KOMPAS.com - Motif batik bakaran sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Sempat tenggelam dan hampir dilupakan. Kini, batik bakaran mulai bergeliat lagi. Saat ini, lebih dari 300 perajin terus melestarikannya.
Selain motifnya yang unik, batik bakaran juga memiliki kisah sejarah yang erat dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit. Penjaga museum pusaka dan pembuat seragam prajurit dari Kerajaan Majapahit, Nyi Banoewati, menularkan keterampilannya membatik ketika melarikan diri ke daerah Bakaran di Juwana, Pati, Jawa Tengah, pada abad ke-14 Masehi.
Para perajin penerus Nyi Banoewati ini hingga kini fanatik dengan batik tulis. Mereka hanya membuat batik dengan cara tradisional menggunakan canting. Lembaran kain batik bakaran klasik dengan kekhasan corak warna hitam, putih, dan coklat kini makin diminati dan menjadi sumber penghidupan bagi perajin yang mayoritas kaum perempuan.
Yahyu (65), misalnya, sudah belajar membatik dari ibunya sejak tahun 1970-an. Kini, ia memiliki lebih dari 50 karyawan untuk memproduksi batik bakaran. Motif batik bakaran klasik dari Majapahit yang hingga kini masih diproduksi oleh Yahyu antara lain motif batik sekar jagat, padas gempal, magel ati, dan limaran.
Salah satu motif batik unik yang hanya bisa dijumpai di Desa Bakaran Wetan dan Desa Bakaran Kulon ini adalah motif gandrung. Motif gandrung berupa garis-garis saling bersilangan ini melambangkan kegandrungan atau kerinduan terhadap kekasih.
Menurut Yahyu, permintaan batik bakaran ini terus mengalir dari berbagai kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Bogor. Para perajin berharap batik bakaran bisa menembus hingga pasar dunia.
Regenerasi Tak hanya kaum ibu, generasi muda pun mulai tertarik melestarikan batik bakaran. Heru Tomo (33) mengaku telah belajar membatik dari usia 11 tahun. Kain batik yang dihasilkan Heru dikenal halus dan disukai konsumen. "Saya khusus membatik untuk batik bakaran motif klasik," kata Heru.
Saat ditemui dalam acara pameran industri kerajinan rakyat di Departemen Perindustrian, Jakarta, Heru dikerubuti ibu-ibu yang berusaha menawar batik-batik yang dipajangnya. Menurut Heru, ia memamerkan kain batik yang dihasilkan oleh sekitar sepuluh pemuda perajin batik bakaran.
Tetangga Heru, Irham (26), juga berperan besar dalam menghimpun pemuda desa untuk terus menghidupkan batik bakaran dengan membentuk Kelompok Pemuda Peduli Batik Bakaran. Beragam pelatihan cara membatik hingga pengembangan warna batik terus dilakukan. Para pemuda ini aktif terlibat mempromosikan batik bakaran ke pameran-pameran di luar Juwana. Mereka juga memanfaatkan kemudahan akses internet untuk berjualan.
Menurut Irham, corak motif klasik batik bakaran yang terdiri atas warna hitam, putih, dan coklat, mencerminkan karakter warga Bakaran. Warga Bakaran, lanjutnya, selalu punya sikap tegas dalam menghadapi persoalan kehidupan. Hal inilah yang tecermin pada corak warna batik bakaran klasik. "Dibandingkan batik pesisir lainnya, kami punya karakter berbeda," ujar Irham.
Teknik pembuatan batik bakaran terdiri atas beberapa tahapan, mulai dari nggirah, nyimplong, ngering, nerusi, nembok, medel, nyolet, mbironi, nyogo, dan nglorod. Warna batik bakaran, menurut Irham, menjadi berbeda karena menggunakan teknik ngerik. Malam yang menempel di kain harus dikerik dengan pisau agar muncul warna coklat soga.
Proses pembuatan batik bakaran ini dilakukan di rumah-rumah warga. Per lembar kain batik membutuhkan waktu pembuatan dari empat hari hingga lebih dari satu bulan. Satu lembar kain batik biasanya dikerjakan 3-4 orang. "Kami mempertahankan proses pembuatan tradisional, jangan sampai teknik cap atau printing masuk dan diadopsi warga," kata Irham.
Kain-kain batik klasik biasanya dibuat selama 40 hari dengan kekhasan motif "retak atau remek". Kebanyakan perajin memulai dan mengakhiri proses pembuatan batik klasik yang sangat detail dan abstrak pada hari wage dalam penanggalan Jawa yang dipercaya sebagai hari baik. Harga lembaran kain batik bakaran berkisar Rp 300.000 hingga jutaan rupiah.
Untuk meraih minat pasar, perajin batik bakaran juga terus berinovasi. Perajin berinisiatif mengembangkan motif baru dengan warna yang lebih beragam. Motif-motif kontemporer ini antara lain berupa motif kolibri, kedele kecer, pring sedapur, dan merak bambu. Warna kain batik kontemporer sangat beragam, mulai dari hijau, merah, hingga biru. "Motif kedele kecer ini sangat diminati pasar Jakarta," kata Yahyu.
Bangkit Batik bakaran, lanjut Yahyu, mulai kembali bergeliat sejak tahun 2006. Lonjakan permintaan terjadi ketika pemerintah daerah mewajibkan seragam batik bagi semua pegawai negeri sipil. Selanjutnya, batik bakaran yang dulu sempat menjadi simbol pakaian kaum priayi ini pun kembali dikenal oleh pasar.
Sebelumnya, pamor batik bakaran sempat pudar karena tak punya wahana untuk berjualan. Perajin hanya berjualan di rumah-rumah dan mengandalkan kunjungan dari konsumen. Perajin juga sempat terbebani tingginya biaya produksi batik tulis.
Saat ini, sebanyak 17 motif batik bakaran sudah dipatenkan. Sebagian dari motif yang sudah dipatenkan itu adalah motif blebak kopi, kopi pecah, gringsing, dan limaran. Motif-motif ini terus dikembangkan oleh perajin dengan menciptakan tambahan motif baru yang menyerupai bunga, ikan, air, dan pohon.
(Mawar Kusuma)
Sumber: Kompas Cetak
No comments :
Post a Comment