AM.

Erlina, 2009. Bagaimana Menghitung dan Menentukan Masa Subur. dokternasir.web.id/2009/03/bagaimana-menghitung-dan-menentukan-masa-subur.html diunduh 26 Maret 2010, 02:42 PM.

Nasir, 2009. Suhu Basal Tubuh Untuk Mengetahui Masa Subur Wanita. dokternasir.web.id/2009/03/suhu-basal-tubuh-untuk-mengetahui.html diunduh 26 Maret 2010, 02:43 PM.

Saifuddin, BA. 2008. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. (Bagian Kedua MK 13- MK 14).

scribd.com/doc/26873688/23546177-Sap-Kontrasepsi diunduh 26 Maret 2010, 12:39 AM.

Baca selengkapnya - Metode Suhu Basal Tubuh (Basal Body Temperature Method)

Mengenal Populasi dan Sampel

Mengenal Populasi dan Sampel


Populasi dan Sampel



Secara umum dapat diartikan bahwa populasi adalah kumpulan semua individu dalam suatu batas tertentu. Kumpulan individu yang akan diukur atau diamati ciri-cirinya disebut populasi studi. Bila penelitian tidak dilakukan terhadap seluruh individu dalam populasi, tetapi hanya diambil sebagian maka bagian tersebut dinamakan sampel. Individu dalam populasi studi tersebut dinamakan unit dasar.

Populasi studi ditentukan berdasarkan kriteria yang sesuai dengan tujuan penelitian. Cara pengambilan sampel serta besarnya sampel sangat penting artinya dalam penelitian karena hasil pengamatan yang dilakukan pada individu dalam sampel digunakan untuk menafsirkan keadaan populasi dimana sampel tersebut diambil.

Berdasarkan besarnya, populasi dibagi menjadi populasi besar dan populasi kecil.

Populasi besar atau populasi tak terhingga adalah populasi yang memiliki jumlah individu sedemikian banyaknya sehingga sulit untuk tidak mungkin diketahui jumlahnya. Populasi dengan jumlah unit dasar yang tidak banyak hingga mudah untuk dihitung disebut kecil atau populasi terbatas. Untuk populasi kecil tidak terdapat suatu patokan yang baku. Untuk jelasnya dapat diberikan sebuah contoh sebagai berikut.

Bila kita akan mengadakan penelitian tentang pengalaman akseptor KB dalam pemakaian alat kontrasepsi di suatu Kabupaten, maka semua duduk dalam Kabupaten tersebut adalah populasi umum, sedangkan semua ibu-ibu pasangan usia subur peserta KB yang terdapat di Kabupaten tersebut adalah populasi studi. Bila kita ambil sebagian dari akseptor KB yang akan diteliti pengalaman pemakaian kontrasepsinya maka sebagian ibu-ibu tersebut disebut sampel dan ibu pasangan usia subur disebut sebagai unit dasar.

Hasil pengamatan pada sampel ini akan diekstrapolasikan kepada populasi studi, yaitu semua ibu-ibu pasangan usia subur yang akan menjadi akseptor KB di Kabupaten tersebut.

Karena pengamatan hanya dilakukan terhadap sebagian (sampel) dari populasi studi, maka hasilnya tidak sama dengan seluruh populai studi. Perbedaan ini disebut kesalahan sampling (sampling error). Jadi, yang dimaksud dengan kesalahan sampling ialah perbedaan antara hasil sampel dengan hasil sensus yang dilakukan dengan cara yang sama, pada populasinya yang sama, dan oleh pewawancara yang sama.

Kesalahan lain yang tidak berkaitan dengan pengambilan sampel disebut kesalahan tak sampling (non-sampling error). Hal ini berarti bahwa baik hasil sampel maupun sensus terdapat kesalahan yang sama. Hal-hal yang mungkin dapat menimbulkan kesalahan tak sampling antara lain sebagai berikut:

1. Batasan unit dasar yang kurang tepat. Misalnya, pada suatu penelitian tentang obat untuk infark miokard, dimana orang dengan keluhan nyeri dada diambil sebagai unit sampel, meskipun kita ketahui bahwa tidak semua nyeri dada disebabkan infark miokard.

2. Jawaban responden yang salah (respons error) pada sampling survey dengan teknik wawancara atau angket. Hal ini dapat timbul secara tidak sengaja, misalnya mengisi umur anak 4,5 tahun dengan 45 tahun, tetapi hal ini kadang-kadang dilakukan serta sengaja dengan maksud tertentu. Misalnya, dengan sengaja tidak mengaku sebagai akseptor KB karena dilarang suaminya. Respons error dapat pula timbul karena kurangnya informasi tentang hal yang diteliti atau responden yang harus mengingat kejadian masa lampau, misalnya kapan bapak mulai merokok.

3. Kesalahan pada ruang lingkup karena kesalahan dalam batas dan lokasi. Misalnya, dipilih suatu Kecamatan padahal Kecamatan tersebut telah berubah karena sebgian desanya dikembangkan menjadi Kemantren.

4. Kesalahan dalam pengolahan data yang disebabkan human error dan lain-lain.

5. Kesalahan alat ukur yang digunakan dan lain-lain.

Penyimpangan atau kesalahan lain yang dapat timbul dalam suatu penelitian disebut bias. Bias ialah perbedaan antara hasil sesungguhnya dalam populasi dengan hasil semua sampel yang berasal dari populasi tersebut.

Hal-hal yang dapat menimbulkan bias adalah sebagai berikut:
1. Kesalahan dalam pemilihan unit dasar, yaitu unit dasar yang berbeda dengan tujuan penelitian. Misalnya penelitian tentang pemilikan jamban keluarga, dengan unit sampel murid-murid sekolah. Kesalahan tersebut timbul karena ada keluarga yang memiliki seorang anak yang menjadi murid di sekolah tersebut, tetapi ada pula yang memiliki lebih seorang hingga memungkinkan terjadi estimasi yang berlebih (bias) karena setiap murid diperlakukan sama sebagai responden.

Ada dua cara untuk menghindari terjadinya hal tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Mengambil kepala keluarga sebagai unit sampel
b. Mengambil murid yang merupakan anak pertama sebagai unit sampel

2. Untuk penelitian terhadap ciri individu dilakukan pengambilan sampel keluarga dan masing-masing keluarga diambil satu anggota keluarganya sebagai responden. Bias dapat timbul bila dalam suatu keluarga terdapat lebih dari satu orang dewasa, tetapi hanya satu yang diambil sebagai sampel. Misalnya, suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang sistem pelayanan kesehatan di suatu daerah maka keluarga dengan lebih dari satu orang dewasa akan kurang terwakili dibandingkan dengan keluarga yang hanya memiliki seorang dewasa.

3. Bias dapat pula timbul bila kita mengambil unit terdekat sebagai pengganti non-respons karena ciri unit pengganti belum tentu sama dengan unit non-respons.

4. Non-respons pada pengumpulan data secara angket dianggap memiliki ciri yang sama dengan ciri responden yang mengembalikan angket.

5. Bias dapat pula timbul pada pengambilan sampel non-random.

6. Spesifikasi kurang jelas pada unit sampel, misalnya pendidikan anak antara 8-10 tahun. Disini tidak dijelaskan apakah umur 10 tahun itu termasuk populasi studi atau termasuk juga anak yang kebetulan berada di daerah tersebut.

Baca selengkapnya - Mengenal Populasi dan Sampel

Faktor faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak

Faktor faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak
a. Faktor genetik
Merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal.

b. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan.
Faktor lingkungan secara garis besar di bagi menjadi :
1) Faktor lingkungan yang mempengaruhi bayi pada waktu masih dalam lingkungan (faktor prenatal), antara lain :
Gizi ibu pada waktu hamil
Gizi ibu yang buruk sebelum maupun pada saat hamil, lebih sering menghasilkan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau lahir mati dan jarang menyebabkan cacat bawaan.
Mekanis
Trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Toksin/zat kimia
Masa organogenesis adalah masa yang sangat peka terhadap zat-zat teratogen. Misalnya obat-obatan seperti thalidomide, phetidhine, obat-obat anti kanker dan sebagainya yang dapat menyebabkan kelainan bawaan.
Endokrin
Hormon-hormon yang mungkin berperan pada pertumbuhan janin, adalah somamotropin, hormon plasenta, hormon tiroid dan insulin.
Radiasi
Radiasi pada janin sebelum umur kehamilan 18 minggu dapat menyebabkan kematian janin, kerusakan otak, mikrosefali atau cacat bawaan lainnya.
Infeksi
Infeksi intra uterin yang sering menyebabkan cacat bawaan adalah TORCH (Toxo plasmosis, Rubella, cytomegalovirus, Herpes simplex).
Stress
Dapat mempengaruhi tumbuh kembang janin, antara lain cacat bawaan, kelainan jiwa dan lain-lain.
Imunitas
Rhesus atau ABO inkomtabilita sering menyebabkan abortus, kernikterus, atau lahir mati
Anoreksia embrio
Menurunnya oksigenisasi janin melalui gangguan pada plasenta atau tali pusat menyebabkan berat badan lahir rendah.

d. Faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir (faktor postnatal ).

1) Lingkungan biologis antara lain :
a) Ras atau suku bangsa
Bangsa kulit putih mempunyai pertumbuhan somatik lebih tinggi dari pada bangsa asia.

b) Jenis kelamin
Walau belum di ketahui secara pasti banyak yang mengatakan bahwa bayi laki laki sering sakit di bandingkan bayi perempuan.
c) Umur
Umur paling rawan adalah masa Batita, oleh karena pada masa itu bayi mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi.
d) Gizi
Makan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang bayi karena makanan bagi anak di butuhkan untuk pertumbuhan.
e) Perawatan kesehatan
Pemeriksaan kesehatan dan menimbang bayi secara rutin setiap bulan akan menunjang tumbuh kembang bayi.
f) Kepekaan terhadap penyakit
Dalam imunisasi, di harapkan anak terhindar dari penyakit-penyakit yang sering menimbulkan cacat atau kematian.
g) Penyakit kronis
Anak yang menderita penyakit menahun akan terganggu tumbuh kembang dan pendidikannya
h) Fungsi metabolisma
Karena perbedaan dalam proses metabolisme pada berbagai umur, maka kebutuhan akan berbagai nutrien harus didasarkan atas perhitungan yang tepat dan memadai.

i) Hormon
Hormon-hormon yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang antara lain adalah :
Somatotropin atau “ growth hormon “
Merupakan pengatur utama pada pertumbuhan somatis terutama pertumbuhan kerangka
Hormon tiroid
Mempunyai fungsi pada metabolisme protein, karbohidrat dan lemak.
Glukortikoid
Mempunyai fungsi yang bertentangan dengan somatotropin tiroksin serta androgen, karena kortison mempunyai efek anabolik.
Hormon - hormon seks
Mempunyai peranan dalam reproduksi.

2) Faktor fisik antara lain
a) Cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah.
Musim kemarau panjang/bencana alam lainnya, dapat berdampak pada tumbuh kembang anak antara lain sebagai gagalnya panen, sehingga banyak anak yang kurang gizi.
b) Sanitasi
Akibat kebersihan yang kurang, maka anak akan sering sakit misalnya diare, hepatitis, malaria, dan sebagainya. Demikian pula polusi udara baik yang berasal dari pabrik, asap kendaraan atau asap rokok, dapat mempengaruhi terhadap tingginya angka kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA )
c) Keadaan rumah : struktur bangunan, ventilasi, cahaya, dan kepadatan hunian
Keadaan perumahan yang layak dengan kontruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya serta tidak penuh sesak akan menjamin kesehatan penghuninya.
d) Radiasi
Radiasi yang tinggi dapat mengganggu tumbuh kembang anak
3) Faktor psikososial
a) Stimulasi
Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan tertur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang /tidak mendapat stimulasi.
b) Motivasi belajar
Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini dengan membersihkan lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya sekolah yang tidak terlalu jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya.
c) Ganjaran atau hukuman
Kalau anak berbuat benar, maka wajib kita beri ganjaran misalnya pujian, ciuman, belaian, dan sebagainya. Sedangkan menghukum dengan cara yang wajar kalau anak berbuat salah, masih dibenarkan.
d) Kelompok sebaya
Untuk proses sosialisasi dengan lingkungannya anak memerlukan teman sebaya.
e) Stress
Stress pada bayi berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya, misalnya bayi akan menarik diri, rendah diri, terlambat bicara dan sebagainya.
f) Sekolah
Dengan mendapat pendidikan yang baik, maka di harapkan dapat meningkatkan taraf hidup anak-anak tersebut.
g) Cinta dan kasih sayang
Anak memerlukan cinta dan kasih sayang serta perlakuan adil dari orang tuanya agar kelak menjadi anak yang tidak sombong dan bisa memberikan kasih sayangnya pula kepada sesamanya.
h) Kualitas interaksi anak-orang tua
Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua akan menimbulkan keakraban dalam keluarga.

4). Faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain
a). Pekerjaan /pendapatan keluarga
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder.


b). Pendidikan ayah /ibu
Dengan pendidikan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan bayi yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya.
c). Jumlah saudara.
Jumlah saudara yang banyak pada keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak. Sedangkan pada keluarga dengan sosial ekonomi yang kurang, akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan perumahan pun tidak terpenuhi.
d). Jenis kelamin dalam keluarga
Pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih rendah di bandingkan laki laki, sehingga angka kematian bayi karena malnutrisi masih tinggi pada wanita.
e). Stabilitas rumah tangga
Tumbuh kembang anak akan berbeda pada keluarga yang harmonis, dibandingkan dengan mereka yang kurang harmonis.
f). Kepribadian ayah /ibu
Kepribadian ayah dan ibu yang terbuka tentang pengaruhnya berbeda terhadap tumbuh kembang anak, bila dibandingkan dengan mereka yang kepribadianya tertutup.
g). Adat istiadat, norma-norma, tabu-tabu
Adat istiadat yang berlaku di tiap daerah akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak.
h). Agama
Dengan memahami agama akan menuntun umatnya untuk berbuat kebaikan dan kebajikan.
i) Urbanisasi
Salah satu dampak dari urbanisasi adalah kemiskinan dengan segala permasahannya.
j) Kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak, anggaran dan lain lain.
Baca selengkapnya - Faktor faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak

Askep APP

ASKEP APENDISITIS

Pengertian
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks ( Anonim, Apendisitis, 2007)

Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak berfungsi) yang melekat sepertiga jari.

Letak apendiks.
Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.

Ukuran dan isi apendiks.
Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin.

Posisi apendiks.
Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen. Pelvis minor.

Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. (Irga, 2007)



Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus.

Manifestasi Klinik
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Pemeriksaan diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).

Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.

Pemeriksaan yang lain Lokalisasi.
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney.

Test rektal.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.

Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.
Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.

Pemeriksaan radiologi Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.

Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.

Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
Konsep Asuhan Keperawatan Sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan diberikan latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi.

Untuk melengkapi hal tersebut, maka perawat di dalam melakukan asuhan keperawatan harus menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

Pengkajian
Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
Identitas penanggung Riwayat kesehatan sekarang.
Keluhan utama Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.
Sifat keluhan Nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai Biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas. Riwayat kesehatan masa lalu Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang Pemeriksaan fisik Keadaan umum Klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
Berat badan Sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
Sirkulasi : Klien mungkin takikardia. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal. Aktivitas/istirahat : Malaise. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.
Nyeri/kenyamanan Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
Keamanan Demam, biasanya rendah.
Data psikologis Klien nampak gelisah.
Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang.

Diagnosa keperawatan
Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah.
Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh.
Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal.
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan

Intervensi keperawatan .
Rencana tujuan dan intervensi disesuaikan dengan diagnosis dan prioritas masalah keperawatan.
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya rasa mual dan muntah, ditandai dengan : Kadang-kadang diare. Distensi abdomen. Tegang. Nafsu makan berkurang. Ada rasa mual dan muntah.
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan dengan
Kriteria Hasil :
 Klien tidak diare.
 Nafsu makan baik.
 Klien tidak mual dan muntah.
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Merupakan indicator secara dini tentang hypovolemia.
2) Monitor intake dan out put dan konsentrasi urine.
Rasional : Menurunnya out put dan konsentrasi urine akan meningkatkan kepekaan/endapan sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan.
3) Beri cairan sedikit demi sedikit tapi sering.
Rasional : Untuk meminimalkan hilangnya cairan.

2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, ditandai dengan : Suhu tubuh di atas normal. Frekuensi pernapasan meningkat. Distensi abdomen. Nyeri tekan daerah titik Mc. Burney Leuco > 10.000/mm3.
Tujuan : Tidak akan terjadi infeksi
Kriteria Hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif (tidak lagi panas,
kemerahan).
Intervensi :
1) Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui prinsip-prinsip pencukuran.
Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke dasar rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro organisme.
2) Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.
Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat lancar. Sedangkan klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga dapat mengakibatkan ruptura apendiks.
3) Anjurkan klien mandi dengan sempurna.
Rasional : Kulit yang bersih mempunyai arti yang besar terhadap timbulnya mikro organisme.
4) HE tentang pentingnya kebersihan diri klien.
Rasional : Dengan pemahaman klien, klien dapat bekerja sama dalam pelaksaan tindakan.




3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal, ditandai dengan : Pernapasan tachipnea. Sirkulasi tachicardia. Sakit di daerah epigastrum menjalar ke daerah Mc. Burney Gelisah. Klien mengeluh rasa sakit pada perut bagian kanan bawah.
Tujuan : Rasa nyeri akan teratasi
Kriteria Hasil : Pernapasan normal. Sirkulasi normal.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya.
2) Anjurkan pernapasan dalam.
Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
3) Lakukan gate control.
Rasional : Dengan gate control saraf yang berdiameter besar merangsang saraf yang berdiameter kecil sehingga rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hypothalamus.
4) Beri analgetik.
Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila sudah mengetahui gejala pasti).

4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang. Gelisah. Wajah murung. Klien sering menanyakan tentang penyakitnya. Klien mengeluh rasa sakit. Klien mengeluh sulit tidur
Tujuan : Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan
pengobatannya.
Intervensi :
1) Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi.
Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh.
2) Menganjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi.
Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan.
3) Disukusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan penyembuhan latihan.
Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses penyembuhan.

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
1) Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien
Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi.
2) Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat suasana negatif dan mempengaruhi masukan.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet.
4) Beri makan sedikit tapi sering
Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan.
5) Anjurkan kebersihan oral sebelum makan
Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
6) Tawarkan minum saat makan bila toleran.
Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas.
7) Konsul tetang kesukaan/ketidaksukaan pasien yang menyebabkan distres.
Rasional : Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuk makan.
8) Memberi makanan yang bervariasi
Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien.

6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan. Kuku nampak kotor Kulit kepala kotor Klien nampak kotor
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
1) Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan potong kuku klien.
Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan.
2) Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.
Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman
3) Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri.
Rasional : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene.
4) Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.
Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan
5) Bimbing keluarga / istri klien memandikan
Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan
6) Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.

Implementasi
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post apendektomi. Pada pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya Pada fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.

Evaluasi.
Untuk mengetahui pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien perlu dilakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
1) Apakah klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh?.
2) Apakah klien dapat terhidar dari bahaya infeksi?.
3) Apakah rasa nyeri akan dapat teratasi?.
4) Apakah klien sudah mendapat informasi tentang perawatan dan pengobatannya.


DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marylinn E. (2000), Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
Henderson, M.A. (1992), Ilmu Bedah Perawat, Yayasan Mesentha Medica, Jakarta.
Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Baca selengkapnya - Askep APP

KOTAK PENCARIAN:

ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN:

=====
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...