Gambaran Umum Pasien Dengan Perilaku Kekerasan


1. Pengertian

Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang,
diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
1993 dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan
merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan
atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada
individu dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan
frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon
melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang merupakan respon
yang maladaptif yaitu agresif–kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi
akibat gagal mencapai tujuan. Dalam keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain.
Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu
tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah da n merupakan
dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Amuk
atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Stuart and Sundeen, 1997 dalam Depkes, 2001).
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku kekerasan (Keliat,
2002) adalah :
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/mu ngkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak -kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, d ihina, dianiaya atau sanksi
penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah, semua aspek
ini mestimulasi individu mengadopsi perilaku kerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima ( permisive)
4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fi sik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
2. Tanda dan Gejala
Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai
berikut :

a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam), jengkel.
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit fisik,
penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan humor.
Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:
a. Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik.
b. Ancaman verbal atau fisik.
c. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata
(misalnya : garpu, asbak).
d. Agitasi psikomator progresif.
e. Intoksikasi alkohol atau zat lain.
f. Ciri paranoid pada pasien psikotik.
g. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pas ien
berada pada resiko tinggi.
h. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang pada
temuan lobus temporalis (kontroversial).
i. Kegembiraan katatonik.
j. Episode manik tertentu.
k. Episode depresif teragitasi tertentu.
l. Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol implus).
3. Patofisiologi Terjadinya Marah
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah
merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yan g menimbulkan perasaan
tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan
yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat
diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa
perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan
penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga
perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya
dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan
menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti
tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena
merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari
rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian
akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes,
2000)
4. Penatalaksanaan
a. Tindakan Keperawatan
Keliat dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan
keluarga dalam mengatasi marah klien yaitu :
1) Berteriak, menjerit, memukul
Terima marah klien, diam sebentar, arahkan klien untuk memukul barang
yang tidak mudah rusak seperti bantal, kasur
2) Cari gara-gara
Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga.
Latihan pernafasan 2x/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan nafas.
3) Bantu melalui humor
Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka orang yang
menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
b. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
Menurut Depkes (2000), jenis obat psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala -gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejalagejala
lain yang bisanya terdapat pda penderita skizofrenia, manik
depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau
suntikan intramuskuler. Dosis permulaan ada lah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali
pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala psikosa
belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan-lahan sampai 600 –
900 mg perhari. Kontra indikasi sebaiknya tidak diberikan kepada klien
dengan keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika dan
penderita yang hipersensitif terhadap derifat fenothiazine. Efek samping
yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenorrhae pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan do sis yang tinggi menyebabkan
gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan saraf pusat,
hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran
irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan
intoksikasi.
2) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles
de la Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan
perilaku yang berat pada anak -anak. Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg
sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg untuk keadaan berat. Dosis
parenteral untuk dewasa 2 – 5 mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam,
tergantung kebutuhan. Kontra indikasinya depresi sistem saraf pusat atau
keadaan koma, penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih,
gelisah, gejala ekstrapiramidal atau pseudo parkinson. Efek samping yang
jarang adalah nausea diare, konstipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala
gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reak si
hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan,
tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernafasan.
3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya
gejala skizofrenia. Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya
rendah (12,5 mg) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis
ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap
kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg
sekali suntikan sebaiknya peningkatan perlahan -lahan. Kontra indikasinya
pada depresi susunan saraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif ter hadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis; hentikan obat berikan terapi simptomatis dan
suportif, atasi hipotensi dengan levarterenol hindari menggunakan
ephineprine.
Terapi Medis ( Kaplan dan Sadock, 1997 )
Rang paranoid atau dlam keadaan luapan katatonik memerlukan
trankuilisasi. Ledakan kekerasan yang episodic berespon terhadap lithium
( Eskalith ), penghambat – beta, dan carbamazepine ( Tegretol ). Jika
riwayat penyakit mengarahkan suatu gangguan kejang, penelitian klinis
dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan suatu pemeriksaan dilakukan
untuk memastikan penyebabnya. Jika temuan adalah positif,
antikonvulsan adalah dimulai, atau dilakukan pembedahan yang sesuai (
sebagai contohnya, pada masa serebral ). Untuk intoksikasi akibat zat
rekreasional, tindakan konservatif mungkin adekuat. Pada beberapa
keadaan, obat-obat seperti thiothixene ( Navane ) dan haloperidol, 5
smaapi 10 mg setiap setengah jam samapai satu jam, adalah diperlukan
sampai pasien distabilkan. Benzodiazepine digunkan sebagai pengganti
atau sebgai tambahan antipsikotik. Jika obat rekresinal memiliki sifat
antikolinergik yang kuat, benzodiazepine adalah lebih tepat dibandingkan
antipsikotik.
Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif
ditenangkan dengan sedative atau antipsikotik yang sesuai. Diazepam (
valium ), 5 sampai 10 mg, atau lorazepam ( Ativan ), 2 smapai 4 mg, dpat
diberikan intravena ( IV ) perlahan -lahan selama 2 menit. Klinis harus
memberikan mediksi IV dengan sangat hati -hati, sehingga henti pernafsan
tidak terjadi. Pasien yang memerlukan medikasi IM dapat disedasi dengan
haloperidol, 5 smapi 10 mg IM, atau dengan Chlorpromazine 25 mg IM.
Jika kemarahan disebabkan oleh alcohol atau sebagi bagian dari
gangguan psikomotor pascakejang, tidur yang ditimbulkan oleh medikasi
IV dengan jumlah relative kecil dapat berlangsung selama berjam -jam.
Saat terjaga, pasien seringkali sepenuhnya terjaga dan rasional dan
biasanya memiliki amnesia lengkap untuk episode kekerasan.
5. Penggolongan Diagnosa Pada Gangguan Jiwa
Menurut PPDGJ III diagnosa pada gangguan jiwa dapat digolongkan menjadi 5
axis, yaitu:
a. Axis I (Diagnosis Utama)
Menunjukkan gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi pusat
perhatian, contohnya : skizofrenia residual eksaserbasi akut. Skizofrenia
residual eksaserbasi akut adalah suatu keadaan residual yang menahun dari
skizofrenia dengan gejala-gejala yang tidak lengkap lagi dibidang halusinasi,
waham, proses pikir dan keadaan afekti f (Kaplan and Sadock, 1997).
b. Axis II (Tipe Kepribadian)
Menunjukan gangguan kepribadian, misalnya : cenderung paranoid.
Kepribadian paranoid ialah suatu gangguan kepribadian dengan sikap curiga
yang menonjol; orang seperti ini mungkin agresif dan setiap o rang lain yang
dilihat sebagai seorang agresor terhadapnya, ia harus mempertahankan
harga dirinya. Ia bersikap sebagai pemberontak dan angkuh untuk
mempertahankan harga dirinya, sering ia mengancam orang lain sebagai
akibat proyeksi rasa bermusuhan sendiri (Maramis, 2004).
c. Axis III (Penyakit fisik)
Kondisi medis umum yang ditemukan disamping gangguan mental,
misalnya epilepsi. Kaplan and Sadock (1997) menyatakan bahwa epilepsi
ditandai oleh kejang yang berulang yang disebabkan oleh disfungsi sistem
saraf pusat. Epilepsi juga dapat dikatakan sebagai gangguan faal listrik otak
yang paroxismal dan sejenak, timbul secara mendadak, dan berhenti secara
spontan serta cenderung untuk terulang (Brain, 1991 dalam Depkes, 1983)
d. Axis IV (Stressor psikososial dan lingkun gan)
Menunjukkan masalah psikologis dan lingkungan secara bermakna,
berperan pada perkembangan gangguan sekarang.
e. Axis V (Taraf fungsi satu tahun terakhir)
Mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional klien.

http://askep-askeb.cz.cc/

No comments :

KOTAK PENCARIAN:

ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN:

=====
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...